Pelajaran Hidup Suku Dayak
Malinau, akhirnya kaki saya berada di sini setelah menumpang kapal angkutan sembako dari Tarakan.Di sini, saya juga beruntung punya sahabat. Toni namanya. Nanti, selama di sini bersama dialah saya akan mendatangi beberapa tempat menarik di Malinau. Toni sedikit cerita, tinggal di daerah yang sangat tenang walaupun jarak dengan kota tidaklah jauh. Dan di situ masih kental dengan budaya suku Dayak.Di sini, saya akan menerima sebuah tantangan yang tak semua orang bisa merasakannya.
Dan tantangan itu diawali dengan pertemuan saya dengan pamannya Toni, yaitu Pak Anderson, seorang kepala sekolah di Setulang, salah satu daerah suku Dayak yang masih asli. Selama di Setulang saya mendapat kehormatan diizinkan menginap di rumah Pak Kades setempat. Begitu kagumnya saya dengan perkampungan ini. Banyak yang saya pelajari seperti dari seorang pembuat badau yang tidak bisa berkomunikasi dengan baik karena tak bisa berbahasa Indonesia, yang memberikan pelajaran bahwa hidup jangan bergantung kepada orang lain. Saya pun belajar banyak soal kehidupan dari sepasang kakek-nenek yang tak sengaja saya jumpai ketika mereka hendak pergi kebun. Saya kagum dengan sepasang manusia renta itu, mereka berjalan ke kebun naik-turun bukit sejauh 3 kilometer namun tak terlihat lelah. Walaupun kami dibatasi dengan komunikasi yang tak lancar karena keduanya tak menguasai bahasa Indonesia, namun secara alamiah kami saling mengerti hingga akhirnya tiba di kebun nenek ini. Kemudian saya mengikuti aktivitas mereka di kebun hingga akhirnya diajak makan siang sama-sama. Yang menarik nenek belo memimpin doa secara kristiani tapi menggunakan bahasa dyak yang saya hanya mengerti ketika ada ucapan amin krmudian kami makan bersama.
Kemudian masih diizinkan untuk tetap mengikuti keduanya pulang dan mempelajari kehidupan asli Dayak langsung dari sesepuh ketika berada dirumahnya. Menurut saya pengalaman di Setulang sudah cukup untuk merasakan kehidupan orang Dayak yang masih alami.
Editor : Eka Mahendra Putra
Recent Comments