Mentari Timor di Ujung Pengembaraan Jilid 1
“Semua perjalanan hidup adalah sinema. Bahkan lebih mengerikan. Darah adalah darah, dan tangis adalah tangis. Tak ada pemeran pengganti yang akan menanggung sakitmu”- Author: Dee.
Rencana pagi ini, seharusnya saya memutuskan untuk ke Atambua, namun keinginan itu sirna karena kecerobohan saya yang bangun kesiangan.
Walaupun niat awalnya bangun kala matahari masih malu-malu ke luar peraduan dan akan sampai ke tujuan kala matahari kembali tertidur di sore hari untuk mencari kenalan demi kenalan di sana.
Seperti yang sudah berulangkali saya sampaikan di tiap tulisan saya, perjalanan yang saya tempuh ini bukanlah sebagai seorang traveller yang memang telah menyiapkan dana untuk mempermudah perjalanan demi kenyamanan, sekali lagi, saya hanyalah seorang pria papa yang berharap mengunjungi satu daerah ke daerah lain bisa numpang tidur di rumah orang yang mau menampung, toh saya tidak pernah meminta lebih, saya hanya berharap bisa diterima dan tidur di teras pun saya terima. Begitulah hakikat perjalanan yang saya jalani sejauh ini.
Karena dari puluhan tempat di Indonesia yang sudah saya tempuh, saya telah banyak belajar bahwa orang Indonesia ramah, aman dan selalu memancarkan aura kebaikan jika kita bisa melihat lebih dalam sisi orang tersebut.
Kecurigaan memang kerap saya terima, namun itu adalah hal yang wajar, tapi, jika kita mengutarakan siapa dan apa tujuan kita dengan tulus, kecurigaan akan sirna dengan sendiri dan berganti dengan rasa kepercayaan yang besar: Dan itu yang saya pertahankan sampai detik ini, detik di mana saya mulai merasakan saatnya untuk mengakhiri perjalanan.
Akhirnya, berangkatlah bus yang akan saya tumpangi menuju Atambua sekitar pukul 10.00 WIT dengan mencari penumpang yang mungkin berkeliaran di kota.
Hingga pada akhirnya sekitar pukul 11.00 WIT bus itu melaju setelah puas mencari penumpang yang mengisi bangku-bangku kosong.
Dari lokasi saya hingga ke Atambua memakan waktu yang lumayan lama, sekitar 7 jam perjalanan ditempuh dengan biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp 75 ribu.
Tujuh jam menempuh perjalanan akhirnya saya sampai di Atambua, yang kemudian beralih ke jasa ojek yang sudah menunggu dan menawarkan jasanya seharga Rp 100 ribu. Alangkah mahalnya dalam hati saya, dengan keadaan saya yang harus irit, uang dengan angka seperti itu sangat besar jika dikeluarkan untuk ojek. Maka tawar-menawar harga pas akhirnya kami sepakat di angka Rp 40 ribu.
Setelah kami sepakat, berangkatlah menuju Motaain sebuah desa perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste.
Jujur saja jalanan menuju ke sana mulus. Lalu kakak ojek itu bercerita sepanjang perjalanan, jika saja hari ini adalah 1 tahun lalu, maka sumpah mati katanya tidak akan ada yang mau memberangkatkan saya pakai ojek dengan Rp 40 ribu.
“Karena tahun lalu jalanan ini masih parah, masih bebatuan dan hutan sangat rawan. Tapi sekarang aspal sudah mulus dan berani mengantarkan,” kata kakak itu.
Perjalanan dengan sepeda motor itu kami tempuh dalam sejam perjalanan sebelum kami tiba di pos penjagaan.
Saat itu, di pos itu, saya melihat 2 polisi yang sedang berjaga dan bertanya mau kemana, saya bilang mau ke pos Brimob.
Ternyata ada seorang personil Brimob di situ Okto namanya, kami sempat ngobrol soal korpsnya bahwa saya ada kenalan petinggi Brimob.
Bukan mau pamer, sih sebenarnya, tapi hanya sebagai modal bagi saya bisa dapat tumpangan tidur di posnya.
Perkenalan berlanjut dengan seorang bernama Robi, salah satu yang ada di situ juga . Saya mengutarakan ingin ke perbatasan Timor Leste dan saya berharap ada yang bisa membantu saya untuk masuk ke sana. Untunglah, saya dapat jawaban yang membuat hati saya tenang. “Gampang kok,” itu kata mereka.
Suasana saya di pos penjagaan itu semakin cair dengan adanya gelas-gelas kopi Timor Leste yang diberikan Okto dan Robi.
Setelah ngopi kamipun melanjutkan minum yang lain, suasana saat itu lebih mirip perjamuan dadakan saja buat saya hahaha, dan kami ngobrol sampai larut malam. Oiya, di sini ternyata ada ‘tradisi’ kalau minum itu ada ‘bandar’nya yang bertugas menuangkan minuman dan hanya menggunakan 1 gelas saja dengan sistim rolling, sehingga menurut mereka itu adalah sebuah tanda kebersamaan dan pengakraban.
Sebetulnya saya tidak terlalu lama berada di pos perbatasan itu, tapi banyak hal yang saya temui. Mulai dari jamuan minum itu hingga saya ikut berlari ke atas kampung karena ada tanda kebakaran, kami bertiga berlari ke arah kebakaran, dan beruntunglah, saat kami datang kebakaran sudah teratasi oleh warga kampung.
Akhirnya kami pulang ke pos, dan sebelum istirahat mereka punya 2 nasi bungkus dan dijadikan ke dalam satu piring, yang akhirnya kita makan bertiga dalam satu piring. Suasana persaudaraan dan pertemanan muncul dengan sendirinya di hari pertama ini.
Kadang saya berfikir dan meyakini bahwa jika kamu membawa aura baik pasti kamu mendapat aura baik.
Setelah selesai akhirnya Okto menceritakan tentang kecurigaan kepada saya. Saya disangka imigran gelap yang mau masuk Timor Leste lewat jalur pinggir laut, dia bilang awalnya saya adalah ‘rejeki’ dan istilah perbatasan ‘tikus datang’.
Tapi akhirnya perlahan-lahan mereka yakin bahwa saya adalah pengembara.
Dan malam ini saya tidur di pos Brimob dengan tempat tidur lipat ala pasukan, tapi yang lebih membahagiakan saya adalah saya bisa diterima oleh mereka, wajar saya bahagia karena dalam posisi seperti mereka, menjaga daerah perbatasan wajar untuk mencurigai orang-orang seperti saya.
Hari demi hari di perbatasan akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke Kupang, setelah saya dibantu untuk masuk di perbatasan dan bisa berfoto di sana berkat Okto dan Robi.
Sebelum ke terminal bus saya mampir ke rumah Okto dan dia bilang tidur dulu semalam di situ. Akhirnya Okto memberikan kain di leher sebagai tanda persaudaraan dan saya diterima. Thanks Okto, Robi, saya tidak akan lupa persahabatan ini. Mungkin suatu saat saya akan kembali ke sana.
Perjalanan saya ke timur Indonesia, dan menyentuh perbatasan negara, tak terasa membuat air mata saya menetes perlahan. Di sebuah batu, di sore hari saat mentari mulai redup seakan membuat saya berpikir akan satu hal: apalagi yang akan saya cari?
Tetesen air mata saya perlahan mengalir butir demi butir, bukan perpisahan dengan perjalanan ini yang saya harukan, tapi sebuah gumpalan kerinduan yang lama terendap di sudut hati, setiap mata ingin terpejam bayangan orang-orang terkasih, inang di tanah kelahiran selalu terbayang, senyumnya mengiklaskan kepergiaan saya mengembara seakan memberi saya pesan bahwa, ia ingin melihat saya, entah kapan.
“Tak ada pesta yang tak berakhir.” kalimat itu saya ketik di papan tombol telpon genggam saya, dan saya simpan sebagai sebuah note, bahwa di ujung Indonesia ini, saya akan kembali. Terimakasih Tuhan, terimakasih inang ku, terimakasih Indonesia, terimakasih untuk rasa ini. Terimakasih.
Kini, kaki hitam legam, melepuh, kulit tersisik matahari dan rambut panjang penghalau dingin selama setahun lebih perjalanan ini akan menjadi alunan melodi baru dalam catatan hidup saya. Kini, saatnya pengembara-pengembara baru melanjutkan kisah indah Indonesia. (*)
Recent Comments