Tragedi Ketinting Karam Di Pulau Togean

Tiba di wakai

Hari itu masih pagi sekali. Saya masih bisa sayup-sayup mendengar bunyi kicauan burung yang terkadang disalip raungan mesin kendaraan. Mereka bersahut-sahutan. Ya. Pagi itu, pagi yang saya rasa damai adalah di Wakai.

Setiba di Wakai saya langsung putar-putar kepala mencari ojek, niatnya, mau langsung ke rumah Ibu Iyam. Ibu Iyam ini adalah ibunya teman saya, Citra. Abang ojek yang saya sewa pun langsung tahu tujuan saya, makanya dalam waktu tidak terlalu lama saya sudah berada di pelataran rumah Ibu Iyam.

Sambutan hangat yang Ibu Iyam berikan kepada saya pagi itu seakan-akan menghapus lelah yang mungkin masih tersisa di badan. Tetapi, entah mengapa setelah sambutan hangat itu bahkan tak sedikitpun saya merasakan capai. Justru, saya malah terbuai dalam obrolan panjang kami. tetapi mungkin karena Ibu Iyam tahu saya masih capai dia mengisyaratkan agar saya beristirahat saja.

Puas istirahat, sore harinya masih dengan sore yang begitu rupawan, di mana sinar mataharinya sering malu-malu menembus ketatnya pagar dedauan di rumah Ibu Iyam, saya memberanikan diri berjalan kaki, menjelajahi sedikit wilayah kampung di situ untuk mencari objek foto.

Banyak hasil foto yang saya anggap keren, nanti saya bagikan ke teman-teman bagaimana bagusnya daerah di Wakai.
Malam beranjak datang, saya dengan Iyap adiknya Citra pergi ke rumah temannya, tujuan saya kesana bukan untuk ngobrol panjang lebar.

Melainkan berdiskusi soal berapa uang yang harus saya keluarkan untuk carter kapal ke salah satu pulau di Togean, nama pulau itu Kadidiri Island. Dapatlah harga bersahabat Rp 150 ribu. Lumayan.

Tragedi kapal Ketinting karam

Jika ingin merasakan bagaimana kehidupan di tempat kita menumpang, maka pelajarilah dan ikutlah di dalamnya. Makanya, pagi sampai siang tanggal 23 Juli itu saya membantu Ibu Iyam, banyak yang bisa saya kerjakan, mulai dari cuci piring, sikat lantai rumah sampai membersihkan cengkih milik mereka.

Jujur saja, justru pekerjaan seperti itulah yang membuat rasa jenuh bisa lari jauh-jauh. Selain bisa benar-benar membuang rasa jenuh saya juga bisa merasakan bagaimana aroma cengkih itu jika benar-benar kita ‘tenggelam’ di dalamnya.

Sore harinya, sekitar pukul 3 sore seperti yang telah kami janjikan dan sepakati, saya, Iyap dan teamnya memutuskan untuk menelusuri salah satu pulau yang ada di Togean. Togean ini ternyata memang dikenal banyak sekali pulau-pulau kecil, bahkan di antaranya sudah dibalut dengan cottage serta privat island.

Nah, salah satu yang akan kami kunjungi itu adalah Kadidiri Island. Sesuai kesepakatan malam sebelumnya saya membayar Rp 150 ribu untuk bensin dan ongkos ke sana. Isi kapal itu juga masih ada teman Iyap 2 orang Amed dan satu orang lagi.

Kami pun berangkat, oiya, kapal yang mengangkut kami itu kalau di sana disebut dengan nama Ketinting. Ukuranya kecil dan bisa dimuat 4 orang. Dari lokasi kami berangkat, saya dengan penuh sukacita dan merasa nyaman. Tetapi semua itu langsung buyar saat kami kira-kira baru berjalan 3 Km dari bibir pantai.

Kapal itu kemasukan air! Bukan sedikit, tetapi banyak! Dalam sekejap saja Ketinting itu sudah dimasuki air, wah, saya pikir tidak lama lagi Ketinting ini pasti tenggelam. Panik dong! Jelas panik. Tiba-tiba Amed langsung terjun ke air dan bilang ke saya, mas jangan panik.

Ah, itu kan katamu, saya mah tetap panik!. Makin lama air yang masuk ke kapal makin banyak. Di situ saya berpikir kalau masih di dalam kapal pun tetap tenggelam juga. Ya, sudahlah, sama saja, toh tetap akan tenggelam juga, saya langsung ikut nyebur ke dalam air.

Saat itu saya sama sekali tidak berpikir kira-kira bisa gak berenang dalam kondisi panik, yang saya pikirkan gimana caranya ini tas dan kamera-kamera saya bisa selamat. Berenang dengan kondisi tas di atas kepala dan beban yang makin bertambah saya masih berpikir bahwa tidak akan bisa bertahan lama di dalam air.

Saya harus korbankan diri saya atau tas ini. Di antara kepanikan itu saya terlintas dengan atap kapal!. Ah, ini dia, tanpa basa-basi lagi saya sedikit lemparkan tas ke atas atap kapal dan akhirnya bisa bernafas lega, setidaknya saat itu saya masih hidup dan tas beserta kamera-kamera saya belum tersentuh air sedikitpun.

Syukurlah. Inilah waktu di mana saya bisa merasakan bagaimana adegan di film-film selama ini, di mana ada beberapa orang terapung-apung di perairan dan berjarak jauh dari bibir pantai. Di situ ada rasa ketakutan yang luar biasa, tetapi juga ada rasa kesenangan yang juga luar biasa.

Tidak lama kami terapung-apung di lautan itu,  terima kasih Tuhan, bala bantuan datang, ada 2 orang tentara dan 2 warga yang langsung membantu kami. Sebetulnya saat ditolong itu saya belum sepenuhnya merasa aman, karena kamera saya belum bisa saya selamatkan, tetapi setelah tas kamera diberikan di pangkuan saya, saat itulah saya merasakan “Ah, ini benar-benar selamat!,” ujar saya dalam hati.

Walaupun di tragedi Ketinting itu saya harus kehilangan sandal dan jaket, tetapi tak apalah, dengan kondisi seperti itu saya tertawa sendiri. Justru yang lebih naas itu nasib Amed dan kawan-kawan.

Mereka kehilangan banyak pancing yang turut tenggelam dan telepon genggam mereka pun tak bisa lagi digunakan. “Pengalaman yang tak terlupakan ini bener-benar real adventure. Rencana memotret sunset terwujud di pinggiran saja.

Saya hanya berfikir masih ada keberuntungan yang Tuhan kasih sehingga saya masih bisa memotret senja yang indah ini. Semua ada hikmah di balik ini, dan saya percaya,” itu kalimat saya tuliskan di jurnal saya.

Kebaikan keluarga citra saya bisa merasakan keindahan pulau kadidiri Togean

Rasa penasaran akan keindahan pulau yang ada di Togean selalu menghantui. tetapi mau bagaimana lagi kondisi keuangan saya sudah habis, ditambah ATM tidak bisa saya jumpai di Wakai. Saya harus putar otak, karena di kantong masih tersisa paling tidak Rp 50 ribu.

Pokoknya dengan duit segitu Minggu saya harus sudah bisa ke Ampana. Jiwa Batak (banyak taktik) terkadang bisa muncul tiba-tiba. Saya memberanikan diri minta tolong Citra agar bisa meminjamkan saya setidaknya Rp 200 ribu.

Saya janjikan kalau di Ampana langsung saya transfer. Dan berhasil,  terima kasih Citra, kau mengalihkan dunia ku. Dengan duit segitu dapat sewa boat, dengan bonus saya bisa memotret sunset terdekat. Karena jarak cuma 20 menit menggunakan kapal yang lebih besar dari kapal yang tenggelam kemarin, masih dengan tim yang sama Amet, Iyap, Yayat dan saya serta juru kemudi kami ‘bandel’ tetap berlayar ke Pulau Kadidiri.

Tapi, alangkah puasnya saya setelah di sana, saya bisa menginjakkan kaki di pulau Togean, pulau yang merupakan salah satu destinasi favorit di Indonesia. Tak henti-hentinya saya mengucap syukur yang tak terhingga kepada Tuhan karena bisa menikmati dan memotret di pulau ini hingga mendapatkan sunset.

Selesai itu kami pulang hingga larut malam tiba di rumah Ibu Iyam dan saya mengucapkan sangat puas dengan perjalanan kali ini, di mana andrenalin dan hasrat fotograf tersalurkan. Thanks God untuk semuanya ini. (**)

 

Penulis, Photographer : Mahendra Moonstar

Editor : Eka Mahendra Putra