Bangun pagi di tanggal 24 Februari tahun ini saya beranjak dari hangatnya suasana Warung Rakyat. Inilah serunya menjalani hidup mengembara seperti yang saya alami, bebas mau tidur di mana saja, gak pernah khawatir akan dingin, hujan, panas atau kelabang yang mungkin diam-diam masuk menjelajah bagian-bagian tubuh. Karena tidur bagi seorang yang pernah mengalami kehidupan seperti saya adalah sebuah anugerah yang tak pantas untuk dikeluhkan, seperti kali ini, Warung Rakyat menjadi lokasi saya menghabiskan waktu malam.
Anda tidak bisa menampikkan bahwa di manapun anda tidur, setiap anda bangun pasti akan menemukan secercah anugerah, apakah itu berbentuk fisik yang kasat mata maupun ‘pesan’ Tuhan lewat suara-suara dari alam. Layaknya hal itu seperti pagi yang saya nikmati usai membuka mata di Warung Rakyat, sinar matahari pelan-pelan mencoba memasuki tiap celah dedaunan dan pepohonan yang berjajar di halaman warung. Matahari pagi itu seakan ingin mengatakan kepada saya dan kawan-kawan di Warung Rakyat bahwa, pagi kalian ini adalah anugerah yang jangan dilewatkan hanya untuk berkeluh, sinar pagi itu dari Tuhan, maka take it or leave it!.
Segelas kopi khas Warung Rakyat menemani keceriaan saya di pagi ini. Bias sinar matahari yang membentuk bayangan saat menghantam gelas kopi saya seakan menambah keindahan suasana itu. Gambaran itu tentu saja tak cukup untuk memberi pujian ke Maha Pencipta akan kuasa-Nya yang ia hadirkan lewat bias-bias sinar matahari pagi.
Bang Untung datang, membawa sepiring gorengan, lalu terciptalah obrolan pagi antara saya dan Bang Untung. Begitu akrabnya obrolan saya dengan kawan-kawan di Warung Rakyat, yang tak saya sadari bahwa beberapa bulan yang lalu kami tak saling mengenal, kami saling tak tahu wujud, namun sekarang kami telah diikat dalam satu tali silaturahmi. Kuasa Tuhan mana lagi yang ingin kita tampikkan?

Sinar pagi di Warung Rakyat Mojokerto.
Oiya, hari ini, nampaknya saya tidak banyak beraktifitas di Mojokerto terutama karena keterbatasan pengetahuan saya soal kota ini. Bukannya saya jadi seseorang yang sudah merasa nyaman dengan satu lokasi, tapi karena memang selain saya merasa sudah cukup berinteraksi dengan orang-orang di sini, pun karena saya kurang menguasai daerah ini.
Jadi, hari ini saya hanya ingin mengurus rekening BRI. Rekening bank itu penting karena di situlah hadiah saya ditransfer saat mendapat nominasi lomba foto UKM 2015 lalu karena panitia hanya akan mentransfer ke rekening BRI saja. Jadi hari ini saya fokus mengurusi rekening. Dan Bang Untung Sitanggang mau menemani saya hilir-mudik hari ini.
Untuk diketahui, Bang Untung ini kesehariannya memang di Warung Rakyat, dia mengaku sudah cocok di sini walaupun dia sebetulnya ada rumah sendiri, karena saya mandi pagi itu pun di rumah beliau. “Saya sudah cocok di sini, hidup di Warung Rakyat,” ujar Bang Untung saat kami ngobrol semalam, sambil dia bilang bahkan tak jarang tidur sendirian di situ.
Hari ini Bang Untung tidak mengajak saya mengunjungi tempat wisata di Mojokerto, dia memilih untuk mengenalkan Kota Mojokerto secara utuh kepada saya. Ini menjadi pengalaman baru saya, karena memang saat berada di suatu tempat saya jarang mendapat kesempatan untuk menggali lebih dalam daerah tersebut, beruntunglah Bang Untung punya ide seperti ini. Nah, besoknya barulah kawan-kawan berencana mengajak saya ke lokasi wisata, katanya ke Jolutundo, dan kali ini malamnya kami berlima tidur di Warung Rakyat.
Ada kutipan dari Alice W Rollins yang saya ingat, yaitu karunia paling berarti yang dihadiahkan Tuhan dalam hidup ini sesungguhnya bukanlah berupa barang, tapi kesempatan.

Hampir setiap sore hingga malam Warung Rakyat diguyur hujan.
25 Februari – Merasakan Jotulundo, Tempat Erlangga Memuja

Teman perjalanan berkeliling Mojokerto hari ini.
Oke. Sesuai dengan janji teman-teman, pagi ini kami mau mengembara dengan cara sederhana ke salah satu lokasi wisata di Mojokerto, nama tempatnya Jolutundo.
Jadilah kami berenam bermodalkan motor saya dibonceng Bang Untung, Mas Didi berboncengan dengan Didit, Moy bersama Andre. Kami memacu perjalanan pertama dimulai dengan menuju pemandian Jolutundo sekitar 1 jam perjalanan menuju ke sana. Dengan membayar masing-masing kepala Rp 10 ribu dan parkir Rp 5 ribu kami mulai menjelajah tempat itu. Oiya, sebelum masuk ke lokasi itu semua pengunjung, mau apapun basic-nya, apapun kepercayaan yang dianutnya, atau mau pangkat sebesar apapun harus membersihkan diri dulu sebelum masuk. Karena lokasi itu adalah air terjun yang konon katanya tempat pemujaan pada jamannya Erlangga, dan tempat ini saya rasa merupakan yang salah satu yang terbaik di dunia.
Belum hangat kaki kami di lokasi saya tak mau buang-buang kesempatan untuk mengabadikan keindahan tempat itu, beberapa spot yang menarik langsung saya abadikan, dan dengan lokasi yang berbukit sangat cocok dengan sendal gunung Crop yang saya gunakan, dan tak lupa, saya mau mandi di lokasi itu. Air pegunungan sangat bagus untuk tubuh, itulah alasannya saya meminum air Jolutundo dan merasakan sejuknya air di situ saat tubuh terendam di dalamnya. Sungguh, aura sejarah dari air terjun itu memang terasa, tanpa kita tahu soal Erlangga pun, lokasi itu seakan menyimpan sejuta misteri, seolah-olah tempat tersebut memang ‘terjaga’.
Usai puas di Jolutundo, kami langsung ke hutan PPLH (Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup) Seloliman, yang tidak jauh dari lokasi pemandian ini. Masuk ke PPLH tidak dikenakan biaya. Di situ, kami masih merasakan hangatnya matahari di Gunung Welirang. Tak jauh dari posisi kami berhenti, ada sebuah bangunan yang mirip cottage, yang katanya itu bisa disewa jika ada pengunjung yang mau merasakan bagaimana hidup tanpa polusi dan tanpa kebisingan. Sungguh, tempat ini sangat cocok untuk menarik nafas segar tanpa polusi.

Foto narsis di PPLH (Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup) Seloliman Trawas Mojokerto.

Pemandangan dari salah satu cottage di PPLH & pemandangan persawahan jalur Trawas menuju ke Mojokerto kota.
Setelah memanjakan diri menikmati hangatnya matahari kami melanjutkan lagi perjalanan pulang lewat jalur lain yaitu jalur Trawas. Hamparan hijau sawah dan birunya langit membuat jalur ini nikmat tanpa adanya polusi. Hampir satu jam kami berkendara ingin berhenti menikmati warung di situ tapi sayangnya tutup hingga ada terpikirkan oleh Andre untuk menuju ke salah tempat menikmati sarapan dan ngopi di warung Sendang Raos di Trawas.
Setelah memanjakan diri menikmati hangatnya matahari kami melanjutkan lagi perjalanan pulang lewat jalur lain yaitu jalur Trawas. Hamparan hijau sawah dan birunya langit membuat jalur ini nikmat tanpa adanya polusi. Hampir satu jam kami berkendara ingin berhenti menikmati warung di situ tapi sayangnya tutup hingga ada terpikirkan oleh Andre untuk menuju ke salah tempat menikmati sarapan dan ngopi di warung Sendang Raos di Trawas.
Kopi dan sarapan yang kami nikmati siang itu alakadar dan ‘rakyat’ banget. Ada tempe, tahu dan sayur kangkung. Sempat merebakan badan di warung itu tempatnya luas. Setelah menikmati hampir seharian kami memutuskan tempat biasa cangkrukan Warung Rakyat yang nggak ada lawanya untuk berdiskusi tentang foto yang kami hasilkan hari ini serta cerita perjalanan kepada teman-teman komunitas lain di warung ini. Dan malam ini masih warung rakyat menjadi tempat istirahat saya. (*)

Warung Sendang Raos di Trawas, menikmati kopi dan makanan kampung.

Refleksi salah satu tempat istirahat di PPLH
Recent Comments