Perjalanan panjang saya terkadang tak selamanya mulus. Apalagi kalau saya bicara soal kesediaan orang untuk sekedar menampung saya untuk tidur. Ada beberapa pengalaman yang membuat saya mengetahui bahwa mulus itu hanya milik Katty Pary atau Shakira. Kalau urusan pengembaraan saya, jauh dari kata mulus. Tapi saya belum akan menceritakan hal-hal yang membuat sedikit rasa kecewa karena untuk saat ini biarlah saya berbagi dahulu soal orang-orang yang berjasa besar mau menampung saya seperti keluarga Papi. Ah, terlalu panjang mukadimah saya.

Pukul 06.00 WIB pagi saya sudah dibangunin Papi. Langsung saja saya ambil langkah seribu untuk mandi dan gosok gigi, walaupun sebiji gigi saya sudah hilang di tangan dokter baru-baru ini. Selesai mandi kopi hangat di gelas kaca bening racikan istri Papi sudah menanti hari sempurna saya. Ditemani kopi pekat itu saya dan Papi ngobrol-ngobrol ringan. Lalu saya meminta satu pertolongan lagi sama Papi untuk mengantarkan saya ke Tugu Besi, karena saya mau ke Magelang.
Sebetulnya saya ada rencana mau menginap di rumah Bapak Ari, seorang kenalan yang dikenalkan teman saya di Jogja. Tapi apa mau dikata, mendadak Pak Ari bilang dia tidak bisa sementara ini menampung saya karena katanya dia ada acara.

Ah, padahal saya sudah membulatkan tekad untuk ke Dieng. Hidup diterima atau ditolak itu biasa. Toh saya juga sering ditolak kalau lagi iseng nembak cewek, abaikan curcol saya. Tekad bulat ke Dieng sudah terpatri di diri saya. Gimanapun caranya pokoknya saya mau ke Dieng. Titik!. Mudah-mudahan saja nanti di sana ada orang baik yang mau menampung pria gondrong berkumis tipis dan bawa tas ransel berat. Tidak lama di antara lamunan saya akan ada atau tidaknya yang mau nampung, bis jurusan Magelang membunyikan klakson sekaligus membuyarkan lamunan. Dengan Rp 5 ribu saya bisa sampai ke Magelang.
Ceritanya bis tumpangan itu sampai ke Magelang dan saya melanjutkan ke Wonosobo dengan membayar Rp 25 ribu. Terakhir saya naik bis jurusan Dieng dengan membayar Rp 20 ribu dan duduk di samping pak sopir yang sedang bekerja. Sopir itu benar-benar bekerja. Buktinya saya ditawari paket tour keliling sampai Wonosobo dengan upah Rp 100 ribu. Sopir itu juga bilang siap mengantar saya ke penginapan yang harganya ratusan ribu hingga yang cuma puluhan ribu. “Maaf pak sopir, saya masih percaya sama feeling saya. Saya kesampingkan dulu tawaran bapak,” itu kata saya dalam hati. Maaf pak sopir saya cuma mau melakukan ini dengan cara saya sendiri dulu karena saya yakin dan percaya selama ini saya bisa berjalan walaupun di tempat yang asing dan dikelilingi orang-orang asing. Tak lama, sekitar jam 11 lewat di siang hari saya sampai di Dieng dan duduk santai di salah satu warung teh sambil putar otak cari cara. Tekad saya sudah bulat. Berjalanlah saya melewati basecamp pendakian Patak Banteng lalu saya melihat ada warung dari kejauhan. Ah, saya pikir mungkin di sana ide bisa didapat.

Sejelek-jeleknya nasib saya hari itu seenggak-enggaknya saya bisa tidur di warung bermodalkan sleeping bag butut ini. Lalu saya mulai naik mendaki mendekati warung incaran tadi. Butuh satu jam bagi saya sampai ke lokasi yaitu pos 1 pendakian. Elah dalah… Warungnya tutup!.
Terpaksa putar otak lagi mau gimana saya. Toh udah di atas ini juga saya pikir. Yasudah, daripada mikir dengan posisi hati yang lagi galau alangkah baiknya saya menikmati dulu suasana di tempat itu. Kebetulan cuacanya cerah, keindahan lokasi itu lumayan bikin hati tenang dan Kota Dieng tampak jelas berjajar dari tempat saya berdiri saat itu. Kebetulan juga saat itu saya sendirian jadi nuansa santai tetap terjaga dan bikin hati tenang. Apalagi anginnya yang sepoi-sepoi seakan ingin berkata, udah kamu diriin saja tenda di sini.

Kota Dieng dari warung pos 1 pendakian Prau Dieng

Kota Dieng dari warung pos 1 pendakian Prau Dieng

Narsis dulu mengobati kegalauan diatas pos satu pendakian Dieng

Narsis dulu mengobati kegalauan diatas pos satu pendakian Dieng

Puas beberapa jam menikmati keindahan pemandangan dan alunan semilirnya angin di sana saya memilih turun untuk mencari tempat menginap. Tapi berhubung saya tidak punya kenalan maka satu-satunya jurus yang akan saya gunakan adalah rasa percaya diri saja. Sebelum benar-benar sampai ke bawah saya sempat melihat ada sepasang manusia setengah baya sedang menanam wortel, apa salahnya saya duduk dan menikmati pemandangan itu. Setengah jam saya duduk di ladang ada seorang bapak dari ladang menyapa saya, mungkin tebakan bapak itu karena saya bawa ransel jadi dia beranggapan saya baru turun. “Udah turun, mas?,” tanya bapak itu.
“Gak ada yang jualan pak. Jadi saya turun saja,” kata saya. Lalu bapak itu mengambil posisi duduk di sebelah saya. Mulailah kami berkisah. Tak lupa juga saya mengungkapkan ke bapak itu siapa saya dan apa tujuan saya. Bapak itu juga terkekeh kala saya bilang cuma mengandalkan uang yang pas-pasan buat bertahan hidup. Tidak ada yang namanya kebetulan di dalam hidup kalau sudah lebih dari sekali. Tanpa saya sadari apa yang saya ceritakan ke bapak ternyata membuat hatinya terketuk. “Ikut saya saja. Nanti tinggal di rumah adik saya,” kata bapak.

Seakan tak percaya dengan apa yang barusan saya dengar membuat ekspresi tubuh saya spontan bergerak. Tak henti-hentinya saya berterimakasih ke bapak itu. Sesampai kami di rumahnya dia perkenalkan saya dengan Bapak Hazim, dia inilah yang mau menampung saya. Tuhan memberikan anugerah kepada orang Indonesia yaitu keramahannya. Saya disambut dengan penuh rasa damai dan percaya, walaupun saya orang asing yang baru dikenal satu jam yang lalu. Sambutan hangat itu makin resmi dengan hadirnya segelas kopi dan sepiring gorengan. Bukan maksud saya kala itu ingin menyinggung perasaan orang, tapi berhubung daerah itu adalah wilayah wisata maka saya dengan sejujur-jujurnya mengungkapkan siapa saya dan saya tidak punya uang yang banyak. “Gak, pak, takutnya saya dikasih bon berapa-berapa, berarti saya cuma bisa gadai barang karena saya gak punya uang,” itu kejujuran saya ke Pak Hazim. Kawan-kawan tahu apa jawaban Pak Hazim? “Kita ini sedulur, sama-sama hidup di alam. Saya tidak pernah mengatasnamakan rupiah untuk persaudaraan,” itu ucapan yang keluar dari mulut Pak Hazim. Puji Tuhan! Lega saya mendengar hal itu. Setelahnya suasana kami makin mencair dan saling berbagi pengalaman dan kami selingi dengan candaan-candaan ringan, yang tak terasa magrib menjelang.

Jelang malam di sana saya disuguhkan makanan tempe dan sayuran. Malamnya saya termenung dan membayangkan ternyata masih ada orang Indonesia yang baik di negeri ini. Di antara nelangsa saya Bapak Hazim mengajak saya berkenalan dengan Pak Rohman, Pak Rohman inilah yang menemani saya atas permintaan Pak Hazim karena kondisi kesehatannya yang sedang tidak baik, sehingga Pak Hazim mengutus Pak Rohman menemani saya. “Dibawa bahagia saja. Tidak semata-mata semua dinilai dengan uang,” itu kata Pak Rohman kala mendengar kisah saya. Setelah beberapa jam Pak Rohman menemani malam saya, dia berjanji dan sepakat akan menemani saya subuh-subuh melihat keindahan Puncak Prau. (*)

Sambutan dengan suasana air panas dan camilan pada saat saya datang ke rumah Bapak Hazim

Sambutan dengan suasana air panas dan camilan pada saat saya datang ke rumah Bapak Hazim

Bunga sayuran yang ada di Dieng, disini sebagian masyarakat bercocok tanam & Biru langit suasana DIeng pada saat kedatangan saya disana.

Bunga sayuran yang ada di Dieng, disini sebagian masyarakat bercocok tanam & Biru langit suasana DIeng pada saat kedatangan saya disana.