Apa kabar sahabat pengembara? Maaf, beberapa waktu ini saya belum bisa sharing pengalaman selama pengembaraan saya khususnya di Bali ini, ada beberapa alasan, antara lain saya masih ingin menyimpulkan beberapa hal yang memang patut saya bagi dan saya juga harus memilih apa yang menarik yang harus saya berikan kepada sahabat-sahabat semua.

Nah, kali ini, semangat pagi di hari ini tanggal 23 Maret 2016 saya masih bersama dengan sejuta semangat dan peralatan-peralatan fotografi saya di dalam tas ransel seberat 10 kilogram ini, saya melanjutkan perjalan ke Desa Budakeling Karang Asem, masih di Bali. Kebetulan, hari ini saya dapat undangan dari Bapak Gus Santi untuk meminta saya hadir di upacara Usaba yang diadakan 3 tahun sekali.

Usai dapat undangan seperti itu, saya tak mau terlambat sedikitpun, saya pacu motor dari Mambal Ubud yang jaraknya kurang lebih 80 Km. Perjalanan menuju Desa Budakeling sangatlah beragam terutama pemandangannya, mulai dari pemandangan pantai hingga bukit penuh dengan hutan. Sekitar 2 jam perjalanan saya tempuh tibalah saya di Desa Budakeling. Sesampai di sana ternyata masyarakatnya sudah mulai mempersiapkan upacara di pura dalem.

Ketika masuk ke rumah Pak Gus Santi muncul sosok Mas Indra, jika sahabat-sahabat membaca perjalanan saya di Bali sebelumnya, saya pernah menceritakan siapa Mas Indra ini, dia adalah salah satu dari banyak orang yang memberanikan diri untuk hidup mengembara, dan saya banyak mendapat pelajaran hidup dari dia. Yang saya ingat ucapannya adalah persimpangan antara ego dan bijaksana. Kami pun hangat dalam pembicaraan berdua. Setelah mulai sore muncul sosok pria ubanan agak sedikit tua menggunakan kacamata. Pak Joko namanya, dia merupakan salah satu orang yang tertarik dengan beragam kebudayaan. Obrolan kami pun hangat kembali tentang bagaimana masyarakat yang ada di Budakeling ini bersatu menjadi satu tanpa saling mendahului.

Kiri: pak Joko, pak Gus Santi, mas Indra dan saya berfoto di upacara Usaba di Budakeling.

Kiri: pak Joko, pak Gus Santi, mas Indra dan saya berfoto di upacara Usaba di Budakeling.

Wajah penari gadis Bali.

Wajah penari gadis Bali.

Untuk pesta besar Usaba di pura dalem melibatkan seluruh masyarakat dengan mengambil porsinya. Misalnya, ketika juru masak dipimpin pecalang, ya semua di bawah komando dia dan tidak ada kasta brahmana S3, begitu yang disampaikan Mas Indra. Semua dibentuk karena kesadaran di acara upacara usaba yang dilakukan 3 tahun sekali. Saya merasa orang yang sangat beruntung bisa menyaksikan ini karena Pak Gus Santi yang memberikan informasi dan memberikan ijin untuk ke sana.

Saya tertarik dengan obrolan pakde Joko tentang dunia fotografi dengan era-nya kala itu, semuanya sudah pada puncak, lukisan sudah menyerupai hasil foto apa yang menarik. Yang nanti menarik hanyalah pick moment dan big moment. Pick moment ketika bicara ketepatan mengambil objek dari mulai gestur, timing sementara big moment seperti yang saat ini kami hadiri upacara usaba. Hanya itu kata dia yang tersisa pada akhirnya ketika foto sudah mencapai puncaknya lukisan menyerupai foto di luar dari alat teknis dan lain-lain. Dan, malam di pura itu ditutup dengan acara wayang dan sempat memotret. Malam itu saya memutuskan untuk tidur di Budakeling. (*)

Seorang ibu menata kembali persembahan yang ia bawa di upacara Usaba.

Seorang ibu menata kembali persembahan yang ia bawa di upacara Usaba.

Tari Kecak pada acara Usaba di Budakeling.

Tari Kecak pada acara Usaba di Budakeling.

Warna-warni Banten di upacara Usaba desa Budakeling.

Warna-warni Banten di upacara Usaba desa Budakeling.

Warna-warni hiasan pada acara Usaba di pura dalem desa Budakeling.

Warna-warni hiasan pada acara Usaba di pura dalem desa Budakeling.

Permainan wayang dimalam hari pada acara upacara Usaba di pura dalem.

Permainan wayang dimalam hari pada acara upacara Usaba di pura dalem.