Pagi valentine!
Lagi-lagi saya bangun kesiangan. Mungkin kawan-kawan yang akrab membaca tulisan soal perjalanan pengembaraan saya bisa mengambil kesimpulan bahwa: saya sering bangun kesiangan. Ya. Hari itu, tanggal 14 Februari saya agak telat bangun di rumah Papi. Sadar akan waktu yang saya buang cuma-cuma, saya langsung mengajak Papi ngobrol. Saya kepingin tahu informasi soal bis yang bisa membawa saya ke Wonosobo, kalau bisa sih, barengan Papi. “Bis dari Muntilan itu gak ada langsung ke Wonosobo. Adanya bis dari Magelang,” kata seorang bapak di terminal saat saya dan Papi ke sana untuk cari-cari informasi soal bis. Oke. Jadi bisa disimpulkan bahwa besoknya saya harus bangun pagi-pagi. Ini sikap! Harus!. “Karena saya harus menunggu bis yang menyambung perjalanan dari Magelang ke Wonosobo,” itu dalam hati saya sambil memasukkan sarapan ke perut yang saya dan Papi makan di sekitar terminal.

Setelah puas sarapan saya dan Papi kembali ke rumah, kami melanjutkan obrolan-obrolan ringan sekaligus bernostalgia kala kami masih sama-sama ‘membajak sawah’ di Jakarta. Istri Papi ikut nimbrung dan antusias mendengar bagaimana suka dukanya 2 anak bujang yang hidup di kota besar. Agak siang, Papi dan anak istinya serta sang ayah pergi ke Jogja, ada urusan keluarga atau bagaimana saya lupa, dan saya sendiri memutuskan untuk lagi-lagi meminjam motor Papi untuk menjelajah sederhana di sekitar daerah tempat tinggal Papi. Dengan harapan ada satu atau dua lokasi yang eksotis yang selama ini tersembunyi dan tidak disadari warga sekitar. Jujur saja, saat itu saya memang tidak ada tujuan, jadi, sepanjang perjalanan saya hanya muter-muter dan mengikuti arah jalan yang lupa-lupa ingat pernah saya jelajahi. Karena kalau jalan ke Candi Borobudur saya sudah sering, jadi sedikit banyak saya paham jalan menuju Borobudur.

Dalam satu waktu motor yang saya kendarai masuk ke salah satu daerah yang namanya Karang Tengah, entah bagaimana bisa sampai di sana yang jelas saya ada di Karang Tengah. Di situ, masih sangat sepi, rumah-rumah pun sepanjang mata tertuju jaraknya berjauhan. Saya penasaran dengan keaslian dan keasrian daerah itu. Saya letakkan motor di salah satu pekarangan rumah warga, saya mulai perlanah-lahan memberikan salam hormat saya kepada masyarakat yang saya jumpai di sana.
Sekilas saya melihat seorang ibu-ibu yang sudah tua sedang sibuk menganyam bambu. Saya dekati, saya berikan salam ketimuran, dan syukurlah ibu itu mau berbincang dengan saya walaupun kala itu dia sedang sibuk mengerjakan anyaman. Ibu Narti namanya. Kata dia, mengerjakan anyaman bambu itu sudah hampir 20 tahun. Sambil menganyam dia menceritakan bahwa mereka turun-temurun memang diberikan ilmu pengetahuan menganyam, mulai dari nenek Ibu Narti, hingga ia sendiri sekarang masih menganyam bambu.

Bu Narti sedang membuat anyaman keranjang untuk dijual kepasar. Sehari ia mendapatkan 5 keranjang hasil buatan tangannya.

Bu Narti sedang membuat anyaman keranjang untuk dijual kepasar. Sehari ia mendapatkan 5 keranjang hasil buatan tangannya.

Menurut pengakuan Ibu Narti, dalam sehari dia bisa saja membuat keranjang anyaman itu sampai 5 buah dengan harga jual sekitar Rp 3 ribu. “Lumayan, nak, buat beli sayur. Kampung ini mayoritasnya memang pengrajin anyaman bambu, kalau laki-lakinya cenderung ke seni ukir,” kata ibu itu, sambil saya dengarkan dengan seksama dan serius. Tetangga Ibu Narti juga sama, menganyam bambu. Tapi kata dia tetangganya menganyam bambu dengan ukuran yang lebih kecil. Hampir setengah jam saya dan Ibu Narti terlibat obrolan dan tiba-tiba saya disodori kacang rebus, yang ternyata sebelum saya datang ibu sudah merebus kacang. Ah, rejeki lagi hari ini, bisa makan kacang rebus hangat dengan suasana yang lagi-lagi sangat damai, di mana saya bisa merasakan gurihnya kacang rebus dengan aroma tanah pedesaan yang sangat kental, diselingi kicauan burung yang sering bersahutan, terkadang juga melihat anjing kecil dengan nakalnya mengejar ayam, truly Indonesia!. Bukan hanya kacang goreng ternyata teman ngobrol saya, tidak lama tetangga ibu juga ikut bergabung sambil membawakan rambutan untuk dimakan.

Suasana keakraban obrolan kami langsung tercipta, seakan kami sudah saling mengenal sejak lama. Kehangatan dan keakraban manusia Indonesia sangat kentara, tanpa memandang sinis dan aneh terhadap orang asing yang perawakannya seperti saya, mereka tetap terbuka, ngobrol santai dan menghidangkan makanan. Saya menceritakan kepada ibu dan tetangga itu soal bagaimana pengalaman kerja saya di Jakarta dan bagaimana susahnya mencari suasana yang sedang saya rasakan saat ini. Di kota besar kata saya, hampir tidak ada orang yang mau begitu saja menerima kedatangan orang asing apalagi dengan jamuan yang begini rupa. Sinisme dan rasa tidak percaya di kota besar mendominasi.

Saya teringat lagi satu kutipan bijak dari Victor Hugo yang mengatakan “Kebahagiaan tertinggi dalam kehidupan adalah kepastian bahwa anda dicintai seperti apa adanya, atau lebih tepatnya dicintai walaupun anda seperti diri anda seadanya.” “Suasana yang tidak bising dan membuat saya betah,” itu kata saya ke 2 ibu-ibu yang ramah itu sambil dalam hati saya bicara. “Ibu, kalian berdua adalah be my valentine saya hari ini,” kata saya dalam hati. Puas dengan jamuan dan obrolan yang akrab itu, saya meminta izin untuk melanjutkan perjalanan, kali ini rencananya mau kembali ke rumah Papi.
Di perjalanan pulang mata nakal fotografer saya melihat sebuah pondok di tengah sawah dan dikelilingi tanaman berwarna hijau. Kapan lagi saya pikir bisa merasakan sepoi-sepoinya angin di lokasi seperti itu. Mata terpejam mendengar suara burung pipit yang berdiri di hijaunya tumbuhan. Tak terasa, hari sudah gelap saat saya tiba di rumah Papi. (*)

Suasana salah satu rumah tetangga bu Narti yang menjadikan anyaman untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari.

Suasana salah satu rumah tetangga bu Narti yang menjadikan anyaman untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari.

Tetangga bu Narti mampu membuat 50 anyaman sehari. Dengan anyaman bambu ukuran sedang dijual dengan harga 1.000 rupiah.

Tetangga bu Narti mampu membuat 50 anyaman sehari. Dengan anyaman bambu ukuran sedang dijual dengan harga 1.000 rupiah.