Habis bekal dalam perjalanan kerja buruh aspal di pontianak
Berbekal keberanian akhirnya memulai pengembarannya keliling Indonesia dan berakhir diperbatasan timor leste. saya menjejakkan kakinya pertama di Papua Barat (Fakfak, Sorong, Raja Ampat), Maluku Utara (Ternate, Kampung Beringin, Halmahera), Sulawesi(Bitung, Tomohon, Manado, Gorontalol, Pulau Togean, Poso, Tanah Toraja, Makasar), Kalimantan (Tarakan, Tanah Tidung, Malinau, Berau, Samarinda, Balikpapan, Banjarmasin, Palangkaraya, Pontianak, KEPRI (Tanjung Pinang), Sumatera (Kandis, Pekanbaru, Sumut, Aceh, Nias, Bukittinggi, Jambi, Palembang, Bangka, Jawa (Jakarta, Bandung, Ambarawa, Jogjakarta, Dieng, Mojokerto, Banyuwangi), Bali, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Leste.
Seperti apa dalam menggapai mimpinya? Berikut kisahnya seperti pernah ditayangkan di grid.id.
7 Mei 2015, hari itu, tanggal itu, saya dengan sejuta impian dan harapan mulai melangkah dan memahat perjalanan sejarah pribadi yang awalnya hanya ingin saya nikmati sendiri. Namun, ternyata goresan sejarah yang saya buat itu tak kuasa untuk direkam dalam tiap inci urat tubuh ini.
Saya tak kuasa menyimpan goresan sejarah hanya untuk nelangsa malam hari kala mata sendu terpejam di bawah juntaian bintang.
Setahun perjalanan ini, izinkan saya memberikan sebuah persembahan rasa hormat saya kepada orang-orang yang telah secara tak sengaja telah menjadi bagian keluarga bagi diri saya sampai saat saya menuliskan rasa terima kasih ini.
Seperti awal-awal perjalanan, saya ingat di Tomohon saat ingin melanjutkan perjalanan ke Bitung.
Awal-awal perjalanan adalah hari-hari tersulit bagi saya pribadi sebagai seorang yang masih ‘amatir’ untuk melakukan pengembaraan.
Namun, teman saya Gina dan suaminya Yudhy seakan memudahkan saya untuk melakukan pengembaraan dengan menerima dengan baik di Tomohon tempat tinggal gina.
Keluarga kecil ini seakan membuat saya iri melihat bagaimana cara mereka hidup dalam sebuah kesederhanaan dan kehangatan.
Betapa hebatnya Gina dan Yudhy, mereka berdua bersama-sama melakukan aktifitas, tanpa mereka sadari membuat iri melihat hal itu.
Mereka begitu memburatkan kebahagiaan, sederhana, bersama, bahagia, tertawa, sesekali mendapat rengutan sang anak yang kedinginan membuat saya sedikit menundukkan wajah.
Suatu hari, nanti, saya ingin seperti itu.
Lalu, kala menginjakkan kaki ke Gorontalo, beruntung saya lagi-lagi saya punya kawan lama di situ namanya Rahmat. Rachmat adalah kawan saya semasa kuliah dulu satu angkatan 2003 di Bandung.
Dari semua kisah yang diceritakan Rachmat, semakin membuat mata hati saya terbuka lebar, bahwa perjalanan yang saya lakoni ini bukanlah semata keinginan panjang saya dan hasrat untuk menggapai nawacita, tapi ternyata, ada sisi lain dari perjalan ini yang saya tarik.
Bahwa perjalanan hidup orang lain menambah khasanah saya pribadi, untuk ke depan agar bisa menghadapi romantika hidup.
Memulai dari bagaimana menjalani hidup berkeluarga, toleransi beragama maupun bagaimana tetap tersenyum saat kesusahan sedang menari-nari di altar pikiran kita.
Di Halmahera saya bertemu dan berkenalan dengan dua pria bernama Sarto dan Aten.
Sarto tanpa diduga mengizinkan saya tinggal di rumah mereka di sebuah desa yang bahkan saya belum pernah mendengar namanya.
Rasa percaya mereka kepada orang asing membuat saya salut, padahal kami hanya bertemu 2 jam di sebuah kapal pelni dari sorong-ternate.
Lalu mereka itu menjadi keluarga baru bagi saya dan ketika pulang anak-anak ikut menangis kepergianku.
Di Tanah Toraja hampir putus asa ketika tidak ada kenalan untuk numpang tinggal.
Ketika berjalan di sekitar Pasar Toraja dan melihat ada mobil dengan sekitarnya orang-orang menggunakan pakaian hitam .
Kemudian berani bertanya mereka kemana? Seseorang bernama Bapak Elwin menjawab kita mau ke pesta kawinan keluarga.
Saya mendapat ijin ikut duduk makan bersama keluarga pak Elwin.
Ketika pulang, pak Elwin menawarkan rumahnya untuk menginap, tapi katanya jauh dari kota.
Saya mengiyakan dan ikut ke rumahnya di kampung Bokin.
Ternyata kampungya bak surga dengan hamparan hijau sawah dan kabut pagi naik ketika matahari muncul.
Cerita kebaikan orang Indonesia juga terekam kala perjalan Berau-samarinda, bagaimana seorang sopir yang berhati mulia mau menampung saya, Anto namanya.
Padahal, dengan isu-isu banyaknya kejahatan di jalan lintas tentu akan membuat orang berpikir seribu kali menerima orang asing menempuh perjalanan panjang.
Tapi tidak dengan Anto, dia dengan iklas menerima dan memberi tumpangan di mobil ekspedisinya.
Sempat menginap tidur di kebun sawit dalam perjalanan dan bergabung dengan supir truck ekspedisi lainya.
Rasa takut khawatir ada tetapi semua terlewati karena mas anto orang baik.
Lain lagi cerita Berti Sitompul, wanita yang banyak membantu saya selama di Pontianak.
Di Pontianak, juga saya menemukan bukti orang-orang Indonesia itu baik-baik.
Berti baru kenal selama di Pontianak namun beberapa hari bersama, Dia yang sangat membantu untuk mencarikan kerja lepas sebagai buruh aspal untuk mendapat uang. Ketika bekerja sebagai buruh aspal kenal dengan ibu lucia yang baik sering membawa lauk makan sering dibagikan. Sehingga hanya membawa nasi saja ke lokasi bekerja.
Di sini saya melihat rasa saling percaya antar sesama manusialah yang membuat saya merasa bisa diterima.
Pulau Sumba yang sangat ramah dan bersaudara ketika saya tidak kenal sama mereka hanya kenal di kenalkan teman membuat saya memberanikan diri ke sana dengan modal nama dan nomor telepon saya menuju sumba.
Di sana ada kakak merlyn yang hanya nama dan alamat rumah di waitabula sumba barat daya untuk saya cari. Kemudian saya bertemu beliau i pertama kali .
Sebenarnya kakak Merlyn merupakan saudara dari Romo Christo salah seorang yang merekomendasikan saya untuk bertemu kakak merlyn.
Akan tetapi Romo Christo pun di rekomendasikan oleh kakak Maria Dara yang ada di Jakarta.
Kakak Maria Dara saya juga dikenalkan oleh mas Icay teman satu perjuangan di kantor Kompas Gramedia dulu.
Mereka menerima dan akhirnya hingga kini hubungan ini terjaga dengan baik. Saya akhirnya menjadi bagian dari keluarga Nani Boeloe.
Sementara ketika di Bali, saya bertemu banyak orang yang baik salah satunya I Gusti Putu Wiyani yang sudi menerima saya untuk bisa tahu arti cinta dan karma.
Dimana apa yang kau tabur itu yang kau tuai. Jika kau menabur kebaikan suatu saat kamu akan menuainya.
Pulau Bali menanamkan agar meningkatkan nilai spiritual dibanding fokus dengan kehidupan keduniawian. Kemudian mempertajam kebijaksanaan ketimbang memperbesar ego dalam diri ini.
Dan salah satu yang punya kesan mendalam bagi saya selama melakukan perjalanan pengembaraan ini adalah kala saya lama menginjakkan kaki di Mojokerto.
Di sana, hampir setengah hati saya telah saya tinggalkan, orang-orang yang saya temui di sana memang orang-orang yang total dan loyal kepada seni dan kehidupan tradisi.
Keluarga besar warung rakyat di Mojokerto yang membuat saya menjadikan tempat ini istimewa dalam perjalanan pengembara.
Ada nama Mas Lean Triana Agusta, sepanjang saya memandang sang pemilik Warung Rakyat di Mojokerto itu, merupakan sosok orang yang mau berbagi karena dia merasa apa yang ia miliki adalah gerbang untuk memperkuat seni.
Ada juga bang Untung Sitanggang, yang juga sebagai seseorang yang berandil cukup besar dalam perkembangan komunitas di Mojokerto dan salah seorang yang saya rasa cukup berjasa membuat Warung Rakyat menjadi trendsetter di kalangan komunitas di sana.
Perjalanan pengembaraan ini sebetulnya tidak akan pernah bisa saya rasakan tanpa sebuah restu dari orang tua.
Saya masih ingat bagaimana Mamak saya menitipkan pesan agar saya segera pulang dan hidup normal setelah saya puas menjalani apa yang telah saya cita-citakan.
Saya menitikkan air mata kala sebuah kalimat “Mamak sudah bangga sama kamu,” cukup membuat hati saya terenyuh, dan membuat saya berjanji dalam hati.
Suatu hari Mamak akan kembali memeluk anakmu ini dalam keadaan selamat dan akan membuat keluarga lebih bangga lagi dari sekarang apa yang mampu saya persembahkan.
Saya memang telah berani membuat sebuah keputusan meninggalkan dunia normal, sebuah pekerjaan yang cukup menjanjikan, semua saya tinggalkan demi sebuah cita-cita, dan suatu hari saya akan kembali dan mencium lagi keningmu yang telah terkerut usia. (bersambung)
Bertemu banyak orang, memetik makna dalam tiap perjalanannya. Menuai hal baik, akan mendapat kebaikan pula.
Pesan mamak nya, anak simanjuntak ini sudah cukup membanggakan.
Tuhan.. dia iri pada kehidupan keluarga sahabatnya yang luar biasa, sementara ‘AKU’ iri padanya bisa begini
Seperti itulah kehidupan, Waktu saya hidup bebas saya iri dengan orang yang sudah berkeluarga. Akan tetapi ketika sekarang sudah berkeluarga kadang iri melihat teman yang masih sendiri dan hidup bebas. Akan tetapi saya hanya menanamkan dalam diri ini perjalanan Sabang-Merauke sudah selesai, Sehingga hidup bebas sudah mulai di tinggalkan. Sekarang menata tanggung jawab hidup berkeluarga kalau bosan paling jalan-jalan seputar bali karena sudah memutuskan untuk hidup di pulau ini.
Halo bang.. ini banb moonstar langsung? ? salam kenal, aku nona. Nona kelahiran Beltim dan menetap di pangkalpinang bang..
Nona dapat link ini dari seorang sahabat lama yang akhirnya kami bertemu dalam satu frekuensi. Dia cerita beberapa hal tentang abang, kalian hebat-hebat semua.. kagum!
Semoga kami bisa bersama ke Bali dan bisa ktemu abang ya..
salam dari anak-anak nona, mereka ber-3 bermarga Siahaan.