Mencari Nike (Ikan Teri Gorontalo)

Bapak Batak dan ‘Jebakan’ Gorontalo Pos

Becak Motor Merupakan Transportasi di Gorontalo

Becak Motor Merupakan Transportasi di Gorontalo

USAI menikmati indahnya puncak Kwandang atau puncak panorama saya melanjutkan perjalanan untuk menapaki trip selanjutnya, Gorontalo. Setelah lelah harus menghadapi jalan yang berkelok dan berliku sepanjang perjalanan, sekitar pukul 19.00 WIB saya tiba di Gorontalo.

Sekedar cerita saja, saya dan Rahmat ini sudah tidak bertemu 6 tahun lamanya. Kalau tidak salah terakhir bertemu saat kami sama-sama wisuda. Dan sedikit rahasia saja, bahwa Rahmat adalah andalan saya untuk bantu tugas kuliah khususnya bagian gambar-menggambar, Rahmat jago kalau urusan menggambar.

Jujur saja, saya dan kita semua pasti paling ingat dengan teman yang pintar di kelas apalagi sering bantu tugas, hehehe. Tiba di lokasi yang sudah kami janjikan, akhirnya teman lama yang 6 tahun tak bertemu kembali bertatap muka. Pelukan hangat dari 2 sahabat lama ternyata membuat 2 bule yang ikut kami ketawa-ketawa, mungkin dipikirnya, oh begini kalau orang Indonesia kangen-kangenan.

Burung Merpati Berterbangan Diwisata Religi Kampung Bongo

Burung Merpati Berterbangan Diwisata Religi Kampung Bongo

Ah, terserahlah. Nah, dari situlah saya dan 2 bule Jerman tadi harus berpisah, karena masing-masing sudah punya tujuan. Kami berpisah dan tetap saling berharap obrolan selama perjalanan bisa jadi bahan masukan untuk kami bertiga. Singkat kata, saya sudah di depan pintu rumah Rahmat.

Rahmat tahu betul bahwa saya capek, ia persilakan saya untuk beristirahat di kamar yang telah dipersiapkan khusus. Tanpa membuat waktu saya langsung membereskan peralatan ‘tempur’ saya yang berada di dalam tas ransel. Lalu saat malam hari mulai berani menunjukkan dirinya, saya dan Rahmat duduk santai di teras depan rumah.

Banyak cerita yang kami bagi, karena waktu 6 tahun tentu seabrek pengalaman yang bisa kami bagi, terlebih kami selingi dengan nostalgia-nostalgia masa kuliah, jadilah malam panjang itu menjadi malam nostalgia.

Kami bahkan membuka lagi kenangan-kenangan seperti bagaimana salah seorang dosen kami Bapak Lucky Hendrawan, semoga dia membaca ini dan tahu apa yang saya maksud, hahaha, kejayaan sesama kuliah terekam jelas di otak kami malam itu sampai tak terasa jam di dinding menjunjuk angka 2, yang artinya saya harus benar-benar melemaskan otot.

Kampung Bajo Torosiaje

Kampung Bajo Torosiaje

Paginya, 27 Juni sekitar pukul 09.00 WIB, pagi pertama saya di Gorontalo. Beberapa hari sebelumnya saya bangun di jam yang sama namun kondisinya beda, saat di Tomohon jam segitu masih terasa dingin menusuk tulang sehingga kita terkadang masih kepingin malas-malasan.

Tapi kalau di Gorontalo cuacanya sedikit hangat. Tapi jangan salah, justru cuaca yang seperti ini yang saya inginkan. Hangat seperti bangun pagi di Jakarta membuat saya bersemangat. Bukan saya ingin mengajar atau sok tahu, tapi percayalah, saat kita memilih hidup dengan cara mengembara seperti yang sedang saya lakukan, hal yang tersulit bukanlah bertahan hidup, melainkan bagaimana kita harus bisa beradaptasi terhadap lingkungan yang baru dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Karena setiap orang yang saya temui berbeda karakter sehingga dalam waktu sepersekian detik, saya harus bisa langsung beradaptasi. Loh? Kok saya bahas itu? Ya, jelas. Karena saat masih berada di kamar di rumah Rahmat saya punya rencana untuk minum di kamar saja setelah mandi. Karena saya beranggapan lebih baik saya berbincang dan ngobrol dengan keluarga Rahmat setelah semuanya santai.

Pemandangan dari Ketinggian di Gorontalo

Pemandangan dari Ketinggian di Gorontalo

Tapi, rencana saya buyar begitu saja saat mau menuju kamar mandi, saya melihat ayah Rahmat sedang berbincang serius dengan temannya, ada beberapa gelas kopi saya lihat berbaris di meja tempat mereka ngobrol, itu kopi buatan Citra, istri teman saya Rahmat.

Nah, di sinilah saya bilang dalam kondisi seperti ini harus bisa beradaptasi dengan cepat. Mendengar nama saya disapa, sayapun perlahan mendekat, lalu dipersilakan duduk, diperkenalkan lalu semuanya mengalir begitu saja, ngobrol dan saya pun larut di obrolan tersebut.

Saya akui, keluarga Rahmat adalah salah satu contoh keluarga yang terbuka. Bapaknya Rahmat ternyata masih kental watak orang Bataknya. Banyak kisah dan cerita yang kami aduk rata dalam obrolan ringan pagi itu. Semua masalah dari A sampai Z bangsa ini kami paksakan masuk ke pembicaraan ringan itu, mulai dari sosok Gus Dur, Soekarno sampai persoalan agama pun tak luput dari obrolan yang harusnya santai.

Bapaknya Rahmat ini adalah orang yang punya pengalaman di dunia pertambangan selama 42 tahun!. Jadi, wajarlah apa yang ia ceritakan ke saya soal pertambangan di Indonesia ini masuk akal dan membuat saya berpikir, selama ini banyak pihak-pihak lain hanya menelurkan asumsi-asumsi saja demi eksis.

Senja Di Danau Limboto

Senja Di Danau Limboto

Banyak masalah tambang yang ia ceritakan, ia bagi ke saya cerita sebenarnya dari onak-duri tambang seperti Lapindo contohnya. Karena menurut bapak, Lapindo itu sebenarnya adalah sebuah kecelakaan alam. Dia mengatakan sifatnya tambang apa yang kau gali maka itulah yang keluar.

“Kau gali tanah dengan bor dan masuk lalu menyentuh emas, maka emas yang kau dapat, gas yang kau bor maka gas yang kau dapat, kalau kau bor lumpur maka lumpur yang kau dapat,” itu kata bapak. Setelah banyak mendengar cerita dari pengalaman.

Penulis, Photographer : Mahendra Moonstar Editor : Eka Mahendra Putra