“Sok kenal sok dekat hingga terjalin persaudaraan”

Pernahkah sahabat-sahabat pengembara merasakan sebuah deja vu? Ya, sebuah perasaan yang terjadi namun kita pernah merasakan hal serupa di masa lalu. Nah, sekarang moment seperti itu terulang lagi, kali ini kisahnya di pulau Sumba. Hemm.. tetapi dibilang kebetulan sepertinya tidak juga. Karena tepat setahun lalu kejadian ini terulang.

Cerita ini bermula ketika saya di Sumbawa Besar mencoba menelpon teman yang bekerja di salah satu tabloid besar di Jakarta, namanya Mas @icay, karena dia punya kenalan orang Sumba namanya ibu Maria Dara. Jadi, mulailah saya mengontak Ibu Maria lewat lewat facebook dan berbicara langsung melalui sambungan telepon dengan ibu Maria .

Kebetulan, ternyata dia tidak di Sumba, dia sudah memutuskan hidup di Jakarta. tetapi ibu Maria merekomendasikan ke saudaranya Romo @Christo untuk tempat di mana saya bisa numpang tinggal. Akhirnya kami pun saling kontak dan saya menyatakan untuk ke Sumba. Di pelabuhan Sape, saya membeli tiket untuk ke Sumba melalui kapal feri. Tetapi, perjalanan kami ternyata harus dibatalkan karena ombak kala itu sedang tidak bersahabat, ombaknya besar, maka kapal yang saya tumpangi pulang lagi ke Sape.

Kemudian saya memutuskan ke Labuan Bajo karena saya selalu berpikir positif, kalau tidak bisa menjalankan rencana, maka pasti ada rahasia lain yang sedang menunggu. Mungkin bukan saat ini untuk ke Sumba. Setelah 3 minggu di Labuan Bajo ada kapal wilis menuju ke Waingapu Sumba.

Kemudian saya putuskan untuk ke sana dan komunikasi dengan Romo Isto akhirnya saya diarahkan ketika sampai di Waingapu naik kendaraan dan berhenti di Waitabula bertemu kakak Merlyn.

Tiba malam di pelabuhan Waingapu, Seorang pria baik hati menawarkan saya menginap semalam sehingga esok baru melanjutkan ke waitabula.

Saya tiba di Waingapu malam hari dan berfikir untuk melanjutkan tidur di pelabuhan saja karena jarak Waingapu Waitabula sekitar 170 Km. Ketika hendak mau turun saya diajak ngobrol sama salah seorang pria dan bertanya pernah ke Sumbawa dan kenal Rio.

Dan pada akhirnya, dia menawarkan untuk tinggal di rumahnya hingga besok ke Waitabula. Malam ini saya tidur di Waingapu, di rumah orang yang baru dikenal. Luar biasa. Besoknya, travel pun tiba dan akhirnya saya berangkat ke Waitabula . Dalam perjalanan, saya sangat menikmati bukit Savana yang indah dan maha hijau, sepanjang perjalanan itu semua bisa kita nikmati, hingga suatu waktu ada pria muda di sebelah saya duduk berbincang-bincang, yang kami mulai dengan buah jambu yang saya tawarkan.

Ternyata eh ternyata, dia kenal Romo Isto dan membantu saya untuk berhenti di mana. Tiba di Waitabula ternyata saya lewat dari tempat yang seharusnya saya menunggu kontak dengan Romo Isto, walaupun pada akhirnya ada juga yang jemput saya.

Keberanian dan kejujuran adalah modal saya tanamkan dalam pengembaraan.

Seorang laki-laki menggunakan motor metik berhenti di depan saya. “Teman Romo Isto? Yuk, naik,” itu kata dia. Ternyata lokasi yang akan saya datangi itu tidak terlalu jauh jika ditempuh dengan jalan kaki. Akhirnya tibalah saya di rumah yang diarahkan Romo Isto. Di situ saya bertemu dengan kakak Merlyn.

Kita saling bercerita panjang lebar dengan mengutarakan apa yang ada dalam pikiran saya . Secangkir kopi membuat suasana menjadi lebih hangat. Tidak lama tiba bapak Vian dan tambah panjanglah obrolan, karena mereka taunya saya ini temannya Romo Isto, makanya saya diperlakukan dengan—menurut saya, istimewa.

Padahal sejatinya saya tidak terlalu mengharapkan mendapat perlakuan yang terlalu istimewa, karena bagi saya sudah diterima saja sudah teramat cukup, mau ditaruh tidur di mana saya asal dipercaya mah, saya oke-oke saja.

Tetapi, perlakuan istimewa ini membuat saya sangat berterimakasih. Saya dan kakak Merlyn sudah berkisah panjang lebar tentang kehidupan kami masing-masing padahal saya baru mengenalnya, tetapi obrolan kami yang hangat dan panjang itu seolah-olah membuat kami ini sudah kenal lama.

Obrolan berlanjut ketika ke belakang rumah, di situ ada sebuah bale-bale tempat duduk, yang dijadikan lokasi kami ngobrol berikutnya, dari situ pemandangan lebih menarik karena lebih natural, masih ada pohon-pohon, dibanding duduk di depan yang hanya melihat mobil motor seliweran.

Ketika sore menyapa, saya ditawarkan ke Keruni salah satu kampung di mana abang kandung kakak Merlyn bapak Tedy ada di sana. Dia memelihara ternak di sana, kata kak Merlyn, di situ saya akan lebih merasakan alam.“Tetapi kamu menginap semalam dulu di sini ya,” itu kata kak Merlyn.  Usai kami beristirahat sejenak, kami melanjutkan obrolan. Di situlah kak Merlyn menanyakan ke saya, apakah saya benar-benar kenal Romo Isto dan kak Maria? Saya jawab saya hanya mengenalnya lewat komunikasi facebook dan telpon selular yang membuat saya sekarang berada di situ.

Bahkan dengan Romo Isto saya belum pernah bertemu, justru Kak Merlyn lah yang pertama sekali saya jumpai dan dia sambung dengan nada tertawa terkekeh-kekeh. Saya sebetulnya agak kurang mengerti dengan bahasa tubuh mereka, apakah menerima saya atau tidak. Tetapi background keluarga Boloe sudah sering menerima orang seperti saya.

Kisah pun terjadi dalam sebuah ikatan pertemanan, persahabatan hingga persaudaraan . Hari ini moment di mana ada pertemuan dan perpisahan, tetapi aku merasa ini adalah awal perjumpaan sehingga nanti akan ada pertemuan lanjutan.

“Sok kenal sok dekat hingga terjalin persaudaraan” 

Beberapa hari di sumba banyak mengajarkan saya akan sebuah ikatan rasa persaudaraan, Dari mulai saya tidak kenal hingga saya dibuat ikatan dengan keluarga Boloe karena hanya bermodalkan jujur, sederhana apa adanya. Merasakan kampung karuni merupakan hal terindah yang dirasakan karena bisa bermain dengan anak-anak di sana serta menyatu dengan alam sekitarnya.

Bisa merasakan keindahan pantai, padang savana hingga bermain dengan kuda karena Bapak Tedy abangnya kakak merlyn senang memelihara hewan. Pengalaman ini merupakan salah satu yang terbaik dalam pengembaraan saya karena hubungan persaudaraan yang dibangun di sini sungguh kuat.

Satu hal yang saya ingat kata-kata yang sangat membuat saya bersedih. “Kamu datang hanya membuat kami sakit. Ketika kami mulai menyayangimu, kau pergi,” itu kata-kata dari mereka yang membuat saya seolah-olah langsung menjadi pria melow, perasaan sedih harus meninggalkan mereka terutama setelah mendapat kalimat seperti itu.  Begitu juga kain dari setiap keluarga di Sumba yang mengikat di kepala saya, yang menurut mereka itu adalah tanda bahwa saya harus kembali ke sini. Ucapan terima kasih tidaklah cukup untuk sebuah perjumpaan yang tertancap di hati ini.

“Sok kenal sok dekat hingga terjalin persaudaraan” kata-kata yang cukup diakhir untuk keluarga besar ini. Terima kasih pulau Sumba dan keluarga besar Boloe dan semua yang tidak bisa disebutkan satu persatu. (*)

Penulis, Photographer : Mahendra Moonstar

Editor : Eka Mahendra Putra