Saya sempat sehari tak berbagi cerita di jejakpengembara.com karena saya membagi fokus mengatur jadwal perjalanan berikutnya. Tapi hari ini, saya bersikeras untuk menulis lagi, karena hari ini adalah hari terakhir saya di Jogja, Kota Gudeg yang menyimpan seribu misteri dan keindahan kultur yang tak lekang oleh waktu.
Hampir dua pekan saya di kota kesultanan ini. Banyak pelajaran hidup yang saya saring dari orang-orang di sini. Begitu banyak kisah tak terungkap yang masih terkubur rapat, yang suatu hari akan kembali saya gali lagi lebih dalam. Jogja, kotamu luar biasa. Selama dua pekan saya di sini teman saya sesama anak Bangka, Arie telah menjadi kawan setia saya yang tak pamrih menampung dan memberikan nuansa pertemanan yang hebat. Terimakasih Arie, kalau kata orang Bangka “kite sepradek gale” yang artinya kita semua saudara. Tak ada yang bisa saya berikan kepada Arie kecuali rasa terimakasih yang dalam, dan doa agar dia cepat lulus di UMJ, setidaknya di jejakpengembara.com nama Arie telah tercatat padat.
Siang itu saya diantar Arie ke Stasiun Lempuyangan dan di sana ada seorang kawan yang sudah menunggu, Mas Barrie namanya. Kami bertemu dan berteman sejak sama-sama mengadu nasib di Jakarta dan sekost saat saya bekerja di salah satu media di sana. Singkat cerita Mas Barrie ini memang tinggal di Jogja, tapi selama dua minggu saya di Jogja sulit bagi kami untuk bertemu karena kesibukan Mas Barrie yang gak konek-konek sama jadwal saya. Tapi kali ini kami benar-benar ketemuan, lalu kami berbincang santai, dan, Mas Barrie menyempatkan menyelipkan bekal minuman dan makanan ringan untuk perjalanan saya di kereta.

Kiri: Arie, tengah: mas Barrie berfoto di stasiun Lempuyangan sebelum perpisahan saya meninggalkan Jogja & Kiri: Arie putra daerah Bangka Tengah yang menampung saya hampir selama dua minggu di Jogja.
Sekitar pukul 14.00 WIB tibalah waktunya saya mengucap salam perpisahan dengan kedua teman saya, Mas Barrie dan Arie karena ada jadwal yang telah disepakati di Mojokerto, sebuah acara yang maha penting. Saya dapat kereta dengan membayar Rp 100 ribu, dan duduk di kursi 19c. Kereta padat penumpang. Rata-rata menuju Surabaya. Kebetulan di samping saya ada seorang gadis manis yang mengaku sedang menjalani pendidikan di Pesantren di Jombang, Mila nama gadis manis berkerudung itu. Di depan saya, ibu yang memperkenalkan dirinya dengan nama Mama Yusuf. Saya dan Mama Yusuf ini banyak berbincang setelah saya ditegur petugas kereta karena berdiri di perbatasan gerbong. Bukan tanpa alasan sebetulnya saya ‘nakal’ berdiri di perbatasan gerbong, karena AC di tempat duduk kami rusak, jadi suhu panas di dalam kereta bikin saya kepingin cari angin, yang ternyata berhadiah teguran.
Setelah duduk lagi di kursi, mulailah saya, Mila dan Mama Yusuf bergulat dalam sebuah obrolan yang diawali dari sebotol air mineral yang saya tawarkan ke Mila. Ternyata sodoran air mineral itu membuat Mama Yusuf memberikan penilaian kepada diri saya, katanya saya orang baik. Ah, ibu bisa saja.
Makin panjang obrolan kami, makanan yang kami keluarkan satu sama lain juga hampir semua dikeluarkan termasuk bekal dari Mas Barrie. “Kamu baik ya ternyata. Saya pikir kamu orang yang cuek dari masuk gak mau berbaur gak mau berbagi, ternyata saya salah,” itu kata Mama Yusuf yang bikin hati keras seorang pengembara seperti saya mendadak merah kuning kelabu. Seperti biasa-biasanya, saya selalu dengan bangga menceritakan kisah hidup saya yang telah melewati 8 bulan pengembaraan menyisir Indonesia, sambil saya bilang sama Mama Yusuf, jika saya punya sesuatu pantang bagi saya untuk disembunyikan. Dari situ Mama Yusuf makin suka berbincang dan mengeluarkan nasi untuk kami makan, dan Mila pun mengeluarkan bekalnya. Jadilah kami bertiga makan dengan berbagi bekal.
“Alangkah indahnya hidup seperti ini, berbagi, tanpa ada syarat tanpa ada rasa curiga, ini Indonesia sebenarnya,” seru saya dalam hati sambil menikmati suap demi suap bekal yang kami santap. Tak terasa, kereta yang saya tumpangi sudah sampai di Mojokerto. Tiba masanya saya berpisah dengan Mila dan Mama Yusuf. Satu momen perpisahan kami yang membuat saya terharu adalah kala Mama Yusuf memeluk erat saya dan mendoakan keselamatan serta kesehatan untuk saya mengejar mimpi. Ah, pelukan hangat Mama Yusuf membuat saya teringat pelukan hangat Mamak saya di Bangka saat melepas kepergian saya. Saya nyaris menumpahkan air mata.

Mama Yusuf dan Mila merupakan tetangga saya duduk di kereta Pasundan tujuan akhir Surabaya.
Saya ingat kutipan inspiratif dari seorang penulis muda, Dawn Gulshin. “Kelilingi diri Anda dengan orang-orang yang mencintai serta mendukung Anda. Dan, segeralah balas mencintai serta mendukung mereka! Hidup kita terlalu singkat untuk sesuatu yang kurang”. Tapi hidup adalah soal pertemuan dan perpisahan. Tak ada pesta yang tak berakhir. Karena saya sudah ditunggu sebuah acara di Mojokerto. Di Mojokerto saya akan bertemu dengan Pak Agung yang perkenalan kamipun hanya sebatas facebook tapi kali ini kami akan bertatap muka, lagi-lagi sebuah rasa percaya orang terhadap diri saya membuat saya sangat bersyukur kepada Tuhan. Pak Agung menyambut saya dengan keramahan yang luar biasa, kemudian saya diarahkan menuju penginapan dan kamipun saling berbagi pengalaman, baik saya yang menjalani hidup seperti ini dan dia yang memilih berbisnis.
“Tapi saya dan Pak Agung menyepakati satu hal, kami memilih untuk keluar dari zona nyaman,” itu kesimpulan yang saya ambil dari bincang santai kami. Pak Agung bercerita dia sebetulnya pernah bekerja sebagai akuntan di sebuah pabrik mobil terkemuka pabrikan Jepang, gajinya pun lumayan bikin ngiler. Tapi kata Pak Agung apapun posisi yang ia jalani di perusahaan tersebut tetap saja dia adalah seorang pekerja, yang bergantung pada orang lain. Diperintah tanpa bisa memerintah. “Kalau begini terus saya jadi pesuruh terus,” kata Pak Agung, yang pada ujungnya memilih untuk resign walaupun saat itu tanpa ada backup apapun, apalagi pengalaman berbisnis.
Beberapa bulan dia menganggur, namun pada akhirnya karena jiwa yang mampu dan ‘mau tidak mau’ harus bertahan, membuat Pak Agung bisa bertahan walaupun riak dan onak hidup harus ia jalani, bahkan harus cekcok dengan istri karena tak punya penghasilan. Sampai suatu hari Pak Agung mencoba melirik dunia internet dan berusaha jualan alat-alat outdoor, yang ternyata itulah pijakan awal dia berkembang dan bertemu dengan merk Crop yang menjadi rekanan baik hingga sekarang. “Sampai mobil ini kang, dari hasil jualan, kang,” kata Pak Agung, yang lalu membiarkan saya untuk beristirahat agar esok harinya saya fit beraktifitas. Terimakasih Jogja dan let’s get rock Mojokerto. (*)

Pak Agung salah satu dalang event Cangkrukan di Mojokerto.

Poster acara Cangkrukan ditempel di mobil pak Agung.
Recent Comments