Risiko memilih hidup mengembara seperti saya, selain memang hal-hal yang di luar prediksi adalah justru ada di diri sendiri. Karena, selama ini saat masih terbuai dengan kehidupan normal pengujian diri terhadap rasa mandiri dan membutuhkan kreatifitas diri sendiri jarang bisa saya temui. Tapi, saat hati sudah memilih untuk melakukan perjalanan panjang ini, maka kemampuan untuk mengurus diri sendiri adalah hal yang paling utama. Saya harus bisa memasukkan seluruh skill rumah tangga dalam satu paket, saya harus bisa memasak sendiri, mencuci baju sendiri, dan tidur pun memang harus sendiri hehehe.

Hari itu, saya ingin melakukan perjalanan ke Ternate, namun tiket sendiri belum saya pegang, tapi saya masih santai karena waktu yang tersedia masih lumayan panjang. Tapi setelah urusan domestik sudah saya selesaikan, saatnya saya untuk melangkahkan kaki ke pelabuhan untuk mencari tiket kapal ke Ternate. Saya sangat berterimakasih kepada keluarga Musnita, teman saya, yang berbaik hati mengantarkan saya ke pelabuhan untuk mencari tiket kapal ke Ternate, padahal sebelumnya mereka telah saya repotkan dengan kehadiran saya di keluarga mereka.
Di sana, di pelabuhan itu, akhirnya saya bisa mendapatkan tiket dengan membayar Rp 260 ribu. Bahagia memang karena tiket sudah di tangan, tapi sekaligus sedih karena saya harus berpisah dengan keluarga Musnita, keluarga yang sudah sangat baik menjamu saya selama di sini. Bahkan saat mengantarkan saya ke pelabuhan pun, Nita yang baik hati sudah menyiapkan bekal untuk saya selama di perjalanan. Dari makanan hingga air mineral dalam ukuran besar. Selama dua hari, keluarga ini memang sudah menjadi keluarga baru bagi saya di Sorong.

Sebenarnya, banyak cerita yang kalau saya bagi mungkin memprihatinkan saat saya di Sorong. Tiba di sana di Pelabuhan Sorong sejak pukul 21.00 WIT tapi saya harus terlantar di Sorong karena harus menunggu kapal Pelni hingga pukul 05.00 WIT. Untungnya, waktu itu saya ditemani ayah dari dr. Sweet, salah seorang dokter yang kebetulan bertugas di kokas Fak-Fak tepatnya di Doctor Share, tempat saya sempat bekerja sebagai sukarelawan. Ayah dari dr. Sweet ini memang bermukim di Sorong. Ayah dari dr. Sweet inilah yang memberikan tumpangan untuk saya untuk beristirahat di rumahnya.
Tepat pukul 04.00 WIT, saya kembali diantarkan ayah dr. Sweet ke pelabuhan. Di sana, saya mulai pasang mata untuk “berburu” lapak biar bisa tidur di kapal. Memang untuk sesaat saya bisa tenang karena sudah dapat posisi nyaman untuk tidur. Tapi bayangan “whats next” langsung terbayang di otak saya. Saya mau ke mana? Sama siapa? Di rumah mana? Itu pertanyaan-pertanyaan yang langsung menggelayut di kepala setelah saya sadar saya tak punya sahabat, saudara maupun kenalan selama saya akan di Ternate.
Tapi lagi-lagi kuasa Tuhan dan atas restu-Nya juga saya secara tidak sengaja bertemu dengan 2 orang yang dari perawakannya sebetulnya bikin saya agak ngeri. Keriting, hitam, badan lumayan besar. Pokoknya bayangan khawatir dan rasa segan itu muncul kalau melihat perawakan mereka. Nama keduanya Aten dan Sarto. Mereka dari Halmahera. Tapi saat itu entah kenapa feeling saya berujar. “Udah bro, lo kenalan aja sama mereka. Buang rasa khawatir lo,” kira-kira begitu hati kecil saya bicara. Dengan bermodalkan rasa percaya diri tadi saya langsung mengajak keduanya berkenalan. Gayung bersambut, tampilan seram di awal ternyata hanya chasing saja. Aslinya mereka sangat ramah. Malah kami jauh berbincang-bincang sekedar mengisi waktu di kapal kala itu. Tapi siapa nyana, perkenalan yang diawali dengan rasa takut itu adalah awal sebuah persaudaraan yang baru.

Adik adiknya Sarto sedang belajar memakai lampu seadanya

Adik adiknya Sarto sedang belajar memakai lampu seadanya

You know what? Ternyata di peta itu tidak ada nama kampung mereka, cuma kabupatennya saja. Mendengar bahwa kampung mereka tak ada di peta, jiwa penasaran saya sebagai pengembara langsung girang. Dengan sedikit rasa mengharap saya memberanikan diri mengatakan sesuatu ke mereka berdua. “Bolehkah saya tinggal di sana?,” tanya saya dengan sejuta harap. Keduanya kompak terdiam. Lalu saling bertatap. Lalu sama-sama menatap saya dengan sejuta tanya yang tak kalah herannya. “Ngapain ke sana, mas… itu kampung sepi, jelek, rumah saya juga jelek,” seru Sarto menggambarkan kampung mereka, yang tidak mereka sadari bahwa itulah yang saya cari. “Kalau memang rumah tak mampu menampung saya, saya bawa tenda di dalam tas. Saya bisa tinggal di luar dengan tenda asal tidak jauh dari rumah. Asal izinkan saya untuk tinggal di kampung itu,” itu kata-kata pengharapan dari saya kepada mereka. Mereka masih heran ternyata.
Lalu saya ceritakan bagaimana saya sudah terlalu bosan dengan hingar bingarnya kehidupan kota terutama Jakarta, saya ceritakan bagaimana bosannya di tempat kerja yang membuat saya memutuskan untuk hidup mengembara selama saya sanggup. Saya juga bilang bahwa saya seorang fotografer yang ingin mengambil foto-foto keunikan di Indonesia dan menyebarkannya ke dunia agar orang tahu, bahwa di ujung peta yang tak terlihat, ada tempat-tempat indah dan perawan.

Tidak mudah mendapat kepercayaan kedua orang yang akhirnya menjadi saudara saya itu. Dan akhirnya terimakasih Tuhan, sebuah kalimat singkat dari mereka membuat saya bahagia, mereka percaya sama saya. “Iya, boleh. Kamu boleh ikut kami ke kampung kami,” itu kata Sarto. Jiwa penasaran saya sebagai pengembara langsung girang. Dengan sedikit rasa mengharap saya memberanikan diri mengatakan sesuatu ke mereka berdua. “Bolehkah saya tinggal di sana?,” tanya saya dengan sejuta harap. Keduanya kompak terdiam. Lalu saling bertatap. Lalu sama-sama menatap saya dengan sejuta tanya yang tak kalah herannya. “Ngapain ke sana, mas… itu kampung sepi, jelek, rumah saya juga jelek,” seru Sarto menggambarkan kampung mereka, yang tidak mereka sadari bahwa itulah yang saya cari. “Kalau memang rumah tak mampu menampung saya, saya bawa tenda di dalam tas. Saya bisa tinggal di luar dengan tenda asal tidak jauh dari rumah. Asal izinkan saya untuk tinggal di kampung itu,” itu kata-kata pengharapan dari saya kepada mereka.
Mereka masih heran ternyata. Lalu saya ceritakan bagaimana saya sudah terlalu bosan dengan hingar bingarnya kehidupan kota terutama Jakarta, saya ceritakan bagaimana bosannya di tempat kerja yang membuat saya memutuskan untuk hidup mengembara selama saya sanggup. Saya juga bilang bahwa saya seorang fotografer yang ingin mengambil foto-foto keunikan di Indonesia dan menyebarkannya ke dunia agar orang tahu, bahwa di ujung peta yang tak terlihat, ada tempat-tempat indah dan perawan.

Tidak mudah mendapat kepercayaan kedua orang yang akhirnya menjadi saudara saya itu. Dan akhirnya terimakasih Tuhan, sebuah kalimat singkat dari mereka membuat saya bahagia, mereka percaya sama saya. “Iya, boleh. Kamu boleh ikut kami ke kampung kami,” itu kata Sarto. Yes! Akhirnya saya menemukan sebuah tempat yang lumayan nyaman di lantai enam. Di sana, saya bertemu dan berkenalan dengan dua pria asal Halmahera bernama Sarto dan Aten. Sepanjang hari kami bercakap-cakap hingga akhirnya mereka menerima permohonan saya untuk mengikuti mereka setelah kami berlabuh di Halmahera. Tepat pukul 22.00 WIT, kapal kami merapat di Pelabuhan Ahmad Yani, salah satu pelabuhan terbesar di kota itu. Berhubung malam sudah larut dan tidak ada kapal yang tersedia menuju kampung kediaman Ato dan Ateng, akhirnya kami memutuskan untuk menginap di hotel yang berrtarif Rp 100 ribu. Ah, Tuhan, akhirnya tubuh yang tak seberapa ini bisa juga direbahkan ke empuknya kasur hotel, atau lebih tepatnya penginapan.

Sebagian besar masyarakat di Kampung Beringin bergantung hidupnya pada Kopra.

Sebagian besar masyarakat di Kampung Beringin bergantung hidupnya pada Kopra.

KELUARGA BARU DI HALMAHERA

Halmahera, 26 Mei 2015

Lagi-lagi ada saja kesulitan yang datang. Pagi hari itu, saya sudah bersemangat hendak melanjutkan perjalanan ke kampung halaman Ato dan Ateng, dua teman baru saya.Tapi ternyata, speedboat yang seharusnya bisa membawa kami ke Kampung Bringin ternyata rusak. Tak kehabisan akal, akhirnya mendadak kami memutuskan untuk mencapai Kampung Bringin melalui Sofifi. Membayar Rp 50 ribu, akhirnya kami tiba pukul 13.00 WIT di Pelabuhan Sofifi. Dibanding Kampung Bringin, Sofifi memang lebih mudah untuk dijangkau, karena banyak tersedia speedboat yang kerap lalu-lalang ke Sofifi ini.

Namun perjalanan kami belum usai, karena setelah berlabuh di Sofifi, kami masih harus melanjutkan perjalanan lewat darat menuju Kampung Bringin. Setelah berdiskusi, akhirnya kami menyewa jasa mobil Kijang Innova untuk membawa kami. Masing-masing dari kami harus merogoh kocek sebesar Rp 150 ribu untuk biaya perjalanan tersebut. Jangan kalian tanya bagaimana rute perjalanan yang kami lalui karena jawabannya pasti luar biasa!. Bayangkan, sepanjang perjalanan selama kurang lebih 4 jam, kami harus melewati kelok-kelok mematikan. Belum lagi ditambah dengan kondisi jalanan yang berlubang-lubang. Mungkin jika dilengkapi dengan mabuk darat maka hari itu kami resmi menggesek vocer paket komplit.

Tapi, semua terbayar lunas ketika kami tiba di Kampung Baringin. Saat kami tiba waktu sudah menunjukkan pukul 18.00 WIT.Semua kelelahan di perjalanan tak lagi saya rasakan setelah melihat sambutan hangat keluarga Sarto. Semua sangat ramah menyambut kedatangan kami. Kami dijamu makanan dan minuman yang lezat. Hingga malam hari pun kami masih menghabiskan waktu bercakap-cakap. Sempurnalah malam pertama saya di Kampung Bringin. Malam itu, saya tutup dengan berdoa kepada Tuhan, bahwa Dia-lah pemilik jiwa dan raga ini, maka saya meminta agar selalu diberikan kekuatan dan kesehatan. Sambil saya mengutip sebuah wisdom dari no name yang sempat saya baca. “Sesungguhnya pengembaraan kehidupan tidak akan berakhir selagi ajal belum sampai”. Selamat tidur kawan-kawan. (*)

Joki anjing yang selalu setia menemani keluarga Sarto ke kebun bahkan menjaga rumahnya

Joki anjing yang selalu setia menemani keluarga Sarto ke kebun bahkan menjaga rumahnya

Pantai Maidi yang jaraknya tidak jauh dari Kampung Beringin

Pantai Maidi yang jaraknya tidak jauh dari Kampung Beringin

Story by: Moonstar Simanjuntak
Editor: Eka Mahendra Putra