Pagi ini, 4 Maret saya bangun dari sebuah kamar di kediaman Ayu, teman saya di Bali. Pagi ini suasana berbeda dengan beberapa hari yang lalu karena biasanya ada teman-teman dari Mojokerto yang di sebelah, tapi pagi ini saya kembali sendiri karena ketiga teman dari Mojokerto yang pergi bersama-sama memilih tinggal di rumah teman mereka.
Mata saya terbuka setelah ketukan dan suara halus Ayu dari balik pintu terdengar membangunkan. Setelah dibekali sarapan dan minuman hangat di pagi Bali hari ini, Ayu mengajak saya jalan-jalan ke pasar kebetulan cuaca sedang bagus-bagusnya, tidak ada alasan untuk tidak mengiyakan ajakan Ayu saya pikir.
Sepanjang perjalanan kami ke pasar, sepanjang perjalan itulah kita bisa merasakan Bali sesungguhnya, tradisi sembahyang masyarakatnya dengan menggunakan dupa membuat aroma itu hanya ada di Bali, dan tidak bisa kita temukan di tempat lain.
Pulang dari pasar Ayu langsung memasak untuk makan saya, sebetulnya tidak enak juga karena gara-gara sengaja masak membuat Ayu harus telat ke kantornya di salah satu perusahaan swasta di Bali, kalau tidak salah dia baru beranjak ke kantor sekitar pukul 08.15 WIT. Ayu ini punya tanggungan hidup, jadi dia sangat bergantung kepada pekerjaannya. Di rumah Ayu tinggallah saya dan ibunya. Saya memperhatikan ibu Ayu yang ingin sembahyang, saya melihat ibu sudah bersih, berpakaian khas Bali dan dia memulai ritual sesajen.
Saya berpikir, semua ajaran itu hakikatnya adalah sama, yaitu kebaikan. Kenapa harus ada pihak-pihak mengatasnamakan agama yang selalu ingin memaksakan untuk sama, padahal sangat indah jika hidup dengan toleransi di antara perbedaan. Setelah melihat ibu melakukan ritual sembahyang saya mencuci pakaian yang masih kotor dan menunggu motor. Malam ini rencananya pergi menemui Mbak Yudha dan kawan-kawan. Malam sekitar pukul 19.00 WIB saya memacu kendaraaan menuju ke tempat tinggal Mbak Yudha dan kawan-kawan Mojokerto. Di sana muncul wacana mau ke Lombok.
Akhirnya kami sepakat ke Lombok dengan cara menyewa motor hingga tanggal 7 Maret via penyeberangan laut. Dan jadilah akhirnya saya berkumpul lagi bersama kawan-kawan Mojokerto ini. Kami menyewa motor di langganan dengan membayar Rp 60 ribu dan memacu motor menuju Padang Bai, yang perjalanannya kami tempuh sekitar sejam perjalanan dari Denpasar.
Apes!. Tiba di Padang Bai saya tidak bisa menyeberang karena tidak diperbolehkan polisi, intinya saya kena tilang karena membawa STNK fotocopy-an. Walaupun sudah diskusi panjang lebar dan alasan yang bertumpuk-tumpuk, tetap saja keputusannya: KAMI DILARANG MENYEBERANG. Yang membuat saya harus memberi tips lagi untuk kawan-kawan yang mau ke Lombok pakai motor sewaan, yaitu, carilah tempat sewa motor yang ada hologramnya dan mintalah STNK asli untuk menyeberang ke Lombok. Akhirnya malam itu kami harus menginap di kantor polisi karena yang punya rental tidak bisa dihubungi. Yah, lengkaplah sudah.

Suasana matahari pagi di pelabuhan Padang Bai.
5 Maret – Tak Dapat Lombok, Ubud pun Beri Keistimewaan
Pagi ini, masih tidur di kantor polisi tetap tidak menurunkan nyali saya untuk mencari foto yang bagus di sekitar Pelabuhan Padang Bai, saya sempat memotret sunrise di situ. Tapi, setelah memotret saya dilanda kebingungan lagi, bagaimana caranya mengeluarkan motor dari kantor polisi, sedangkan waktu terus berjalan dan bisa-bisa rencana kami gagal total hanya gara-gara ditilang.
Tiba-tiba saya ingat punya kawan, dia seorang perwira di Bali, Bang Mohan namanya. Lewat Bang Mohan saya meminta agar dibantu dan diberi kebijaksanaan bagaimana caranya supaya saya bisa melanjutkan perjalanan ke Lombok.
Akhirnya Bang Mohan setuju untuk mengeluarkan motor tapi tetap dengan prosedur, cuma kami tidak mau saja membuang waktu di Padang Bai. Akhirnya dengan membayar Rp 300 ribu untuk 2 motor kami bisa melanjutkan perjalanan, tapi bukan ke Lombok tapi ke Ubud, ke rumah saudaranya Mbak Yudha. Sepanjang perjalanan ke sana banyak petani garam yang sedang beraktifitas menjemur di daerah Klungkung. Dan selama perjalanan juga saya sempat berhenti melihat upacara Melasti, upacara adat di sana. Akhirnya kami tiba di Gianyar, Ubud.
Saudara Mbak Yudha ini sebetulnya orang Mojokerto asli, tapi karena sudah 20 tahunan di Bali membuat dialek Balinya sangat kental, kita tak akan sadar kalau dia sebetulnya orang Jawa, yang punya dialek sendiri. Kami disambut makan-makanan khas Bali namun dengan bonus bumbu Jawa, yang mana hari itu ditutup dengan menonton adu ayam khas sana setelah diajak Bapak Gusti.
“Bahwa ketika kita memandang positif setiap kejadian akan muncul sesuatu yang menarik. Kali ini moment Melasti di laut dan sabung ayam ala Bali merupakan moment terbaik yang saya dapatkan,” kata saya dalam hati. Sempurnanya hari ini ditmabah setelah melihat Mas Nanang melakukan ritual di Tirta Empul. Dan saya mencoba mengikuti apa yang dia lakukan dengan kepercayaan saya sendiri. (*)

Sabung ayam di daerah Tamapak Siring, Bali.

Ibunya Ayu sedang melakukan sembahyang di Pura dirumahnya.
Recent Comments