Cerita Dapat Uang Tidak Terduga Ketika Di Tanjung Pinang
Kali ini saya ingin memberikan kisah sederhana saya selama di Kepulauan Riau, cerita standar namun bermakna bagi saya. Ceritanya tanggal 29 September saya berada di Tanjung Pinang Kepulauan Riau. Cerita di tanggal ini tidak begitu banyak yang bisa saya sampaikan karena selain kedatangan saya di Tanjung Pinang sudah larut, sekitar pukul 03.30 WIB, tidak banyak yang bisa saja bagi.
Tapi ada hal-hal yang membuat saya memang harus menceritakan bagaimana saya seperti merasa ditipu sama abang angkot. Ceritanya jam segitu saya menumpang angkot mau menuju ke bandara Tanjung Pinang tempat tempat saya Adit.
Jadi ceritanya saya diharuskan membayar Rp 30 ribu. Ya sudahlah, ternyata tempat tujuan saya tidak jauh, yah, jadi saya ngerasa habis kena protoin sama abang sopirnya. Tapi ya, sudahlah ya, ambil deh, mungkin itu rejekinya si abang. Ah, tapi kan jaraknya deket.
Oke, selesai sudah kita bahas bagaimana saya ‘kena’ sama si abang sopir. Singkat, saya sampai di tempat tujuan saya tempat tinggal Adit, di situ Adit tinggal bersama 2 temannya Zul dan Fajar, mereka sama-sama bekerja di Pemadam Kebakaran (Damkar) bandara Tanjung Pinang.
Kebetulan karena kedatangan saya di situ sudah larut, atau subuh lah, sehingga suara kedatangan saya ternyata mengganggu Zul, dia ini seniornya Adit. Ekspresi Zul agak-agak kurang senang mendengar ribut-ribut kedatangan saya subuh-subuh. Tapi saya menyempatkan diri say helo dengan Zul. Maklum, saat itu sudah jam 05.00 WIB.
Sore tanggal 29 itu saya diajak Adit ke pantai Trikora yang kami tempuh sekitar 40 menit pakai motor. Kata orang-orang di sana, ini adalah pantai rakyat yang paling ngetop, pantai yang paling bagus hanya pantai ini kata mereka. Beberapa saat di sana saya memberi penilaian secara umum tidak jauh berbeda dengan pantai-pantai di tempat asal saya di Bangka, bebatuan, pasir putih, dan lautnya jernih. Mungkin kejernihan pantainya saya yang bisa mengalahkan beberapa pantai di Bangka yang beberapa sudah terkontaminasi tambang laut, sayang sekali. Oke, setelah puas menikmati pantai Trikora malamnya kami langsung pulang. Itu cerita singkat saya di hari pertama menginjakkan kaki ke Kepulauan Riau.
Hari ini saya memulai aktifitas saya agak terlambat, tapi saya sudah tahu akan ke mana. Tujuan saya pertama adalah kembali lagi ke pantai Trikora, yang ingin saya bandingkan bagaimana tampaknya pantai ini jika siang hari. Kebetulan perjalanan dari tempat saya tinggal ke pantai itu bisa ditempuh 40 menit perjalanan.Sayangnya, suasana yang saya dapatkan di sana untuk m engambil beberapa potret keindahan pantai sedikit terganggu dengan banyaknya kabut asap, padahal saya yakin, jika tidak dihalangi kabut asap pastilah pantai ini cantik. Jadi beberapa potret yang saya ambil saya anggap saya saja dengan apa yang sudah saya ambil kemarin malam. Saya yakin kok, kalau kabutnya hilang pantai ini memang betul indah seperti kata orang-orang di sini, karena bebatuan dan pasir putihnya saya bayangkan bakal memantulkan cahaya matahari dan membiaskan sinar yang bergelombang layaknya mutiara-mutiara yang dijajarkan di bibir pantai, ah, makin hari daya imanjinasi saya makin berkembang hehehe.. kesetiaan saya menunggu keindahan pantai ini terus berlanjut sampai malam hari, barulah saya kembali lagi ke rumah Adit.
Malam hari kebetulan Zul dan Adit pulang kerja. Nah, momen inilah yang kemudian menjadi titik balik bagaimana Zul ternyata sangat mengapresiasi diri saya, karena betul kata orang-orang, tak kenal maka tak sayang. Diakui Zul di sela-sela obrolan kami awalnya dia cuma kesal sama orang gondrong yang bikin ribut malam-malam hahaha, maaf ya Zul.
Kami bertiga malam itu ngopi bareng, Zul antusias dan banyak bertanya siapa saya dan meminta saya menceritakan pengalaman-pengalaman saya selama melakukan pengembaraan. Terlihat Zul memang nampak menikmati obrolan kami, seketika suasana yang kemarin malam dipatahkan dengan akrabnya kami yang larut dalam obrolan.
“Maaf, soalnya saya kesal ada orang gondorng ribut-ribut,” kata Zul sambil tertawa.
Adit lupa menceritakan bahwa saya akan datang dan menumpang di situ. Dari obrolan kami malam itu malah Zul menawarkan saya untuk pergi bersama-sama ke pulau Penyengat karena kebetulan dia libur. Hahaha, tak kenal maka tak sayang.
Sesuai dengan apa yang telah dijanjikan Zul kepada saya, hari ini tanggal 1 Oktober kami berdua akan pergi ke pulau Penyengat. Menggunakan motor kami sampai ke lokasi, lalu saya dan Zul menuju arah tangga dermaga kapal sandar. Di sana tertulis jelas 1 orang kapal Rp 7 ribu, lalu kapal tidak akan berangkat jika tidak memenuhi kuota 15 orang maksimal. Setelah sekitar 10 menit menunggu kapal full akhirnya kapal pun berangkat dan pulau Penyengat tinggal menunggu untuk saya tapaki.
Cukup butuh waktu 10 menit saja sampai ke pulau itu. Setiba di situ pengunjung langsung disambut masjid yang dominan berwarna kuning dan hijau. Tentu hal ini menurut saya patut untuk didokumentasikan. Nah, ternyata di masjid itu ada beberapa titik yang tidak diperbolehkan untuk diambil fotonya, dan masuk pun harus menggunakan kain sarung. Saat saya datang masjid masih sepi karena memang belum jam shalat
Tak lama datang 3 pria yang ingin beribadah di masjid dan saya berniat ikut sekedar untuk mengambil foto Salah satunya ada bapak-bapak dia mengizinkan untuk diambil fotonya bertiga. Lalu dia meminta nomor saya dengan alasan biar saya bisa mengirimkan foto itu.
Sesaat bapak itu mau beranjak tiba-tiba bapak tadi menyelipkan uang Rp 250 ribu ke saku saya. Saya sempat kaget, kenal enggak, pun foto itu saya yang minta izin, kok bisa saya dikasih uang. Saya percaya saja bahwa ini memang bentuk bantuan Tuhan melalui tangan siapapun, bahwa bantuan akan datang entah dari mana dan dari siapa. Padahal lagi-lagi saya berpikir saya sama sekali nggak kenal mereka, mereka.hanya minta tolong difoto dan ingin didokumentasikan. Betapa besar bantuan Tuhan kepada saya.
Di perjalanan saya menyempatkan diri membuat status di sosial media saya. Entah kebetulan atau tidak, Kang Eman salah seorang teman main futsal saya membalas komentar di status saya, dia bilang kepalang saya sudah di Tanjung Pinang dia meminta saya untuk mampir ke rumah ibunya di situ, yang baru pulang dari Sukabumi. saya diminta Kang Eman untuk mampir, yang akhirnya setelah sepakat dengan Zul kami pun menuju alamat yang diberikan Kang Eman.
Di sana, ibu Kang Eman benar-benar memberikan sambutan yang luar biasa. Banyak saya menceritakan bagaimana baiknya hubungan saya dengan Kang Eman. Saya pun menceritakan semua kisah perjalanan saya dan bagaimana rasanya terdampar di negeri orang tanpa kenalan, yang membuat saya harus memutar otak untuk bertahan hidup. Obrolan itu dipermanis dengan kopi hitam buatan ibu Kang Eman, membuat obrolan makin terasa ringan dan mengalir. Hingga tibalah waktunya saya dan Zul harus berpamitan karena kami punya agenda lain yang harus diselesaikan, atua setidaknya saya ingin beristirahat setelah menempuh jalan ke pulau.
Seperti deja vu dari bapak yang ada di masjid tadi, sebelum pulang ibu Kang Eman menyempatkan juga menyelipkan amplop, jujur lagi-lagi hal itu membuat saya kaget untuk kesekian kalinya. Tak ada yang bisa saya ucapkan lebih dari kalimat terimakasih saat itu, entah bagaimana cara dan bentuknya, saya diberikan kemudahan-kemudahan dalam pengembaraan ini.
Karena semuanya tak pernah saya bayangkan akan ada rejeki yang seperti ini. Saya katakan kepada Zul saya tak pernah meminta, saya tak pernah berharap tapi semua itu selalu datang di kala yang tepat. Lalu satu kalimat saya sampaikan ke Zul, bahwa. “ Saya tidak pernah kaget ketika ingin melakukan sesuatu perjalanan, jangan pernah kau takut untuk makan apa nantinya, karena sesuatu yang tak pernah kau pikirkan akan terjadi seperti saat ini yang saya alami,” itu kata saya kepada Zul di antara jejak-jejak ban motor kami di atas aspal menuju rumah. Terimakasih sekali lagi Tuhan. (*)
Story: Moonstar Simanjuntak
Editor: Eka Mahendra Putra
Recent Comments