10 AGUSTUS 2015

Di awal bulan Agustus ini, saya masih berada di Kalimantan. Saya masih ingin merasakan pesona dan kultur kehidupan di tanah Borneo yang menurut pandangan banyak orang, tanah Borneo adalah tanah jiwa, tanah di mana orang banyak belajar soal semangat, kekerabatan dan juga idealismenya. Saya beruntung masih diberikan kesempatan menginjakkan kaki di Kalimantan.

Hari itu saya masih berada di kediaman orang tua Toni, sahabat saya. Namun pagi sekali saya harus segera beranjak karena hari ini ingin menemui paman Toni, Pak Anderson seorang kepala sekolah di Setulang, salah satu daerah di mana suku Dayak masih asli, tempat di mana kita masih bisa melihat keaslian kehidupan suku Dayak, suku yang paling terkenal di Indonesia.
Jam menunjukkan pukul 08.30 WIB saat saya berjumpa dengan Pak Anderson yang kebetulan saat itu dia sudah bersiap-siap menuju sekolah yang ia pimpin, dan saya diizinkan untuk pergi mendampingi dia, yang memang sebelumnya saya melalui Toni telah memohon kepada Pak Anderson untuk mengizinkan saya ikut serta, karena bagi saya dengan koneksi dari Pak Anderson-lah yang bisa membawa saya ke suku Dayak lebih dalam.

Perjalanan menuju sekolah itu kami tempuh dalam waktu tidak kurang dari 1 jam perjalanan. Kondisi jalan ke Setulang tidak bisa kita katakan baik, karena kontur jalannya yang berbukit membuat beberapa titik yang beraspal, sementara titik-titik lainnya tidak semulus itu, ada bebatuan yang mengganggu kelancaran perjalanan kita.
Tapi bukan tugas saya untuk mengkritisi hal tersebut, saya cukup menikmati saja dari perspektif sendiri, biarkan pihak yang lebih berkompeten saja yang bicara soal struktur dan infrastruktur, saya tidak mau terjebak dalam interprestasi yang terlalu majemuk.

Sesampainya di sana setelah melalui perjalanan di jalan berbatu itu, Tuhan sepertinya memang memberikan saya kemudahan untuk menikmati apa yang ingin saya nikmati. Tidak perlu ada argumentatif yang ‘nakal’ soal keberuntungan ini. Buktinya, keberuntungan saya masih berlanjut karena setiba di sana Sekretaris Desa setempat kebetulan ada di lokasi, padahal jika nasib tak seberuntung ini, kemungkinan untuk membawa orang luar ke dalam wilayah Setulang mungkin agak sedikit sulit, apalagi tidak punya koneksi yang bisa menjamin keberadaan kita di sana.
Bertemu dengan Sekdes Setulang itu tidak saya lewatkan begitu saja. Dibantu dengan penjelasan Pak Anderson dan cerita saya soal keinginan masuk ke wilayah itu membuat sang Sekdes memberikan izin sepenuhnya bagi saya untuk masuk ke Setulang dan lebih dekat ke suku Dayak di situ. Tapi, itu belum sepenuhnya bisa membuat saya lega, karena Sekdes tadi baru “pintu’ pertama saya masuk ke sana, karena setelah mendapat izin dari Sekdes ternyata izin itu baru sebatas izin bertemu dengan Kepala Desa. Jadi, ‘pintu’ pertama saya lewati, tinggal ‘pintu’ selanjutnya, yaitu sang kepala desa yang harus saya ‘taklukan’.

Akhirnya masih dibantu dengan Pak Anderson dan Sekdes saya diterima dengan tangan terbuka oleh sang kepala desa, yang akhirnya saya diperkenankan masuk ke kampung dan diizinkan untuk memotret kehidupan suku Dayak di situ. Bahkan sang Kades menawarkan saya agar menginap di rumahnya dan saya iyakan karena itu adalah tawaran yang tidak akan mudah didapat oleh sembarang orang.
Sambutan positif perangkat desa itu membuat saya bersemangat, saya jadi berbangga hati karena hanya dengan koneksi dari Pak Anderson saya diberikan keleluasaan di perkampungan yang tak sembarang orang bisa masuk. Mungkin, kalau saya sekelas kru National Geographic Channel atau Animal Planet mungkin tidak terlalu sulit karena sudah terbiasa dengan penjelajahan dan nama besar.

Ketinting melintasi sungai di desa Setulang. Ini merupakan transportasi keseharian suku Dayak.

Ketinting melintasi sungai di desa Setulang. Ini merupakan transportasi keseharian suku Dayak.

Sekilas untuk diketahui daerah ini merupakan daerah wisata yang sudah ditetapkan pemerintah daerah ini sejak 2013. Namun, (* jauh sebelum ditetapkan sebagai desa wisata, Setulang telah banyak dikenal sebagai salah satu destinasi wisata. Namun saat itu para wisatawan yang berkunjung hanya sebatas melakukan penelitian khususnya tentang hutan adat Setulang yang dikenal dengan Tana Olen yang memiliki luasan kurang lebih 5.300 Ha. Penelitian yang dilakukan Center for International Forestry Research (CIFOR) tahun 2004-2005 menyebutkan bahwa secara umum kondisi hutan Desa Setulang (Tana Olen) adalah sangat baik. Banyak pohon-pohon yang berukuran raksasa dan tersebar di berbagai tempat. Ukuran pohon terbesar yang dijumpai mempunyai lingkar batang di atas banir 1.250 cm atau dengan diameter batang sebesar 398 cm. Menurut masyarakat setempat jenis pohon tersebut dinamakan “beteny”.

Masyarakat Desa Setulang membuat proteksi dengan aturan adat desa yang dipatuhi oleh semua warga serta mendapat dukungan dari pemerintah daerah. Hutan adat yang menjadi sumber penghidupan masyarakat, dijaganya dengan sepenuh hati. Dan atas upayanya menjaga kelestarian lingkungan tersebut, masyarakat Adat Desa Setulang mendapat penghargaan Kalpataru kategori penyelamat lingkungan dari Presiden Megawati Soekarno Putri pada tahun 2003. Selain memperoleh Kalpataru, Desa Setulang juga menjadi salah satu finalis Water Contest tingkat internasional di Kyoto, Jepang, pada bulan Maret 2003.

Ragam budaya yang eksotis juga menjadi magnit kuat untuk menarik wisatawan baik asing maupun domestik. Saat ini tercatat beberapa kelompok kesenian khususnya tari-tarian ada di Setulang. Para penari dari kelompok-kelompok tersebut siap menjamu para tamu dengan berbagai macam jenis tarian yang dimainkan oleh anak-anak, kaum muda dan orang tua diiringi alunan Sampe, sebuah alat musik petik khas masyarakat dayak.
Anak-anak dan kaum muda di Setulang saat ini sudah banyak yang mewarisi kemampuan orang tuanya dalam menari, bermain alat musik tradisional maupun membuat kerajinan tangan khususnya anyaman*). Saya mencoba berkeliling kampung Setulang untuk menemukan sosok unik yang bisa saya pelajari kehidupannya, dan akhirnya, pencarian saya terhenti pada seorang ahli mandau di kampung ini, senjata pusaka turun temurun dan dianggap sebagai barang keramat atau memiliki kesaktian.

Dia tinggal sendiri dan tidak mau tinggal bersama keluarga, padahal banyak anaknya yang ada di Setulang. Pilihan saya kepada bapak itu ternyata benar-benar memakan waktu tapi seru. Karena saya kesulitan berbicara dengan beliau, selain memang pendengarannya sudah agak terganggu, dia juga tidak bisa berbahasa Indonesia. Tapi pilihan sudah saya tetapkan, maka mau tidak mau harus terus saya cecar gimanapun caranya. Akhirnya, pertolongan datang juga, ada anaknya yang datang menjelaskan bahwa memang adalah sebuah keinginan bapaknya sendiri yang tidak mau bergabung dengan keluarga dan menceritakan banyak alasan-alasan lainnya. Pada akhirnya, sang bapak dengan dibantu penjelasan sang anak terbuka jika ingin mengambil potret dirinya. Bahkan kata sang anak, bapaknya senang jika saya potret. Dia bergegas memakai anting panjangnya untuk saya abadikan. Terimakasih bapak.

“Suatu pengembaraan dianggap gagal kalau kita tidak mendapat apa-apa yang kita cari. Tetapi itu tanggapan yang salah. Tidak ada pengembaraan yang sia-sia. Cuma kau tidak faham, bahwa sesuatu yang kau jumpa dalam perjalananmu ada kalanya lebih baik daripada apa yang kaucari.” (Dikutip dari tulisan Arena Wati).

Gadis Dayak desa Setulang.

Gadis Dayak desa Setulang.

Keceriaan anak-anak di desa Setulang bermain di sungai.

Keceriaan anak-anak di desa Setulang bermain di sungai.

11 AGUSTUS 2015

Saya tidak akan mengada-ada dan berani bilang kita tidak akan merasakan bagaimana serunya sebuah perjalanan tanpa merasakan bagaimana menghirup udara pagi di perkampungan yang berisi suku asli Dayak. Itulah yang saya rasakan pagi ini, saya bangun tidur dari rumah seorang kades di tanah Dayak asli. Setelah meminta izin pak Kades, saya mencoba untuk berkeliling berjalan kaki di perkampungan itu. Saya ingin mengejar keseharian suku asli Dayak yang bisa saya bagi ke kawan-kawan.

Berjalan beberapa saat saya berpas-pasan dengan sepasang kakek-nenek, yang lalu saya dekati dan berusaha berkomunikasi. Jujur saja, di sinilah letak tantangan sebenarnya berada di pedalaman, selain menegur warganya dengan cara yang tidak bisa sembarangan juga harus dikasih bonus dobel kesulitan komunikasi karena tidak bisa berbahasa Indonesia. Akhirnya dengan bahasa tubuh dan sedikit isyarat, ternyata nyambung juga, bahwa saya ingin ikut ke mana arah mereka berjalan. Dan setelah menyadari keinginan saya, kakek-nenek itu mengizinkan saya untuk berjalan beriring dengan mereka. Mereka mau ke ladang.

Saya sebetulnya sudah memprediksi bahwa perjalanan yang akan saya tempuh bersama pasangan tua ini akan memakan waktu. Ternyata memang benar prediksi saya, kami harus berjalan sejauh kurang lebih 3 kilometer untuk sampai ke tujuan. Dan jalan yang kami tempuhpun naik-turun bebukitan.
Saya heran, saya yang masih muda gagah dan tampan ini pun sudah merasakan capek yang luar biasa berjalan di kondisi yang seperti itu, tapi kakek dan nenek ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka itu capek. Mereka fine-fine saja, bahkan keringat pun tak menetes dari tubuh mereka, sedangkan saya, ahh… sudahlah.

Yah kurang lebih satu jam perjalanan akhirnya kami tiba di sebuah pondok pasangan serasi ini. Pondoknya sepertinya belum selesai benar, karena bagian atap baru setengah terpasang. Setelah beristirahat sejenak dan menarik nafas dalam-dalam saya meminta izin kepada keduanya agar diperbolehkan mengabadikan kegiatan mereka, dan keduanya mengangguk tanda setuju. Saya menjadi saksi bagaimana kehidupan sepasang anak adam itu dalam menjalani keseharian, sang nenek memasak air, memasak nasi untuk makan siang dengan kayu yang telah dipersiapkan. Sedangkan sang kakek masih sibuk dengan menyempurnakan atap pondok mereka.

Sepanjang hari saya bersama mereka lebih banyak diisi dengan kesunyian, itu beralasan karena mereka hanya mengerti sedikit saja bahasa Indonesia, tapi kalau urusan makan, mau tahu kek, gak tahu kek bahasa, pasti tau lah kalau kita lagi ditawarin makan, uyee… siang itu saya makan bareng sepasang kakek-nenek Dayak yang tak mengerti bahasa Indonesia. Jadilah siang itu makan bareng tanpa sepatah kata pun, sunyi, hanya bunyi kerunyah gigi-gigi kami. Senyap. Lauk yang kami makan siang itu sayur pare dan singkong. Sang kakek memimpin makan siang kami dengan doa Kristen dan pakai bahasa ala dia, dan saya sama sekali tidak mengerti apa yang sedang ia bicarakan. Yang saya tahu niat kami sama, pokoknya mensyukuri kepada Tuhan apa yang akan kami nikmati ini.

Usai makan siang keduanya kembali dengan aktifitas masing-masing kakek sibuk membangun pondok dan nenek sibuk menanam sayur-sayur di sekitar pondok. Kebetulan mereka belum membakar ladang jadi belum menanam padi. Kata mereka, kalau membakar ladang menurut ketua adat bagusnya setelah 17 Agustus. Tapi terkadang ada juga yang gak sabaran langsung main bakar ladang saja karena merasa cuaca bagus untuk bakar ladang. Nenek tidak membakar ladang dikarenakan takut didenda karena, ternyata mereka punya kesepakatan bahwa untuk membakar ladang harus bersama-sama.

Salah satu keseharian suku Dayak ini menanam padi dan sayuran.

Salah satu keseharian suku Dayak ini menanam padi dan sayuran.

Lumbung padi tempat penyimpanan beras di desa Setulang.

Lumbung padi tempat penyimpanan beras di desa Setulang.

Sore tiba akhirnya saya dan nenek pulang duluan ke kampung sementara sang kakek tinggal di sana karena menjaga pondok mereka, karena di sebelah pondok ada orang yang membakar ladang, jadi kakek khawatir api itu menjalar ke pondok, akhirnya dia memilih tinggal hingga keadaan aman dan api tidak menjilati pondok yang susah payah ia bangun bersama nenek.
Ehmm, ada satu momen yang bikin saya sebetulnya agak kaget juga. Karena ternyata apa yang telah saya dapati dari perjalanan bersama sepasang manusia ini, ternyata harus dinilai dengan uang. Buktinya, sebelum saya pulang kakek meminta uang karena dianggap potret mereka harus ada nilainya, tentu permintaan itu dengan bahasa isyarat.

Dengan bahasa isyarat juga saya bilang bahwa saya sama sekali tidak membawa uang, padahal sebetulnya saat itu saya memang bawa beberapa puluh ribu rupiah, tapi uang itu akan saya gunakan membeli kebutuhan pokok, yang justru akan saya berikan kepada mereka, jadi saya tidak mau memberi uang, saya hanya akan memberi kebutuhan pokok. Saya sedikit bertanya-tanya dalam diri, apakah ini sudah menjadi kebiasaan mereka karena banyaknya orang yang datang ke sini sehingga meninggalkan kebiasaan yang konservatif dari suku Dayak. Saya berharap ini jangan sampai menjadi paradoks bagi suku Dayak di sini, jangan sampai pernyataan yang seolah-olah bertentangan dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran di sini, karena mereka sudah mulai meminta uang untuk sebuah keteretarikan pihak lain, semoga ini cuma manifestasi saya saja.

Kutipan dari The Alchemist, sebuah novel bestseller karya novelist terkenal Paulo Coelho saya rasa cocok untuk menggambarkan hal ini. People are capable at any time in their lives, of doing what they dream of.? (Orang-orang memiliki kapabilitas setiap saat dalam kehidupannya untuk berjuang demi apa yang mereka impikan).
Setibanya kami di kampung itu saya perkirakan sejam perjalanan juga, lebih cepat beberapa menit dari waktu kami pergi. Di rumah nenek itu saya pun masih sempat memotret beberapa momen untuk saya abadikan. Akhirnya saya membeli perlengkapan kebutuhan rumah tangga seperti gula, kopi, garam dan beberapa ikan kaleng untuk keperluan nenek. Terimakasih Nenek Belo, mau memberikan setengah hari yang berarti untuk saya.

Siluet wanita Dayak Setulang ketika matahari pagi muncul.

Siluet wanita Dayak Setulang ketika matahari pagi muncul.

12 AGUSTUS 2015

Sebetulnya hari ini saya masih sedikit bingung mau mencari apa lagi di Setulang karena saya belum memiliki ide sepagi ini. Tapi pikiran saya entah kenapa terus mengarah ke pasangan Nenek dan Kakek Belo. Akhirnya, keterkaitan saya dengan mereka masih harus berlanjut hari ini. Saya datang lagi ke rumah mereka dan kembali meminta izin untuk mengabadikan aktifitas keseharian mereka sebelum beranjak ke ladang.

Banyak persiapan yang mereka lakukan, mulai dari menyiapkan makanan serta peralatan, sang kakek sendiri sibuk menyiapkan atap yang dibuatnya untuk atap pondok. Sebelum berangkat saya diajak lagi untuk sarapan bareng-bareng, walaupaun saya tidak terbiasa dengan hal tersebut, tapi demi menghormati mereka saya harus makan.

Sang kakek kembali berdoa dengan gaya dia sendiri, pakai bahasa Dayak, tinggallah saya yang menikmati suasana makan itu dengan suka cita, apapun yang ditawarkan mereka, harus saya pahami itu adalah sebuah penghargaan dan penghormatan dari mereka kepada tamu. Usai makan kakek menanyakan apakah saya mau ikut mereka ke ladang seperti kemarin, tapi untuk hari ini saya bilang ke kakek bahwa saya mau keliling kampung saja. Diiyakan kakek dan mulailah mereka melanjutkan perjalanan ke ladang.

Usai berpisah dengan pasangan itu saya keliling kampung untuk mencari bahan-bahan potret, namun entah karena saya yang lagi kurang mood atau memang suasana yang masih biasa-biasa saja akhirnya saya sama sekali tidak menemukan bahan yang menarik untuk koleksi foto, akhirnya dengan sedikit tangan hampa dari hasil keliling itu saya memilih kembali ke rumah pak Kades dan beristirahat sejenak.
Tidak lama menikmati istirahat saya, di rumah pak Kades kedatangan 2 turis yang dari tampilannya dari Tiongkok, dan mereka mengaku tiba di kampung ini atas rekomendasi orang di Setulang. Dengan bahasa Inggris yang sedikit koboi dan vokabulari yang lari-lari saya mengajak kedua turis itu untuk bincang-bincang.

Usai berpisah dengan pasangan itu saya keliling kampung untuk mencari bahan-bahan potret, namun entah karena saya yang lagi kurang mood atau memang suasana yang masih biasa-biasa saja akhirnya saya sama sekali tidak menemukan bahan yang menarik untuk koleksi foto, akhirnya dengan sedikit tangan hampa dari hasil keliling itu saya memilih kembali ke rumah pak Kades dan beristirahat sejenak. Tidak lama menikmati istirahat saya, di rumah pak Kades kedatangan 2 turis yang dari tampilannya dari Tiongkok, dan mereka mengaku tiba di kampung ini atas rekomendasi orang di Setulang. Dengan bahasa Inggris yang sedikit koboi dan vokabulari yang lari-lari saya mengajak kedua turis itu untuk bincang-bincang.

Narsis di rumah adat Dayak Setulang dengan ciri khas ukiranya.

Narsis di rumah adat Dayak Setulang dengan ciri khas ukiranya.

Anak Dayak Sesa Setulang.

Anak Dayak Sesa Setulang.

Dan, saya tiba di tanggal 13 Agustus, pagi itu masih bersama dengan 2 turis asal Tiongkok. Mereka hari ini ingin pergi melihat sebuah pohon besar yang sumbernya mereka lihat di internet, sementara saya memilih berdiam saja di rumah pak Kades dan berpikir untuk kembali ke Malinau Tanjung Lapang, karena selama 3 hari saya di sini sudah mendapatkan banyak kisah dan potret kehidupan yang siap saya bagikan ke kawan-kawan bagaimana uniknya destinasi wisata di Setulang. Lalu saya pergi ke SD tempat Pak Anderson mengajar untuk meminta dia mengajak serta saya pulang ke Tanjung Lapang.

Setelah mendapat persetujuan Pak Anderson sayapun berpamitan kepada pak Kades. Sebetulnya sebelum berpamitan ada ketertakutan saya akan sebuah hal, yaitu: berapa kira-kira saya harus membayar untuk semua ini. Walaupun memang dari awal pak Kades sudah mengetahui tujuan saya ke sini bukanlah sebagai wisatawan, saya takut selama 3 hari ini saya akan dapat tagihan sekian-sekian rupiah.

Akan tetapi pak Kades ternyata paham dengan apa yang sudah saya jelaskan dari awal, bahwa saya bukan turis dan dia pun menegaskan bahwa dia tidak memungut satu sen pun dari saya. Saya berjanji kepada pak Kades bahwa desa yang ia pimpin akan saya umumkan ke dunia melalui potret yang saya ambil dan cerita tulisan saya yang akan dibaca banyak orang, bahwa tempat yang ia pimpin punya sesuatu nilai yang sangat mahal, yang tak akan rugi mengeluarkan uang untuk menikmati suasana suku Dayak asli yang terkenal itu.

Pamit dengan istri dan anaknya siang itu saya langsung menuju ke Sekolah Dasar Setulang dan ikut pulang ke Tanjung Lapang. Dan sampai di rumah Pak Anderson saya menceritakan pengalaman saya selama di sana. Sorenya juga pulang ke rumah toni membagikan pengalaman selama saya di sana.

Dan, kisah perjalanan saya sampai saat ini seperti gambaran dari kutipan seorang traveller. “Dalam menjalani hidup ini, Nak, adakalanya kau akan sampai di jalan yang bercabang atau bersimpang. Bila demikian, jangan ragu-ragu memilih cabang atau simpang yang kelihatannya kurang atau jarang ditempuh orang.”Bagaimana kalau nanti kita tersesat?” tanyaku.”Kalau kita tersesat bukan berarti kita akan hilang dalam perjalanan”, jawab emak. “Maka jangan ragu-ragu mengambil jalan yang tidak umum. Hasilnya bisa cukup memuaskan … contohnya lihat apa yang kau alami sekarang. Setelah orang-orang melihat hasil ini, lama-lama mereka akan mengikuti langkahmu dan jalan ini lalu menjadi jalan orang banyak. Tapi kau tetap yang memulai, yang merintis. Ini berlaku baik dalam arti harfiah maupun secara kiasan.” (Dari Daoed Joesoef). (**)

Berfoto bersama anak dan istri Toni kawan saya di Malinau.

Berfoto bersama anak dan istri Toni kawan saya di Malinau.

Berfoto bersama Fudun anak kawan saya Toni.

Berfoto bersama Fudun anak kawan saya Toni.

Story by: Moonstar Simanjuntak
Editor: Eka Mahendra Putra
NB: (* Disadur dari berbagai sumber.