Pagi itu saya agak telat bangun, maklum, saya masih asik menikmati atmosfir Kota Gudeg sampai-sampai hari itu saya bangun jam 10 pagi, pagi menurut saya, tapi kalau orang lain mungkin jam 10 itu sudah teramat siang untuk beraktifitas. Saya terbangun pun itu ada alasannya. Karena handphone saya berdering, ternyata ada pesan singkat masuk. Pesan singkat itu ternyata dari salah seorang kawan lama saya, namanya Papi Upexna, seorang laki-laki yang sudah menikah dan baru punya satu keturunan.

Papi ini bukan sembarang kawan bagi saya. Dia ini kawan seperjuangan saya kala kami masih sama-sama mengais rejeki di Jakarta, kami sempat satu kostan di Kost Jerman 30 di Jakarta. Dia ini saat itu sempat kerja di MNC TV namun, pada akhirnya dia lebih memilih meninggalkan pekerjaan itu dan pergi jauh-jauh dari Jakarta. Alasan kenapa dia mau meninggalkan Jakarta, sangat simpel. Karena di Jakarta tidak bagus untuk pertumbuhan anaknya. Papa yang baik!. Makanya Papi meninggalkan Jakarta dan kembali ke kampung halamannya di Muntilan Kabupaten Magelang. Di sana kata dia, bisa menjadi atmosfir yang lebih baik bagi tumbuh kembang sang anak.

Sekitar pukul 11.00 WIB saya tiba di Muntilan. Sesampai di sana, saya belum menghubungi Papi dengan alasan saya masih ingin mencari kuliner sederhana dulu di Pasar Muntilan. Setelah selesai sarapan, saya menghubungi Papi dan dia siap untuk menjemput di lokasi tepat di tempat saya sarapan. Pakai motor matic miliknya, kami langsung menuju rumah yang perjalanan kami tempuh kira-kira 5 menitan, karena memang rumah Papi dan pasar tidak terlalu jauh, apalagi Muntilan tidaklah sepadat Jogja, saya jadi teringat seperti kampung halaman saya di Bangka yang mau kemana saja gampang dan cepat karena daerahnya belumlah padat dan belum ada kemacetan.
Setelah sampai di rumah Papi, saya langsung disambut oleh ayahnya Papi, saya diperkenalkan dengan beliau dan seketika itu juga kami terlibat dalam obrolan yang santai dan langsung merasakan keakraban walaupun baru kali pertama bertemu. Tidak lama kami ngobrol-ngobrol ditemani minuman ringan dan makanan cemilan, Papi mengajak saya pergi ke suatu tempat yang ia anggap saya akan sangat tertarik untuk dikunjungi, yaitu Candi Ngawen. Lokasinya pun tidak jauh dari kediaman Papi. Memang, candi itu tidaklah sengetop dan seterkenal Bodobudur maupun prambanan.

Narsis di Candi Ngawen Muntilan yang masih jarang dikunjungi orang

Narsis di Candi Ngawen Muntilan yang masih jarang dikunjungi orang

Saya berfoto bersama Papi Upexna beserta keponakanya di Candi Ngawen Muntilan

Saya berfoto bersama Papi Upexna beserta keponakanya di Candi Ngawen Muntilan

Namun candi Hindu ini punya pemandangan yang eksotis dan menarik, tidak ramai dikunjungi dan menjadikan kita yang suka dengan kedamaian akan merasakan puasnya mengeksplore candi tersebut. Menurut seorang satpam di sana, Bapak Komidi namanya, pengunjung bisa saja ramai tapi itu biasanya hanya di hari Minggu. Setelah selesai menikmati candi itu selama beberapa saat, kami beranjak dan berjalan melewati Bodobudur. Setelah itu kembali ke rumah Papi dan saya langsung disuruh melepas penat.
Kalian tahu? Selama perjalanan dan sepanjang saya di atas motor Papi, saya melihat gugusan dan jajaran Gunung Merapi yang cuacanya sangat cerah, jujur saya sangat gelisah dan ingin sekali mendatangi lagi gunung itu memotret keindahannya. Saya meminta izin Papi untuk memakai motornya. Saya ingin pergi sendiri, karena saya tidak tahu akan berapa lama di sana, dan saya takut mengganggu aktifitas Papi, jadi saya memilih pergi sendiri dengan bermodalkan motor pinjaman Papi.

Di jalan, saya juga sempat kepikiran ingin ke Kali Adem Kaliurang, tapi setelah hitung-hitungan waktu saya rasa tak akan bisa saya jelajahi dalam waktu yang sangat singkat. Saat itu, saya benar-benar buta akan lokasi, saya tidak tahu mau mengarahkan motor ke mana, saya hanya mengandalkan feeling saja. “Ikuti arah jalan, dan pasti akan bertemu dengan ujung,” itu kata-kata yang saya ungkap dalam hati untuk mengurangi rasa khawatir. Perjuangan saya yang hanya mengandalkan feeling itu terbayar lunas. Saya bisa mendapatkan sudut foto yang bisa menggambarkan bagaimana cantik dan eksotisnya Merapi kala cuacanya cerah. Merapi menunjukan awan yang begitu indah untuk saya di hari itu. “Tidak ada pengorbanan yang berakhir sia-sia,” kata saya. Saya teringat akan sebuah kutipan dari W.A Nance yang menyebutkan, kegagalan dapat dibagi menjadi dua sebab, yakni, orang yang berfikir tapi tidak pernah bertindak dan orang yang bertindak tapi tidak pernah berfikir. Thanks God! (*)

Foto narsis dengan pemandangan Merapi yang sedang cerah

Foto narsis dengan pemandangan Merapi yang sedang cerah

Bentuk Candi Ngawen di Muntilan

Bentuk Candi Ngawen di Muntilan