Setahun yang lalu, 7 Mei 2015, hari itu hari Kamis. Tak satupun manusia yang bisa menduga dan sengaja menempatkan sebuah angka di kalender sebagai batu loncatan sebuah sejarah, baik bagi diri sendiri maupun orang banyak.

Hari itu, tanggal itu, saya dengan sejuta impian, sejuta harapan dan segunung semangat mulai melangkah satu persatu hari-hari yang memahat perjalanan sejarah pribadi, yang awalnya hanya ingin saya nikmati sendiri, namun ternyata goresan sejarah yang saya buat itu tak kuasa untuk saya rekam dalam tiap inci urat di tubuh ini.

Saya tak kuasa menyimpan goresan sejarah hanya untuk nelangsa malam hari kala mata sendu terpejam di bawah juntaian bintang.

Kini, tepat setahun yang lalu, saya banyak belajar apa itu arti dari sebuah perjalanan, kutipan Lao Tze Perjalanan ribuan mil dimulai dengan satu langkah, memang benar-benar saya rasakan. Satu langkah awal saya belajar bagaimana bertahan hidup dengan berbeda daerah, berbeda orang dan berbeda watak di tiap kaki saya berhenti. Setahun sudah saya melakukan perjalanan mengeliling beberapa daerah di nusantara. Begitu banyak cerita, begitu banyak kisah, begitu banyak suka dan tak sedikit duka yang saya rasakan, tapi, semua terasa menyatu dalam kebanggaan diri saya sebagai mahluk Tuhan yang dilahirkan di sebuah negara yang begitu indah ini.

Setahun perjalanan ini, izinkan saya memberikan sebuah persembahan rasa hormat saya kepada orang-orang yang telah secara tak sengaja telah menjadi bagian keluarga bagi diri saya sampai saat saya menuliskan rasa terima kasih ini.

Foto bersama keluarga Yudhy dan Gina di Tomohon.

Foto bersama keluarga Yudhy dan Gina di Tomohon.

Seperti awal-awal perjalanan saya, saya ingat di Tomohon saat saya ingin melanjutkan perjalanan ke Bitung. Awal-awal perjalanan adalah hari-hari tersulit bagi saya pribadi sebagai seorang yang masih ‘amatir’ untuk melakukan pengembaraan. Namun, teman saya Gina dan suaminya Yudy seakan memudahkan saya untuk melakukan pengembaraan.

Keluarga kecil ini seakan membuat saya menjadi seorang pengiri melihat bagaimana cara mereka hidup dalam sebuah kesederhanaan dan kehangatan, bagaimana mereka memperlakukan saya selaku tamu walapun bertahun-tahun tak pernah bertatap muka, namun tak sekalipun mereka keluarga kecil ini menganggap saya sebagai seorang asing.

Betapa hebatnya Gina dan Yudhy, mereka berdua bersama-sama melakukan aktifitas, tanpa mereka sadari saya mengiri melihat hal itu, mereka begitu memburatkan kebahagiaan, sederhana, bersama, bahagia, tertawa, sesekali mendapat rengutan sang anak yang kedinginan membuat saya sedikit menundukkan wajah. Suatu hari, nanti, saya ingin seperti itu.

Yang pasti, saat akan mengucapkan salam perpisahan dengan keluarga baru saya itu, saya menyiratkan kebanggaan saya kenal dengan mereka. Mereka telah menanamkan arti dari kesederhanaan, tulus, kebahagiaan dan rasa percaya yang dibungkus rapi, lalu mereka ‘titipkan’ ke pori-pori saya untuk saya jadikan kitab baru di perjalanan panjang saya.

Foto bersama keluarga kawan saya Rahmat di Gorontalo.

Foto bersama keluarga kawan saya Rahmat di Gorontalo.

Lalu kala saya menginjakkan kaki ke Gorontalo, beruntung saya lagi-lagi saya punya kawan lama di situ namanya Rahmat. Rahmat adalah kawan saya semasa kuliah dulu.

Bukan saya ingin mengajar atau sok tahu, tapi percayalah, saat kita memilih hidup dengan cara mengembara seperti yang sedang saya lakukan, hal yang tersulit bukanlah bertahan hidup, melainkan bagaimana kita harus bisa beradaptasi terhadap lingkungan yang baru dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Karena setiap orang yang saya temui berbeda karakter sehingga dalam waktu sepersekian detik, saya harus bisa langsung beradaptasi. Dari semua kisah yang diceritakan Rahmat semakin membuat mata hati saya terbuka lebar, bahwa perjalanan yang saya lakoni ini bukanlah semata keinginan panjang saya dan hasrat untuk menggapai nawacita, tapi ternyata, ada sisi lain dari perjalan ini yang saya tarik, bahwa perjalanan hidup orang lain menambah khasanah saya pribadi, untuk ke depan agar bisa bisa menghadapi kendala hidup, mulai dari bagaimana menjalani hidup berkeluarga, toleransi beragama maupun bagaimana tetap tersenyum saat kesusahan sedang menari-nari di altar pikiran kita.

Karena saya sudah punya semua cerita itu. Itulah inti dari perjalanan saya. Mulai dari membangun keluarga, toleransi beragama, hidup yang selalu memiliki kecerian walaupun kau tertimpa masalah besar sekalipun.

Foto saya dan keluarga Sarto di rumahnya kampung Bringin Halmahera

Foto saya dan keluarga Sarto di rumahnya kampung Bringin Halmahera

Lalu, cerita saya ketika di Halmahera, Di sana, saya bertemu dan berkenalan dengan dua pria asal Halmahera bernama Sarto dan Aten. Bagaimana saya kenal dengan Sarto yang dengan tak terduganya mengizinkan saya tinggal di rumah mereka di sebuah desa yang bahkan saya belum pernah mendengar namanya. Bagaimana salutnya saya dengan rasa percaya mereka kepada orang asing, yang hanya bertemu2 jam di sebuah mobil pikap. Yang lalu keluarga itu menjadi keluarga baru bagi saya.

Foto bersama bang Anto driver ekspedisi Berau Samarinda.

Saya dan mas Anto berfoto di depan mobilnya di ketika kami tiba kota Samarinda dan akhirnya kami berpisah.

Cerita kebaikan orang Indonesia juga terekam kala saya di Malinau, bagaimana seorang sopir yang berhati mulia mau menampung saya, Anto namanya. Padahal, dengan isu-isu banyaknya kejahatan di jalan lintas tentu akan membuat orang berpikir seribu kali menerima orang asing menempuh perjalanan panjang. Tapi tidak dengan Anto, dia dengan iklas menerima saya menumpang di mobil ekspedisinya.

Foto Berti Sitompul salah seorang wanita yang berjasa terhadap pengembara di pontianak.Berti sitompul adalah wanita yang bayak membantu saya selama di pontianak.

Berti sitompul adalah wanita yang banyak membantu saya selama di pontianak.

Di Pontianak, juga saya menemukan bukti orang-orang Indonesia itu sebetulnya baik-baik. Adalah Lae Jotty dan Berti, mereka ini orang yang mau menampung saya selama di sana, walaupun memang Lae Jotty sebetulnya sudah saya kenal, namun tetap saja jika saja Tuhan tak mengizinkan mungkin saya tak akan bisa bertemu dengan beliau. Sedangkan Berti sendiri baru saya kenal selama di Pontianak namun beberapa hari bersama dia, seakan-akan kami sudah saling mengenal belasan tahun. Di sini saya melihat rasa saling percaya antar sesama manusialah yang membuat saya merasa bisa diterima.

I gusti ayu wiyani wanita yang sangat berjasa untuk pengembara selama di Bali.

I gusti ayu wiyani wanita yang sangat berjasa untuk pengembara selama di Bali. 

Sementara saat saya di Bali, saya bertemu banyak orang yang baik I Gusti putu wiyani yang sudi menerima saya untuk bisa tau arti cinta dan karma. Dimana apa yang kau tabur itu yang kau tuai. Jika kau menabur kebaikan suatu saat kamu akan menuainya. Ditambah mengenal Mahaguru Gede yang telah mengajarkan saya arti sebuah hidup dari sisi spiritual, tanpa ia memandang perbedaan keyakinan antara saya dan dia. Semua pelajaran hidup yang ia berikan ke saya saat kami berbincang sedikit banyak telah merubah pola pandang saya selaku manusia terhadap manusia lainnya. Dia menanamkan agar saya meningkatkan nilai spiritual saya. Mahaguru membuat mata saya terbuka, bahwa manusia banyak kelemahannya jika harus dihadapkan kepada bentuk godaan apa saja, apakah itu harta, tahta maupun bentuk godaan lain. Lagi-lagi, Bali mengajarkan saya bahwa hidup ini bukanlah sekedar perhitungan untung-rugi maupun maju-mundur, tapi soal bagaimana tidak ada yang merasa dirugikan dan tidak menguntungkan diri sendiri. Terimakasih Bali, terimakasih mahaguru Gede untuk pelajaran hidup dari anda.

Kiri: pak Joko, pak Gus Santi, mas Indra dan saya berfoto di upacara Usaba di Budakeling.

Kiri pak joko, pak gus santi, serta mas indra adalah guru yang banyak mengajarkan tentang kehidupan.

Di sana juga saya bertemu Pak Gus dan Mas Indra. Ada satu kutipan Mas Indra yang akan saya rekam selamanya selama hidup saya, Mas Indra dia salah seorang pengembara juga. Sambil tersenyum dia cuma bilang bahwa dia seorang pengembara tapi tidak ada jejaknya. Dia percaya bahwa jika kita berbuat baik maka akan ada jalan dipertemukan dengan orang baik. Dalam perjalanan spiritualnya Mas Indra hanya berpesan suatu saat, saya akan menemukan persimpangan dan memilih antara ego dan bijaksana.

Dan salah satu yang punya kesan mendalam bagi saya selama melakukan perjalanan pengembaraan ini adalah kala saya lama menginjakkan kaki di Mojokerto. Di sana, saya bertemu dengan banyak orang-orang ‘gila’. Di sana, hampir setengah hati saya telah saya tinggalkan, orang-orang yang saya temui di sana memang orang-orang yang total dan loyal kepada seni dan kehidupan tradisi.

Foto bersama bersama keluarga besar Warung Rakyat Mojokerto.

Keluarga besar warung rakyat di Mojokerto yang membuat saya menjadikan tempat ini istimewa dalam perjalanan pengembara.

Foto bersama Biyung Anik ibu dari mas Lean Triana Agusta.

Foto bersama biyung anik ibunya mas lean di warung rakyat Mojokerto.

Ada nama Mas Lean Triana Agusta, Sepanjang saya memandang sang pemilik Warung Rakyat di Mojokerto itu, merupakan sosok orang yang mau berbagi karena dia merasa apa yang ia miliki adalah gerbang untuk memperkuat seni. Dia hanya berpikir jika ia berbuat baik maka suatu hari akan ada balasan yang ia terima.

Ada juga bang Untung Sitanggang, yang juga sebagai seseorang yang berandil cukup besar dalam perkembangan komunitas di Mojokerto dan salah seorang yang saya rasa cukup berjasa membuat Warung Rakyat menjadi trendsetter di kalangan komunitas di sana.

Terlalu banyak orang-orang besar yang saya temui selama melakukan pengembaraan. Tak akan habis saya menyebut mereka satu persatu, yang saya tahu, ini semua adalah bukti kuat bahwa sebetulnya orang Indonesia terekam masih dengan pola yang sopan dan baik hati. Semua itu dibungkus rapi, namun tak bisa dibuka karena selama ini kita hanya mengenal orang-orang Indonesia telah menjadi orang yang gampang curiga, suka menuduh dan tak pecaya satu sama lain. Selama perjalanan pengembaraan saya justru saya melihat orang Indonesia tak semuanya digambarkan sedemikian rupa, ternyata masih banyak di sudut-sudut nusantara ini orang-orang yang baik hati tanpa melihat suku, agama, ras, budaya dan adat.

Selain itu, saya juga tak lupa mengucapkan terimakasih kepada 3 teman saya yang tanpa pamrih telah bersama-sama mengabadikan perjalanan saya ini dalam sebuah website. Mereka adalah Dylan Noorhusein, Deni dan Eka Mahendra Putra. Mereka bertiga inilah sosok-sosok di belakang www.jejakpengembara.com di mana kawan-kawan bisa membaca, melihat dan menikmati guratan perjalanan pengembaraan saya.

Tapi, perjalanan pengembaraan ini sebetulnya tidak akan pernah bisa saya rasakan tanpa sebuah restu dari orang tua. Saya masih ingat bagaimana Mamak saya menitipkan pesan agar saya segera pulang dan hidup normal setelah saya puas menjalani apa yang telah saya cita-citakan. Saya menitikkan air mata kala sebuah kalimat “Mamak sudah bangga sama kamu,” cukup membuat hati saya terenyuh, dan membuat saya berjanji dalam hati kepada Mamak, suatu hari Mamak akan kembali memeluk anakmu ini dalam keadaan selamat dan akan membuat keluarga lebih bangga lagi dari sekarang apa yang mampu saya persembahkan. Saya memang telah berani membuat sebuah keputusan meninggalkan dunia normal, sebuah pekerjaan yang cukup menjanjikan, semua saya tinggalkan demi sebuah cita-cita, dan suatu hari Mamak, suatu hari, saya akan kembali dan mencium lagi keningmu yang telah terkerut usia. Terimakasih Mamak, terimakasih Tuhan, kini pengembaraan saya setahun berjalan.

 

Story: Moonstar Simanjuntak

Editor: Eka Mahendra Putra