Tak terasa, sudah 5 hari hidup saya diletakkan di Mojokerto. Perjalanan pengembaraan saya harus kembali saya lanjutkan, karena apa yang telah saya capai sampai detik ini, sampai saat ini, belumlah setengah dari cita-cita saya untuk berbagi pengalaman dan mengambarkan betapa indahnya Indonesia, alamnya, budayanya, orangnya dan keramah-tamahannya.

Saya pernah berbincang dengan seorang teman sebelum saya beranjak pergi, dia memberikan saya sebuah kalimat yang ia kutip dari seorang tokoh agama terkenal, bahwa, jangan beritahu aku seberapa berpendidikannya kamu, beri tahu aku seberapa banyak kau telah melakukan perjalanan.

“Perjalanan seribu mil pun harus dimulai dengan satu langkah pertama,” kata saya mengutip Lao Tzu.

Begitu juga sebuah petikan dari buku Pramoedya Ananta Toer yang pernah saya baca menyebutkan, kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit.

Bicara keramahtamahan, selama 5 hari di Mojokerto saya sangat mengapresiasi orang-orang yang berada di Warung Rakyat. Komunitasnya, kekompakkannya dan rasa memiliki satu sama lain. Warung Rakyat, adalah sebuah tempat–sederhananya, dibilang tempat ngopi, minum dan makan santai.

Itu adalah sederhananya, tapi lebih besar dari itu, Warung Rakyat adalah sebuah wadah yang menampung semua apresiasi manusia akan diri, di sinilah tempat manusia Mojokerto berseni dan berjiwa bebas berkumpul, menyatukan sudut pandang. Itu sangat saya rasakan selama kurang dari seminggu di sini. Kegilaan mereka-mereka yang berkumpul di Warung Rakyat membuka cakrawala saya bahwa di sini, komunitas bisa berkumpul dalam satu tempat tanpa saling klaim komunitas mereka yang terhebat. Salut saya untuk Warung Rakyat dan orang-orang ‘gila’ yang ada di dalamnya.

Tapi, bicara Warung Rakyat tak afdol kalau saya tidak memperkenalkan kepada kawan-kawan siapa, sih sebenarnya otak di belakang ini?

Mas lean triana agusta bersama istrinya yang selalu mendukung membesarkan warung rakyat.

Mas lean triana agusta bersama istrinya yang selalu mendukung membesarkan warung rakyat.

Ya. Otak dari semua ini adalah Mas Lean. Dia adalah pemilik dari Warung Rakyat. Jangan kita lihat dari apa Warung Rakyat itu sekarang, karena jauh sebelum warung itu jadi seperti ini, sebetulnya banyak onak kehidupan yang dipertaruhkan di sini.

Dalam satu kesempatan, malam hari, saya sengaja berbincang dengan Mas Lean. Saya ingin tahu sebetulnya bagaimana kisah hidup dari warung yang dibesarkan oleh pria kelahiran 1980 bernama lengkap Lean Triana Agusta besarkan itu. Karena, tak ada bangunan menjulang tanpa pondasi awal, tak ada loncatan tanpa ada sebuah rintangan.

“Awalnya saya bikin warung ini, hanya karena saya niat awal ingin ada sebuah tempat untuk kawan-kawan yang selama ini tak punya tempat berkreasi, jadi ada tempat khusus, saya ingin umat-umat Tuhan yang punya rasa seni berkumpul, karena selama ini saya lihat, sebelum ada warung ini, kawan-kawan berpencar-pencar dan jarang bisa berkumpul beradu ide, itu awalnya,” kata Mas Lean membuka obrolan malam itu, yang ditemani lantunan indah musik dari panggung warung dan secangkir kopi khas mereka, dan gemericik air di kolam yang makin membuat suasana malam itu benar-benar terasa kehangatannya.

Baru buka warung kata Mas Lean, ia dan istrinya hanya berani buka nasi jagung dan kopi. Namun karena sudah kepalang ingin terjun ke dunia seperti itu dia mengatakan kepada istrinya, ayo, kita teruskan, kalau bisa warung ini harus jadi pintu gerbang seni Mojokerto. Kalimat itulah katanya yang ia haturkan ke istrinya, agar sang istri juga merestui langkah yang ia ambil.

Saat itu, pemasukan warung katanya per hari hanyalah Rp 75 ribu. Namun karena tak mau kalah oleh keadaan, Mas Lean dan istri terus mencoba bertahan, sambil terus mencari celah bagaimana agar warungnya bisa dilirik.

Bang untung sitanggang bersama mas lean triana agusta, bang untung yang ikut ambil andil membesarkan warung rakyat, dan menjadikan tempat berkumpulnya segala macam komunitas di mojokerto.

Bang untung sitanggang bersama mas lean triana agusta, bang untung yang ikut ambil andil membesarkan warung rakyat, dan menjadikan tempat berkumpulnya segala macam komunitas di mojokerto.

Nah, dalam satu kesempatan katanya, datanglah seseorang yang bernama Untung Sitanggang. Kala itu ia dan Bang Untung saling berbagi ide bagaimana agar warung yang ia kelola bisa menjadi tempat trendsetter komunitas, tempat berkumpul dan lebih dari itu, warungnya bisa dikenal luas.

Lalu seperti datang dari langit katanya, Bang Untung membawa secercah harapan itu. Dia merangkul komunitas-komunitas di Mojokerto untuk menjadikan Warung Rakyat sebagai tempat berkumpul, nah, dari situlah kata Mas Lean satu per satu komunitas turut serta, dan akhirnya ramai seperti saat ini.

Tak mau berpuas dengan apa yang telah tercapai kala itu, banyak komunitas-komunitas yang datang dengan membawa proposal ke Warung Rakyat, apakah proposal bikin acara atau proposal lainnya, semuanya kata Mas Lean ia tampung dan ia konsultasikan ke sang istri.

Dia mencontohkan ada komunitas yang datang membawa proposal dan meminta bantuan, namun kala itu kas yang ada di warung hanya Rp 300 ribu, namun karena merasa ada komunitas yang akan berkembang maka Mas Lean memutuskan untuk memberikan bantuan Rp 400 ribu, yang artinya malah mines di kas warung. Tapi, tak apalah kata dia, semoga itu pancingan untuk ikan yang lebih besar, makanya kata dia hutangnya sudah seperti bulu kucing, tak habis-habis, tagihan-tagihan selalu datang seperti koperasi yang tak henti-hentinya mengetuk pintu warung.

“Jiwa saya memang mengembara, mas. Sama dengan Mas Moonstar, makanya saya bangga bisa bertemu dengan mas dan bisa dapat waktu untuk berbincang berbagi pengalaman seperti ini,” kata Mas Lean, sambil kami mendengar alunan lagu dari suara Bang Seket.

“Itu, Seket, dulu pengen cari tempat untuk nyanyi, tak ada tempat, maka saya persilakan nyanyi dan berkreasi di warung ini, gak ada gitar, saya bilang sama istri pinjam saja gitar,” kenangnya.

Memang, selama 5 hari saya cangkrukan di Warung Rakyat saya banyak bertemu beragam komunitas yang berkumpul di Warung Rakyat. Mulai dari musisi, photographer, budayawan, termasuk bagian promosi salah satu rokok di Mojokerto, rokok Inmild.

Mas Lean sang pemilik warung ini umurnya sekitar 36 tahun yang sudah punya 2 anak. Dia melanjutkan ceritanya, dulu warung ini hanya milik usaha ibu jualan nasi jagung dan hampir tutup. Makanya, dia dan istri mencoba untuk melanjutkan warung dengan menjual kopi dan nasi jagung tadi. “Waktu kami buka sepi sekali, hampir 2 tahun bahkan pernah kami hanya mendapatkan Rp 75 ribu sehari,” katanya lagi.

Lalu, dia ingat akan pesan sang ibunda. “Jadikan warung ini menjadi gerbang berkumpulnya para komunitas di Mojokerto,” kalimat itulah yang ia pegang teguh sampai sekarang, pesan tersirat dari sang ibu-lah yang membuat ia terus berusaha membantu para anggota komunitas di Mojokerto untuk berkembang.

“Siapapun teman-teman deket saya, tahu kalau saya seperti apa, kalau orang lain, pelanggan biasa, mungkin mereka pikir ini hanya warung, hanya usaha biasa, tapi bagi saya ini lebih dari sekedar warung,” itu kata-kata Mas Lean.
Dia mengakui, kehadiran Untung Sitanggang telah membawa warna tersendiri di warungnya. Nah, empat tahun terakhir kata Mas Lean mulailah warung ramai dan dikenal, bahkan beberapa kegiatan pernah digelar di situ, bahkan, dengan keuletan itu sekarang dari hasil warung ia bisa menghidupi keluarganya dan bisa membantu 3 orang karyawan yang ia pekerjakan.

Sepanjang saya memandang selama ini, Mas Lean saya anggap merupakan sosok orang yang mau berbagi karena dia merasa warung ini adalah gerbang komunitas para pelaku seni. Pernah satu ketika katanya, ada sebuah grup band namanya Girilaya, pengen rekaman tapi sama sekali tak punya uang untuk menyalurkan niat mereka. Mas Lean kala itu merasa, sayang sekali band yang ia dengar lagunya bagus dan bernilai tinggi tapi tidak mendapat support, terlebih lagi dia adalah pecinta musik. Maka, tanpa pikir panjang, sebuah kamera kesayangannya Canon 5D Mark II yang kala itu harganya Rp 20an juta ia korbankan untuk membiayai rekaman band tersebut. “Karena saya merasa band ini punya potensi,” itu alasan Mas Lean.

Dia hanya berpikir jika ia berbuat baik maka suatu hari akan ada balasan yang ia terima. Bukan hanya kamera, ia juga pernah melepas lensa 135 f2 hanya untuk membiayai orang-orang di warung yang ingin liburan, karena saat itu warung sepi dan karyawan kepengen liburan, tapi karena tak ada biaya, akhirnya lensa mahal itu ia lepas. “Yang penting mereka bisa liburan ke pantai Papuma Jawa Timur,” katanya.

Soal sosok Seket dia juga bercerita, adalah salah seorang dari sekian banyak yang mampu membuat ia terpana. Seket berkata kepada Mas Lean bahwa dia sangat suka nyanyi di depan orang banyak. “Mas (kata Seket kepada Mas Lean), saya kepingin nyanyi di depan orang,” kata Mas Lean menirukan ucapan Seket.

Tapi karena saat itu sama sekali tak ada alat di warung, karena semua alat dibawa main keluar oleh kawan-kawan yang lain, makanya terpikirkan oleh dia untuk membeli gitar, yang awalnya dia bilang sama istrinya untuk membeli gitar buat anaknya Arum untuk les gitar. Namun itu berubah karena dia merasa Seket lebih memerlukan gitar itu dibanding anaknya, makanya dengan uang pinjaman teman, akhirnya gitar bisa dibeli.

Saya tentu penasaran dengan bagaimana sih, tanggapan orang-orang sekeliling Mas Lean tentang dirinya. Maka saya menanyakan hal tersebut kepada salah seorang teman dan rekanan bisnis di warung, Mas Toto dari rokok Djarum.

Dia bilang, dia sudah setidaknya dua tahun menjadikan Warung Rakyat sebagai tempat tongkrongannya. Mas Lean dia bilang adalah sosok orang yang asik dan makin membuat warung menjadi lebih nyaman. “Mas Lean itu baik, asik, ke siapapun dia baik, mau kenal lama atau baru dia sangat welcome, saya sukanya orang-orang di sini gak pernah ngurusin apalah-apalah, jadi asik aja,” katanya. Bagi dia Mas Lean itu adalah orang yang selalu mendukung apapun bentuk seni yang ada, mulai dari musik, budaya, seni, potografi bahkan demi itu dia rela berkorban.

Diceritakannya, dulu awal-awal Warung Rakyat baru dirintis, komunitas potografer sering hunting bareng dan Mas Lean usai hunting selalu menyuguhkan kopi dan makanan gratis, padahal itu adalah warung dia jualan, namun untuk komunitas tidak ia pikirkan. “Dulu yang nongkrong disini orang tua, orang kampung yang kepengen ngopi, tapi dengan datangnya Bang Untung itu yang bikin berubah,” ucapnya.

Saya pun tergelitik untuk berbincang dengan Bang Untung Sitanggang soal bagaimana Mas Lean di mata dia, terlebih Bang Untung salah satu orang yang berjasa juga saat memajukan Warung Rakyat. Kata Bang Untung, awalnya warung itu berdiri memang sudah membuat dia penasaran karena dulu konsep warung ini bukanlah seperti yang sekarang berdiri.

Lalu didasari rasa penasaran itulah dia mulai hari per hari masuk ke Warung Rakyat sebatas konsumen biasa. Mungkin kata Bang Untung, karena dia sudah tiap hari ke warung dan selalu ketawa-ketawa sendiri membuat Mas Lean penasaran, sehingga suatu waktu perkenalan mereka pun terjadi.

Kata Bang Untung, Mas Lean itu adalah sosok orang yang misterius, tidak pernah banyak omong jika diajak ngobrol bahkan terkadang bingung mau mulai obrolan dari mana, walaupun akhirnya obrolan terjadi dan Bang Untung menawarkan agar komunitas musik yang ia tahu untuk bergabung di Warung Rakyat, hingga menjadi sekarang ini.

Kata kunci yang ia dapat dari Mas Lean adalah sabar dan iklas. Lean kata Bang Untung sosok orang yang malas untuk ribut, setiap ada masalah yang dianggap tak terlalu penting selalu dia bilang “Untuk apa dipikirin, masih banyak yang bisa dipikirin,” kata Bang Untung menirukan kata-kata Mas Lean. “Dia itu orangnya gak mau grasak-grusuk,” kata Bang Untung.

Dulu, sebelum warung menjadi seperti sekarang kata Bang Untung, ada pesan dari orang tua Mas Lean bahwa janganlah semata-mata mencari materi, jadikanlah warung untuk tempat orang-orang berjiwa seni berkumpul, tidak boleh ada batasan seni selama semua bisa berkumpul.

“Kita di sini gak hanya nongkrong loh, mas. Tapi kita sering bikin apa-bikin apa, pokoknya sehari gak ke sini itu rasanya ada yang hilang,” lanjut Bang Untung.Diakui Bang Untung dia sudah sejak tahun 2002 ada di Warung Rakyat, dulu konsep warung itu sangat oldis, agak-agak tua, tapi oleh orang tua Mas Lean diberikan kuasa kepada Mas Lean untuk mengelola, pokoknya terserah mau dijadikan apa, pokoknya kelola sajalah.

Nah, sejak di tangan Mas Lean warung berubah 180 derajat, namun dia tak pernah membuang pesan orang tuanya terhadap warung yang memang telah ditanam budaya sana, makanya, walaupun kesan modern namun kesan adat masih terasa kental. “Pokoknya pesan orang tuanya, jangan lupa warisan budaya yang pernah ditanamkan dulu,” sebut Bang Untung.

Kepada saya Mas Lean bilang bahwa dia sangat suka dengan dunia seni dan potografi, makanya saya bisa hadir di sini berbagi pengalaman dengan kawan-kawan di Warung Rakyat. Ada satu ucapan dari Mas Lean yang membuat saya terharu kala ia mengatakan. “Mas Moonstar mungkin mengembaranya keliling Indonesia dan saya doakan mendunia, kita sama, sama-sama jiwa pengembara, tapi saya karena sudah umur saya rasa pengembaraan saya cukup sampai di sini, di warung ini,” sebutnya.

Mungkin gambaran yang bisa saya berikan ke Mas Lean adalah seperti kata dari Arthur Schopenhauer. “Perlakukan sebuah karya seni seperti seorang pangeran. Biarkan ia berbicara kepada anda terlebih dahulu”. Mas Lean telah memperlakukan seni layaknya sebuah jiwa, yang akhirnya membuat jiwa-jiwa lainnya bisa hidup dan berkembang di warung, yang bernama Warung Rakyat. (*)

Foto bersama Biyung Anik ibu dari mas Lean Triana Agusta.

Foto bersama Biyung Anik ibu dari mas Lean Triana Agusta.

Foto bersama bersama keluarga besar Warung Rakyat Mojokerto.

Foto bersama bersama keluarga besar Warung Rakyat Mojokerto.

Foto bersama sebelum keberangkatan meninggalkan Mojokerto di stasiun kereta.

Foto bersama sebelum keberangkatan meninggalkan Mojokerto di stasiun kereta.

Salah satu bbm bang Untung Sitanggang setelah saya meninggalkan Mojokerto.

Salah satu bbm bang Untung Sitanggang setelah saya meninggalkan Mojokerto.

Ucapan perpisahan dari saudara yang ada di Mojokerto disalah satu sosial media.

Ucapan perpisahan dari saudara yang ada di Mojokerto disalah satu sosial media.