Tahukah kawan-kawan apa yang saya suka dari menginap di rumah teman dibanding harus tinggal di penginapan selama saya melakukan perjalanan? Suasana!. Ya, suasana yang penuh keakraban dan bisa saling berbagi kisah dengan teman adalah hal yang membuat saya sampai detik ini tetap semangat menjalani hidup seperti ini.
Seperti saat saya tinggal di rumah Pak Agung, walaupun sebetulnya saya sudah dipersiapkan sebuah penginapan untuk beristirahat, tapi saya memilih untuk tidur di rumah Pak Agung, karena ada sesuatu yang hilang jika saya menginap di penginapan maupun hotel. Bangun pagi di rumah Pak Agung secangkir kopi telah tersaji di meja, dan Pak Agung sudah menunggu dengan ramahnya. Ditemani kopi hangat itu saya dan Pak Agung kembali saling berbagi kisah yang belum sempat kami satu sama lain ungkapkan, tapi dengan segelas kopi, semua akan terjadi. Setelah puas menikmati kopi pagi dan obrolan singkat dengan Pak Agung, saya bergegas membersihkan diri karena saya masih mau ke Warung Rakyat, tempat di mana orang-orang ‘gila’ dan ‘stres’ menurut saya kumpul.
Di sana, saya bertemu lagi dengan Bang Untung Sitanggang dan Andre, keduanya gatal mengajak saja untuk hunting poto pagi-pagi di candi sisa peninggalan Majapahit, lalu saya diajak menginap di Warung Rakyat biar besoknya saya tidak repot-repot lagi ke sana-ke mari.
Di sela-sela obrolan kami di warung itu, saya diminta untuk memotret produk Crop di warung yang kebetulan ada spot yang bagus. “Ini produk coba, banyak modelnya,” kata saya kepada sejumlah pengunjung di sana soal produk Crop yang memang selalu saya gunakan, dan ada 3 orang wanita yang dadakan kami jadikan model produk Crop, nama mereka Dea, Puji dan Shinta.
“Ah, hitung-hitung ini mengasah lagi kemampuan motret model, karena saya jarang motret model, saya tidak sejago orang-orang yang selalu upload hasil motret model di sosial media, saya malu, karena saya gak sejago mereka,” itu pikir saya dalam hati. Tapi rencana untuk tidur di Warung Rakyat hari itu batal karena satu dan lain hal, yang akhirnya kami memilih untuk tidur di umah Andre, itu rumah kalau boleh dibilang adalah markasnya para potografer di sana.

Kiri Puji, Shinta, Dea Imoet merupakan wanita yang sukarela mau menjadi model untuk foto produk CROP.

Narsis di depan candi salah satu peninggalan kerajaan Majapahit & Nandri, Untung Sitanggang, saya dan Andre berfoto di depan candi peninggalan kerajaan Majapahit di Mojokerto.
23 Februari – Seni Patung Mojokerto
Mungkin ini adalah kejadian yang paling langka yang bisa saya alami. Karena sekitar jam 4 subuh saya bangun dan berhasil menjadi yang pertama bangun, membangunkan lagi kawan-kawan yang masih hilir-mudik sama mimpi mereka. Setelah beres-beres peralatan, kami pun langsung capcus ke salah satu candi peninggalan Kerajaan Majapahit untuk mengambil poto. Kami tiba di sana sekitar pukul 05.00 WIB, tapi candi belum buka, buset, ternyata kami masih terlalu pagi, ini semangat yang saya suka, gak apa-apalah kepagian daripada kesiangan. Berhubung candinya belum buka kami mengisi waktu sarapan dulu, lalu, setelah hampir mulai matahari menampakan wajahnya kami semua meluncur lagi ke sana lagi. Dan akhirnya, kami mendapatkan keindahan candi peninggalan Majapahit itu.
Setelah matahari mulai meninggi kami mampir ke rumah teman lainnya, rumah Mas Didi trowulanesia, di sana kami disuguhkan lagi kopi dan saling bercerita, lalu, disambut lagi kedatangan Mas Nanang muni, jadi makin lengkaplah pria-pria rumpi dalam satu tempat. Saya beruntung bisa bertemu dua sosok yang sangat mencintai seni dan kehidupan serta sejarah bangsa sendiri, mereka ini adalah budayawan setempat, mereka pematung. Tak mau momen hilang begitu saja, saya pun mengambil poto bagaimana aktifitas mereka saat memahat batu-batu untuk dijadikan patung, kalau saya tidak salah ini bisa jadi khas dari Mojokerto.
Mas Didi mungkin tahu dengan rasa penasaran saya, maka dia mengajak saja ke salah satu tempat pematung. Di sana saya banyak mengambil foto bagaimana pematung batu itu mengukir. Lalu saat kami harus pulang, kami singgah dulu di tempat Mas Nanang muni. Saya melihat sendiri pematung di belakang rumah Mas Nanang penuh dengan patung-patung, walaupun tidak sebesar yang di tempat pertama tadi, tapi kesan sederhana dari rumah Mas Nanang sangat terasa ditambah deretan patung-patung yang jadi dan setengah jadi. (*)

Trio gondrong. Kiri: Mas Didi, mas Nanang Murni dan saya berfoto di rumahnya mas Nanang Murni.

Seorang bapak sedang mengerjakan patung yang ia kerjakan sendiri. Untuk ukuran patung yang sedang ini biasa dihargai 300.000 rupiah.

Salah satu pemahat patung sedang mengerjakan ukirannya.
Recent Comments