Cerita Tuak Toraja Dan Surga Tersembunyi Bernama Bokin

Hari itu, kaki saya menapak di Tana Toraja sekitar pukul 08.00 WIT. Tana Toraja sendiri seperti yang kita ketahui bersama, punya suku Toraja yang kabarnya mendiami daerah pegunungan dan tetap mempertahankan gaya hidup yang khas dan masih menunjukkan gaya hidup Austronesia, yang asli dan mirip dengan budaya Nias. Daerah ini merupakan salah satu obyek wisata di Sulawesi Selatan.Suasana salah satu pesta perkawinan adat Tanah Toraja & Kerbau bule merupakan kerbau yang sangat mahal ketika dijual di Tanah Toraja. Setiba di sana saya langsung cari-cari informasi soal penginapan, tentunya kalau bisa dapat yang murah meriah. Lalu saya diarahkan ke Wisma Monica, dulu, sekitar 3 tahun yang lalu saya juga sempat menginap di sana, tapi harganya paling murah itu Rp 250 ribu. Berhubung angka yang harus saya keluarkan lumayan besar untuk ukuran saat ini, memaksa saya untuk berfikir cepat dan mencari alternatif lain yang lebih masuk akal, karena sebetulnya saya cuma semalam saja di sini, besoknya saya akan meninggalkan Toraja. Nah, kepalang saya sudah ada di sini saya ingin keliling-keliling sepuasnya, mau menghajar Toraja seharian. Saya lalu menuju bis perwakilan di Rantepao Daya, memesan bis Litha namanya, ke Makassar yang saya bayar Rp 140 ribu.Setiba di tempat bis itu, tas ransel saya yang maha berat itu saya titipkan di kantor bis, lalu saya mencari rentalan motor untuk menyalurkan hasrat saya menjelajah Toraja sepuasnya. Dapat informasi di sana, kalau mau rental motor itu Rp 80 ribu sampai pukul 17.00 WIT. Ah, itu masih terlalu mahal bagi saya untuk sebuah rentalan motor. Maklum saja kawan-kawan, saya harus hemat-hemat duit.

Alternatif saya berikutnya adalah warnet! What? Mungkin itu yang ada di pikiran kawan-kawan, mau jalan-jalan tapi nyari warnet? Ya. Saya cari warnet bukan untuk melihat-lihat Toraja dari dunia maya, tapi saya ke warnet mau mencari kira-kira ada gak, sih kenalan saya di Toraja. Hasilnya?
Tak ada satupun yang saya kenal! Jujur kala itu saya mulai putus asa, belum lagi ditambah dengan kelelahan fisik yang diakibatkan sangat sedikit waktu untuk beristirahat total. Daripada tidak sama sekali saya pikir, lebih baik saya jalan-jalan saja dengan kaki ini ke pasar. Mata saya tertuju ke sekelompok orang yang berpakaian rapi jali, sangat aneh dengan pakaian seperti itu ada di sebuah pasar, dan mereka naik truk. Penasaran akan mau ke mana mereka, saya langsung mengajak salah seorang dari rombongan itu untuk ngobrol, mungkin saja ada informasi yang bagus yang bisa saya dapatkan. Toh, saat ini saya sudah putus asa. Sama saja.

Abang yang saya tanya itu mengatakan rombongan mereka mau ke sebuah pesta perkawinan. Mendengar itu, melihat mobil truk, saya jadi berniat meminta pertolongan, kira-kira saya boleh gak ikut mereka. “Silakan kalau mau ikut,” itu kalimat santai dari mereka. Sontak saya tertawa bahagia di dalam hati, ada-ada saja. Ini saya rasa bukanlah sebuah kebetulan semata. Karena dengan ikut mereka saya akan punya 2 sasaran dengan 1 anak panah. Saya bisa ke tempat tujuan mereka sekaligus saya bisa mengabadikan bagaimana, sih sebenarnya pesta perkawinan ala Toraja. Jadi ceritanya, kami sudah sampai di lokasi, beragam kegiatan adat ala Toraja juga sudah saya nikmati, dan sekarang waktunya kami untuk pulang kembali.
Lalu, mendengar kalimat ‘Pulang’ itu saya lagi-lagi kebingungan, mau ke mana saya setelah sampai di pasar?Dengan rasa pengharapan dan sedikit kepercayaan diri, saya meminta pertolongan salah seorang di truk itu, apakah dia bersedia menampung saya di rumahnya.

Anda tahu jawabannya? Anda tahu bahwa kami baru kenal di atas truk dan bertemu hanya beberapa jam? Lalu anda tahu bagaimana reaksi orang itu kala saya meminta untuk tinggal di rumahnya? “Tenang saja, tidur di rumah saya saja, nanti kita minum ballo (tuak Toraja),” kata bapak itu, yang namanya Bapak Elwin. What a people?. Kawan-kawan pasti merasakan betapa bahagia dan senangnya saya mendengar permintaan yang dikabulkan seperti itu, terlebih dengan adanya iming-iming mencicipi ballo. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengiyakan kata-kata Pak Elwin.
Oiya, tempat Pak Elwin tinggal itu namanya Kampung Bokin. Perjalanan menuju kampung itu tidaklah mudah, setidaknya memakan waktu sampai 1 jam-an untuk sampai ke sana.Jalanan yang kami lewati berbatu dan berlubang. Sore harinya saya tiba di kampung itu. Kawan-kawan tidak akan bisa membayangkan bagaimana nyamannya di kampung ini, daerahnya terbentang luas persawahan. Di luar itu, saya lebih kagum dengan adanya orang yang mau menampung walau hanya kenal di atas truk saja. Percayalah, ini bukan hanya cerita-cerita dongeng, ini masih ada di Indonesia, di mana tidak ada sebuah sinisme dan rasa ketidakpercayaan antar sesama.

Hari pertama di Kampung Bokin di rumah Abang Elwin, dia tidak mau dipanggil bapak, karena kalau dipanggil bapak kesannya ada gap dan dia mau saya panggil dengan abang saja. Saat saya bangun, kaki saya melangkah ke luar, kepala lewat jendela, ternyata rumah Bang Elwin itu seperti rumah panggung, saat saya melihat sekeliling dari atas rumah itu, pemandangan sangat indah. Sangat indah. Di hadapan saya ada hamparan hijau sawah yang siap panen, kabut pagi yang pecah seakan ditembus sinar matahari menghujam butir-butir tanah di sana. Tiba-tiba saya mencium aroma yang tak asing. Kopi. Secangkir kopi Toraja ternyata telah terhidang dengan asap yang kental di sudut meja. Kopi kental khas Toraja itu membangunkan mata saya karena sanggup membias hawa dingin di Bokin pagi itu.

Tak terasa dengan pemandangan dan hangatnya kopi Toraja itu saya sudah hampir satu jam duduk menikmati pemandangan. “Bang, ini, adalah tempat yang akan menjadi salah satu tempat favorit saya selama perjalanan hidup saja,” itulah kata-kata yang saya sematkan ke Bang Elwin. Pagi itu juga Bang Elwin menemani saya berkeliling di sekitar kampung. Sejauh mata memandang hanya kedamaian yang saya rasakan, perkampungan itu sangat murni, baik alamnya maupun warganya. “Sungguh nikmat luar biasa kalian tinggal di kampung seindah ini,” sungut saya dalam hati sambil memandang anugerah yang diberikan Tuhan kepada Bokin.

Hari pertama saya di Bokin sangat saya nikmati dengan maksimal, tak ada satu titikpun di Bokin yang membuat saya bosan. Bahkan saking saya cinta dengan kampung ini saya sengaja menelpon bis yang saya pesan, dan membatalkan perjalanan saja dan menggantinya dengan hari yang lain, karena saya masih sangat betak di Bokin, salah satu surga yang tak terlihat. Saya memilih tanggal 1 Agustus untuk pergi ke Makassar, karena Bang Elwin mengizinkan saya untuk tinggal selama yang saya mau. Cerita saya dengan Bang Elwin ini mirip kutipan dari Francis Bacon, dia bilang “Bila orang mulai dengan kepastian, dia akan berakhir dengan keraguan. Jika orang mulai dengan keraguan, dia akan berakhir dengan kepastian”. Lagi-lagi, malam berikutnya saya di Bokin dengan cangkir-cangkir Ballo untuk mencairkan suasana sebelum tidur. (*)