05 AGUSTUS 2015

Tak terasa semakin hari perjalanan pengembaraan saya semakin jauh menapak, dan, pagi ini di tanggal 5 Agustus pagi sekali saya masih ada di Tarakan, harus bangun untuk mencuci semua baju-baju dan perlengkapan perjalanan yang akan saya bawa ke target selanjutnya, yaitu Kabupaten Malinau, salah satu kabupaten di Kalimantan Utara yang terkenal dengan Taman Nasional Kayan Mentarang yang punya luas setidaknya lebih dari sehektar.

Jujur saja, hampir satu minggu ini baju saya belum dicuci, dan ada beberapa yang belum kering, jadi semua harus saya kebut karena jam di tangan saya sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB, itu artinya saya harus ke pelabuhan.

Tiba di pelabuhan di Tarakan tempat di mana manusia melakukan aktifitasnya, dari semua umur beraktifitas di sana. Nah, hal itulah yang membuat saya memilih untuk memotret keindahan pelabuhan beserta isi-isinya, lagian, di kapal juga masih disibukkan dengan aktifitas bongkar muat. Di pelabuhan itu memang seperti pelabuhan-pelabuhan pada umumnya tapi aktifitas manusia di dalamnya tak pernah kekurangan bahan untuk diabadikan.

Sampailah jam di mana kapal sudah selesai melakukan aktifitas bongkar muatnya, kalau tidak salah sekitar jam setengah enam sore, di situlah saatnya saya harus menyampaikan salam perpisahan dengan Mas Firman yang sudah sudi menampung saya selama di Tarakan. Begitu banyak hal yang saya pelajari selama di Tarakan, terutama kehangatan dan keakraban Mas Firman dan keluarga. Terimakasih saya untuk kalian. Bahkan, saya sangat berterimakasih lagi setelah salam perpisahan kami saya dibekali uang dan beberapa bekal lain seperti mie instan dan snack oleh Mas Firman, alangkah baiknya beliau.

Jujur, saya sangat bingung dengan perjalanan yang saya lakukan, setiap saya melakukan perjalanan sebagian besar orang-orang yang saya tumpangi baik yang sudah kenal maupun yang kenal dadakan, semuanya sama, baik hati dan tidak pernah setitikpun saya merasa dicurigai, saya selalu diperlakukan layaknya saudara jauh yang berkunjung. Ada-ada saja orang baik yang berada di lingkaran perjalanan saya.

Keluarga mas firman saat mengajak saya makan disalah satu rumah makan di tarakan.

Keluarga mas firman saat mengajak saya makan disalah satu rumah makan di tarakan.

Seperti kata seorang tokoh Indonesia, Pramoedya Ananta Toer di bukunya yang berjudul “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2”, bahwa setiap pengalaman yang tidak dinilai baik oleh dirinya sendiri ataupun orang lain akan tinggal menjadi sesobek kertas dari buku hidup yang tidak punya makna. Padahal setiap pengalaman tak lain daripada fondasi kehidupan.

Kapal pun berangkat tepat pukul 18.00 WIB menuju Pulau KTT, yang katanya di sana bakal bongkar muat kapal dahulu baru melanjutkan ke Malinau.

Kapal bintang perdana yang membawa angkutan barang-barang sembako yang saya tumpangi dari tarakan menuju Malinau.

Kapal bintang perdana yang membawa angkutan barang-barang sembako yang saya tumpangi dari tarakan menuju Malinau.

Narsis menjadi nahkoda kapal bintang perdana.

Narsis menjadi nahkoda kapal bintang perdana.

Tempat saya tidur bersama barang-barang sembako didalam kapal.

Tempat saya tidur bersama barang-barang sembako didalam kapal.

06 AGUSTUS 2015

Pemandangan dari kapal dipagi hari dengan sejumlah anak-anak menggunakan transportasi kapal untuk bersekolah.

Pemandangan dari kapal dipagi hari dengan sejumlah anak-anak menggunakan transportasi kapal untuk bersekolah.

Sekitar pukul 01.00 WIB kapal yang saya tumpangi tiba di Pulau Tanah Tidung. Sepanjang mata memandang, kapal-kapal di sana terpakir rapi.

Pukul 01.00 dinihari pun di sana masih ada keramaian. Ternyata setelah saya tanya-tanya ada upacara adat suku Dayak, ada warganya yang meninggal dan dimakankan, jadi, suasana ramai oleh musik itu ternyata adalah prosesi pemakaman. Dari yang saya pelajari di google, setelah seseorang dari suku Dayak dinyatakan meninggal maka dibunyikanlah gong beberapa kali sebagai pertanda ada salah satu anggota masyarakat yang meninggal. Segera setelah itu penduduk setempat berdatangan ke rumah keluarga yang meninggal sambil membawa sumbangan berupa keperluan untuk penyelenggaraan upacara seperti babi, ayam, beras, uang, kelapa, dan lain-lain yang dalam bahasa Dayak Maanyan disebut nindrai.

Pagi itu, kegiatan bongkar muat barang dimulai hingga selesai siang hari, semua barang-barang dikeluarkan.
Buruh angkut di Tanah Tidung saya catat ada sekitar 8 orang mengerjakan bongkar muat. Kapten kapal bilang kemungkinan besok baru lanjut ke Malinau.
Ada waktu kosong saya manfaatkan untuk melihat suku Dayak Blusu sedang menggelar acara kematian para tua adat di Tanah Tidung ini.

Kemudian saya sempat ditawari minuman Dayak Blusu dan sempat meminum. Dua orang dalam satu guci meminum sampai ada tanda kayu di guci menggantung. Gunanya menghormati orang yang meninggal untuk terakhir kalinya. Beruntung saya sempat melihat prosesi acara ini, karena tidak semua orang bisa mendapat kesempatan seperti ini, ini pengalaman baru buat saya.

Setelah dikuburkan selesai sudah acara yang ada di situ saya kembali ke kapal sore harinya sambil menikmati detik-detik senja di Tanah Tidung, yang akhirnya membuat malamnya saya nyenyak tidur, mungkin karena efek minum Ciu yang diberikan suku Dayak saat prosesi yang saya hadiri.

Ketika saya memotret prosesi dayak blusu meninggal saya diajak salah satu bapak-bapak untuk minum arak. budaya adat dayak blusu ketika ada yang meninggal adalah meminum arak dalam satu guci.

Ketika saya memotret prosesi dayak blusu meninggal saya diajak salah satu bapak-bapak untuk minum arak. budaya adat dayak blusu ketika ada yang meninggal adalah meminum arak dalam satu guci.

07 AGUSTUS 2015

Perjalanan dari Tanah Tidung menuju Malinau dimulai pukul 10.00 WIB dengan kapal barang yang saya tumpangi.

Saya naik kapal yang bernama Bintang Perdana yang dikapteni oleh Haruna. Kata kapten kemungkinan besar sore hari baru kami bisa sampai di tempat tujuan, kebetulan cuaca juga sedang bagus dan perkataan kapten kapal membuat saya sedikit tenang.

Saya sangat menikmati setiap inci perjalanan di sungai menuju Malinau, sesekali setiap ada objek yang menurut saya menarik selalu saya abadikan, selama perjalanan juga kapal kami sering berseberangan dengan kapal pengangkut batu bara dengan ukuran yang besar, seperti yang kita tahu bahwa Kalimantan memang terkenal dengan penghasil batu baranya.

Sekitar pukul 13.00 WIT kapal kami tiba di Pelabuhan Tengkawang Malinau, kapal yang kami tumpangi tidak berlabuh di pelabuhan speed karena kapal yang saya tumpangi ini adalah kapal bongkar-muat.

Akhirnya kaki saya menginjak bumi Malinau. Kebetulan di sini saya punya seorang teman, Toni namanya.

Setelah beristirahat sejenak di sebuah warung yang tak jauh dari dermaga, saya mencoba menelpon Toni dan mengabarkan bahwa saya sudah sampai di kabupaten mereka. Tak lama, Toni datang, dia membawa serta seorang bocah yang ternyata itu adalah anak semata wayang ia dan istrinya, kalau tak salah anak Toni baru berumur satu tahun.

Perjalanan dari pelabuhan menuju rumah Toni sebetulnya lebih mirip jalanan perkotaan, karena Malinau sendiri pertataan wilayahnya seperti perkotaan. Kami menempuh perjalanan sekitar 15 menit menuju rumah Toni yang berada di hilir kampung ini.

“Kalau di sini, mau cari alamat itu gampang, karena cuma butuh bilang hilir dan hulu sungai, mengikuti itu arah yang sering dipakai di sini,” kata Toni. Sesampai di rumah Toni saya langsung diperkenalkan dengan istrinya, lalu saya dan keluarga kecil ini saling bercerita untuk mengakrabkan diri.

Sore harinya saya diajak Toni untuk ke kebun milik orang tuanya, kami menyeberang sungai dengan Ketinting kira-kira 5 menit dan berjalan kembali menggunakan motor menuju kebun. Sepanjang perjalanan mata saya terbuka bahwa ternyata suku Dayak di Malinau ini cara berpikir dan berpakaian pun sudah moderen, karena keseharian mereka tak tampak lagi seperti bayangan orang tentang suku Dayak. Ini adalah hari pertama saya di Malinau, akan banyak lagi hal yang akan saya ceritakan tentang Malinau dan keindahan adat serta budaya serta potret kehidupan di sini.

Melihat suku Dayak di Malinau yang sepanjang saya lihat setengah hari, saya teringat petikan ucapan dari salah seorang penulis, Mohammad Kasim “Pakaian kita patutlah sepadan dengan pencaharian kita. Kalau kita telah bersepatu, hendaknya di rumah pun duduk di atas kursi atau diatas tikar permadani, tidur di atas katil, makan cukup, gulai jangan sambal terasi berganti dengan sambal terasi sahaja. Aku ini, itulah sebabnya maka tak sepakat dengan kelakuan kebanyakan orang zaman sekarang. Dasi berjela-jela setengah meter, uang pun kuntal kantil di dada, tetapi kantung melayang ditiup angin. Sampai di rumah mulut disempal dengan daun ubi campur sambal terasi.” (*)

Anak–anak di tanah tidung bermain dikapal bintang perdana

Anak–anak di tanah tidung bermain dikapal bintang perdana

Satu keluarga menggunakan ketinting, ketinting merupakan kendaraan sehari-hari kehidupan didaerah Malinau.

Satu keluarga menggunakan ketinting, ketinting merupakan kendaraan sehari-hari kehidupan didaerah Malinau.

Pemandangan perjalanan tarakan Malinau banyak melihat penambangan batubara.

Pemandangan perjalanan tarakan Malinau banyak melihat penambangan batubara.

Pemandangan pencemaran air di sungai sebelum memasuki Malinau

Pemandangan pencemaran air di sungai sebelum memasuki Malinau