2 Maret

Tepat tanggal 1 Maret 2016, saya melanjutkan perjalanan untuk menjelajah lagi ke beberapa wilayah nusantara, setelah cukup beberapa lama saya mencoba kehidupan di Mojokerto. Target kali ini adalah menuju Banyuwangi. Ada yang berbeda dari perjalanan saya kali ini. Jika sebelum-sebelumnya saya seorang diri, namun kali ini saya pergi bersama 3 kawan dari Mojokerto seperti Mas Nanang, Mbak Yudha, Mas kethip.

Di hari itu juga sekitar pukul 13.15 WIB saya berpisah dan mengucapkan salam perpisahan dengan Tunggul dan Pak Agung yang mengantar kami ke Stasiun Mojokerto. Dari stasiun itu kami menumpang Kereta Sri Tanjung dan membayar Rp 100 ribu, yang menandai awal perjalanan kami bertiga, yang jujur, ini adalah perjalanan pertama saya bersama dengan orang lain. Berada di kereta hampir 9 jam akhirnya tibalah kami di Stasiun Karang Asem, kami langsung mencari angkutan untuk mengantar ke penginapan, rombongan dikenakan biaya Rp 10 ribu per orang untuk biaya antar ke penginapan yang kami tuju, namanya Kampung Osing, yang setelah berada di penginapan itu kami memilih 1 kamar untuk berempat dengan biaya Rp 170 ribu.

Nah, pagi harinya, adalah awal kami untuk menjejajah Banyuwangi. Pagi sekali kami sudah keliling mencari rental motor yang akan kami pakai berkeliling mencari kelebihan Banyuwangi yang masih tersembunyi. Sekedar informasi bagi kawan-kawan yang belum pernah ke Banyuwangi dan mau ke sini, saya menyarankan di stasiun Karang Asem itu ada penyewaan motor harganya Rp 75 ribu, dan kalau datang ke sana kemalaman ada alternatif di depan stasiun ada sebuah penginapan yang juga menyediakan sewa motor.

Hari ini, rencana kami adalah checkout dari penginapan tapi saya tetap mau nitip tas saya yang super besar, karena sangat tidak mungkin hanya keliling Banyuwangi bawa tas sebesar itu pakai motor. Siangnya setelah semua hal kami persiapkan maka mulailah kami menelusuri Kampung Osing. Sayangnya, sejauh kami menelusuri daerah itu, kami belum menemukan adanya sesuatu yang istimewa yang bisa kami bagikan ke kawan-kawan, semuanya normal dan nyaris pernah ditemui di beberapa tempat di Indonesia.
Maka, karena tidak mendapat hal yang istimewa di situ kami memutar arah dan memutuskan untuk ke Baluran Taman Nasional, kalau kata orang-orang yang sudah pernah ke situ, taman itu Afrika kecilnya kita. Perjalanan dari Karang Asem ditempuh satu setengah jam perjalanan sudah masuk ke Situbondo. Sesampai di taman itu kita diharuskan membayar Rp 15 ribu per kepala dan motor dikenakan Rp 5 ribu kami mulai memacu motor di hutan Baluran.

Sepanjang perjalanan yang kami tempuh, kalau tidak salah 17-an kilometer hanya kebosanan yang akan kita rasakan, karena sepanjang perjalanan kita hanya disuguhkan jajaran pohon dan hanya sesekali bertemu ayam hutan atau burung merak. Akhirnya, kebosanan selama sejam perjalanan menempuh 17 kilometer itu bisa hilang saat kita tiba di savana. Dari situ, kita sudah bisa menikmati alam Baluran dengan pemandangan gunung dan hijaunya savana. Kami menyempatkan diri untuk berfoto, namun, selama di situ kami cuma melihat kawanan kerbau berjalan beriring. Yah, lumayanlah daripada tidak ada sama sekali, dan di akhir perjalanan kami memutuskan menikmati suasana di pantai masih di Baluran itu dan sore harinya kami memutuskan untuk kembali ke penginapan.
Malam harinya, kami berencana melihat blue fire di kawah Ijen, tapi sebelumnya karena kami harus menginap lagi di situ kami membayar Rp 30 ribu lagi untuk tidur-tiduran sambil menunggu tengah malam untuk perjalanan ke Ijen.

Narsis di papan Taman Nasional Baluran

Narsis di papan Taman Nasional Baluran

Teman perjalanan 3 orang Mojopohit. Kiri mbak Yuda, mas Nanang, dan mas Kethip.

Teman perjalanan 3 orang Mojopohit. Kiri mbak Yuda, mas Nanang, dan mas Kethip.

Kiri mas Nanang, mbak Yuda dan saya narsis di Taman Nasional Baluran.

Kiri mas Nanang, mbak Yuda dan saya narsis di Taman Nasional Baluran.

Suasana alam liar Taman Nasional Baluran.

Suasana alam liar Taman Nasional Baluran.

3 Maret

Tengah malam masuk tanggal 3 Maret, kami akan melakukan perjalanan ke kawah Ijen. Tak mau perut kosong saat perjalanan kami memilih untuk mengisi perut terlebih dahulu dengan makan nasi tempong. Setelah itu, perjalananan kami berempat ke Ijen masih dengan pacu kendaraan motor kami tempuh 1,5 jam, di sana, kami disambut dengan cuaca yang cukup dingin, merembes sampai ke tulang saking dinginnya suhu di situ.

Kami membayar Rp 3 ribu per orang, itu adalah retribusi dari Dinas Perkebunan setempat, dan pas di pos terakhir kami bayar lagi Rp 5 ribu per orang dan motor Rp 5 ribu. Akhirnya kami benar-benar memulai pendakian itu sekitar pukul 02.00 WIB dinihari. Perjalanan naik ke kawah Ijen 2 jam dengan medan menanjak sampai di atas kawah. Jika ingin melihat blue fire kita harus turun ke bawah kawah sekitar 700 m dan medannya sangat sulit. Kita pun diharuskan menyewa masker Rp 25 ribu.

Saya menyempatkan diri berbincang dengan pria yang menawarkan masker kepada kami, katanya banyak cerita yang bisa ia sampaikan menurut pengalamannya selama di situ. Dan, dari apa yang dia sampaikan ke saya, jelas bahwa permasalahan selama ini adalah daerah sekitar lokasi pariwisata yang ramai jarang ada yang berdampak signifikan terhadap lingkungan.

Pak Ari, orang yang menawarkan kami masker itu berkata ia sebetulnya adalah penambang belerang. Lokasi Ijen bisa hidup sampai sekarang dan dinikmati wisatawan sebetulnya adalah karena campur tangan para penambang yang membuka jalan, sehingga orang-orang bisa melewati jalan ke kawah hanya dengan 2 jam. Tapi para penambang tidak pernah merasakan feedback kepada mereka, walaupun setiap harinya Ijen bisa dikunjungi sampai 10 ribu orang. Akhirnya para penambang yang telah membuka jalan hanya bisa usaha menyewakan masker kepada wisatawan. “Semoga suatu saat masyarakat kawah Ijen dapat dampak dari ramainya pengunjung,” itu harap Pak Ari.

Sebetulnya ada benarnya, tanpa para penambang itu pengunjung tidak akan bisa menikmati keindahan blue fire dan kawah Ijen. Beberapa saat kami di kawah Ijen saya sering melihat para penambang wara-wiri mengangkut belerang dengan memanggul keranjang. Nah, soal blue fire sendiri, itu adalah saat kita melihat kobaran api berwarna biru yang bisa kita lihat saat menghidupkan kompor gas, tapi ini dalam versi raksasa. Lumayan indah walaupun tidak terlalu istimewa, tapi cukup untuk memuaskan keingintahuan saya akan blue fire di kawah Ijen. Sebetulnya yang membawa saya ingin ke sana adalah nama besar dari kawah Ijen yang melegenda.

Blue Fire kawah Ijen dikala pagi hari.

Blue Fire kawah Ijen dikala pagi hari.

Suasana pengunjung melihat keindahan Blue Fire kawah Ijen.

Suasana pengunjung melihat keindahan Blue Fire kawah Ijen.

Pemandangan kawah Ijen dari atas.

Pemandangan kawah Ijen dari atas.

Setelah menikmati Banyuwangi kami pulang ke penginapan dan bersiap untuk menyeberang ke Bali lewat Ketapang dengan membayar taxi Rp 15 ribu per orang. Sampai di sana kita bisa langsung menggunakan bis langsung ke Ubung dengan membayar Rp 30 ribu. Tapi saran saya, berhati-hatilah kalau naik bus penyeberangan, lebih baik bertanya terlebih dahulu sebelum naik karena nanti bisa saja diminta sampai Rp 100 ribu jika tidak bertanya terlebih dahulu.

Penyeberangan kami tempuh dalam sejam perjalanan dari Gilimanuk menuju Ubung, tapi, lagi-lagi kejadian saya yang pernah diturunkan di tengah jalan terjadi lagi, kami diberhentikan di terminal sebelum sampai tujuan aslinya, maka jadilah kami terlantar di situ, karena kami tidak mau memberi tambahan Rp 50 ribu per orang yang mereka minta untuk sampai ke Ubung. Daripada terlalu lama terlantar di Terminal saya memutuskan untuk menghubungi salah satu sahabat saya Gusti Ayu, yang memang, rencananya saya mau menginap di rumah dia untuk menikmati Nyepi di sana.

Sekitar pukul delapan kami dijemput dan langsung mengantarkan rombongan Mas Nanang ke alamat yang dituju. Setelah itu saya tiba di rumah Ayu yang langsung diperkenalkan ke keluarga, dan malam itu saya habiskan untuk berbincang-bincang dengan keluarga mereka sampai malam itu saya menghabiskan malam pertama di Bali, kota seribu dewa. (*)

Narsis di pelabuhan Ketapang sebelum melakukan penyebrangan ke Gilimanuk Bali.

Narsis di pelabuhan Ketapang sebelum melakukan penyebrangan ke Gilimanuk Bali.

Narsis di awats kawah Ijen dipagi hari.

Narsis di awats kawah Ijen dipagi hari.