18 AGUSTUS 2015 – MALINAU, SAMARINDA 1.273 KM
Tanggal 18 Agustus, saya memulai sebuah perjalanan yang saya perkirakan akan memakan waktu setidaknya 3 hari 2 malam dari Malinau ke Tanjung Selor menggunakan armada Damri. Perjalanan saya menggunakan Damri itu dipermudah dengan bantuan seorang teman yang menggratiskan saya naik di armada pemerintah itu, teman saya menitipkan saya di Dinas Perhubungan Malinau, dia ini sering menjaga mobil keluar-masuk di Malinau.
Akhirnya sekitar jam 4 sore mobil Damri itu tiba di Tanjung Selor dan dengan bantuan teman tadi saya tidak membayar ongkos padahal harusnya saya harus membayar 250 ribu. Turun dari mobil tersebut saya langsung dilanda kebingungan kira-kira mau ke mana kaki saya melangkah, sementara saya tidak punya kenalan sama sekali di sini, saya bingung mau ke arah mana.
Di antara kebingungan itu saya memantapkan diri untuk menunggu saja jika-jika ada mobil yang bisa saya tumpangi menuju Berau. Saat itu posisi saya sedang ada di persimpangan jalur di ujung kampung Tanjung Selor, karena kata warga jalur yang saya lewati itu tidak pernah dilewati mobil angkutan umum, hanya mobil-mobil pribadi saja. Jadi mau tidak mau saya harus menunggu kira-kira adakah yang berbaik hati memberi saya tumpangan.
Akhirnya sekitar jam 7 malam ada juga mobil yang sudi memberikan tumpangan menuju arah tujuan saya ke Berau. Sesampai di Berau niatnya saya masih harus mencari tumpangan menuju Sangata, Bontang atau Samarinda. Tapi kali ini nasib saya tak sebagus tadi, tak ada mobil yang sudi memberi saya tumpangan. Jam pun sudah menunjukkan angka larut malam, saya harus mencari cara dan tempat untuk menginap.
Di langkah-langkah saya, tidak jauh saya melihat sebuah masjid, lalu saya berpikir hanya itulah satu-satunya tempat yang bisa menampung saya untuk semalam ini saja. Beruntung penjaga masjid yang ingin saya tumpangi baik hati, dia memberikan saya izin untuk bermalam di situ, bahkan, dia tidak tega melihat saya harus tidur di luar, maka dia memberikan saya pilihan untuk tidur saja di kamarnya yang berukuran 2×2. Ah, lumayan, malam ini saya tidak tidur dengan embun.
19 AGUSTUS 2015 – SOPIR YANG BERHATI MULIA
Subuh sekali saya sudah bangun di masjid itu, saya meminta izin ke penjaga masjid untuk menumpang mandi dan langsung bergegas menunggu truk ekspedisi yang mau menampung saya menuju Samarinda. Saya butuh waktu sampai 5 jam hanya untuk meminta belas kasih para sopir memberikan tumpangan, karena sejak 5 jam saya berusaha menyetop mobil ekspedisi, akhirnya ada 1 mobil yang baik dan mengizinkan saya menumpang ke Samarinda, puji Tuhan, nama sopir itu Anto orang asli Berau.
Titik demi titik perjalanan sangat saya nikmati, banyak hal-hal selama di perjalanan yang bisa saya dan Anto bagi. Kami pun selama perjalanan tak jarang istirahat di tempat makan dan warung kecil sekedar untuk melepas penat dan ngopi menghilangkan kantuk.
Sore harinya Anto menjelaskan bahwa sangat tidak mungkin memaksakan untuk sampai ke Sangata hari itu juga, makanya Anto memilih untuk break beristirahat. Tidak apalah saya pikir, daripada kenapa-kenapa kalau dipaksakan toh, waktu saya panjang untuk menikmati perjalanan ini. Akhirnya kami berdua bermalam di kebun sawit tanpa ada rasa saling curiga antara kami.
20 AGUSTUS 2015 – KISAH & KENANGAN MANIS
Sekitar pukul 10.00 WITA saya dan Anto akhirnya berpisah karena Samarinda telah di depan mata. Ucapan terimakasih saya haturkan kepada dia, karena telah memberikan tumpangan dan rasa percaya kepada saya dan membantu perjalanan semulus ini.
Di Samarinda saya memang punya teman yang berjanji untuk menjemput jika saya sudah sampai untuk membantu saya melanjutkan perjalanan pengembaraan selanjutnya, tapi, sebelum memberi kabar untuk dijemput saya saat itu memilih terlebih dahulu berkeliling Samarinda, siapa tahu ada hal-hal menarik yang bisa saya rekam di dalam kamera setia saya untuk saya bagi. Dan, di Samarinda ini saya sempat bertemu dengan seseorang yang pernah dekat dengan saya, yah, sebut saja dia mantan kekasih hati hahaha, pernah jadi bagian hidup saya untuk beberapa lama.
Kami banyak berbincang, memang, tak banyak yang bisa saya kisahkan ke dia karena dia sangat tahu betul dan memahami siapa saya. Hanya obrolan santai dan pertanyaan seputar kehidupan kami saja. Kami sempat makan dan minum santai. Kemudian kamipun berpisah setelah makan dan saya lagi-lagi menjadi seorang diri.
Saya bersantai sejenak di taman tepian Samarinda dan di sana saya menghabiskan waku membaca 1 buku yang menjadi inspirasi saya hingga malam. Saya mondar-mandir di tepian sungai mahakam sampai akhirnya menarik perhatian 2 orang pasangan muda-mudi.
“Mas, backpacker?,” tanya muda-mudi itu.
“Iya,” jawab saya.
“Mau ke mana?,” tanya mereka lagi.
“Lagi nunggu teman nih, jadi saya berkeliling di sini-sini saja,” jawab saya lagi.
Lalu tanpa diduga, mereka berdua menawarkan saya untuk makan bersama di mobil.
Akhirnya, kisah manis saya di Samarinda ini ditutup dengan jamuan makan dadakan dari sepasang kekasih yang menghargai seorang backpacker atau pengembara seperti saya. Saya ditraktir sepiring nasi goreng, lalu kami bertukar nomor telpon, namanya Rizki. Saya berpikir suatu hal yang tak terduga ada saja orang baik walaupun saya tak kenal, tanpa sungkan mereka mengajak saya makan dalam 1 meja.
Setelah berpisah masih dalam rangka menunggu teman saya, akhirnya sekitar pukul 21.00 WIB kawan saya telp dan kita bertemu lalu naik mobil menuju tempat saudaranya yang di Samarinda. Karena sudah malam kami harus menginap dulu di rumah saudaranya dan melanjutkan apa yang telah direncanakan esok hari saja. (*)
Recent Comments