24 Oktober

Tanggal 24 Oktober saya ingin melanjutkan perjalanan saya ke Nias. Pagi itu, sekitar jam 8 pagi saya sudah tiba di Medan dan bergegas mencari angkot.

Langkah saya berhenti di pool Bus Kurnia yang ditulis akan membawa penumpang ke Sibolga. Saat itu saya memilih sebuah angkutan 64 namanya, mobil itu menuju Amplas dan ongkos yang dikeluarkan sekitar Rp 10 ribu, yah, worth-lah dengan tujuan saya.

Setiba di Amplas tanpa berlama-lama kaki saya melangkah lagi untuk mencari angkutan lain, kali ini saya mencari moda transportasi L300. Sayangnya, mungkin karena saya agak sedikit siang, sehingga angkutan yang saya incar sudah keburu berangkat. Terpaksalah, saya putar otak untuk berangkat ke Sibolga dengan secepatnya, maka, mobil carteran Innova menjadi pilihan terakhir. Mobil yang saya tumpangi itu hanya bisa diisi 6 orang saja termasuk saya. Maklum, di dalam mobil penumpangnya bawa barang bawaan seabreg-abreg, termasuk saya yang tas ransel saya mencapai 20 kilogram. Ongkosnya? Hmmm…. Rp 140 ribu.

Singkatnya siang itu sampai juga saya ke Sibolga dengan beragam cerita. Selanjutnya, perjalanan akan saya tempuh naik kapal. Informasi saja, harusnya kapal yang akan membawa saya ke seberang itu cuma Rp 66 ribu, tapi karena duit sudah cekak alias menipis, saya terpaksa meminta tolong ojek untuk mengantar saya ke ATM terdekat. Akhirnya dengan uang Rp 100 ribu yang saya ambil di ATM membuat saya bisa naik kapal dan berangkat sekitar pukul 20.30 WIB menuju Nias, dan diperkirakan perjalanan itu ditempuh 10 jam.

25 Oktober

Jam menunjukkan pukul 06.00 WIB kapal yang saya tumpangi tiba di Nias. Dan teman saya Devid ternyata sudah menunggu kedatangan saya di pelabuhan.
Lama tak bersua membuat kami berdua saling melepas kerinduan, kami sudah tidak bertemu sekitar 6 tahun lamanya.

Oiya, saat di dalam kapal itu saya sempat berkenalan dengan sepasang bule yang punya tujuan yang sama, ke Nias.
Sepasang bule itu saat di kapal meminta bantuan saya untuk dicarikan mobil murah meriah. Kebetulan saya pikir Devid bisa memberikan pertolongan maka saya iyakan saja keinginan sepasang bule tadi.
Tapi, ternyata buntu!. Tidak ada mobil yang murah meriah yang bisa diusahakan Devid, yang akhirnya membuat saya dan Devid mengusahakan cara lain agar sepasang bule tadi bisa terbantu, itung-itung ini adalah ‘rekreasi hati’ buat saya.

Kebetulan kami bertemu dengan seorang pria yang namanya Lius, bahasa Inggrisnya jago banget. Dan dia menyakinkan kami menawarkan mobil ke Teluk Dalam dengan harga Rp 100 ribu, dan catat, itu adalah harga normal. Di situlah perpisahan saya dengan sepasang bule tadi. Saya melanjutkan perjalanan ke rumah Devid.
Di rumah teman itu saya langsung beres-beres, dan dijamu sarapan, karena Devid merencanakan mengajak saya ke museum Nias.

Tiba di museum itu kami kepagian, karena kata penjaganya kalau hari Minggu museum buka jam 12 siang. Yah, daripada kami menunggu terlalu lama di situ Devid pun berinisiatif mengajak saya ke pantai yang tidak jauh dari lokasi museum. Di pantai itu, saya dan Devid menghabiskan beberapa botol bir sambil melepas kerinduan saya yang sudah 6 tahun tak bersua dengan sahabat satu ini. Akhirnya hari itu selesai juga, dan malamnya saya beristirahat karena jujur badan saya sudah sangat lelah.

Keluarga kawan saya Devid

Keluarga kawan saya Devid

 

26 Oktober

Pagi itu saya disibukkan dengan target menyelesaikan tulisan tentang Sabang yang harus dikirim ke majalah Nova. Tulisan itu haruslah bervariasi, tapi sayangnya materi untuk mengkreasikan tulisan itu masih belum komplit, yah, mau tidak mau harus terus saya edit sehingga membuat otak ini belum bisa berpikir mau ke mana hari ini.

Sebetulnya ada rencana kami ke Teluk Dalam melihat-lihat rumah adat, tapi rencana itu baru bisa direalisasikan esok hari karena motor yang akan kami naiki baru ada besok.
Malamnya, usai saya menyelesaikan tulisan itu teman yang bernama Lius yang jago bahasa Inggris itu mengajak kami ketemuan, nampaknya dia ingin menjamu saya.
Jadilah malam itu kami ngobrol hingga larut malam saling bertukar pikiran. Banyak pengalaman dia bersama bule dan ternyata anak ini masih kuliah di Nias. Jadi dunia guide memang belum seratus persen ia tekuni karena terbentur kuliah.

“Kita kadang merasa sendiri dalam perjalanan akan tetapi teman baru selalu kau dapatkan, itu yang ku percaya. Jadi sebenarnya aku nggak travel sendiri,” begitu kata-kata saya ke Lius.

27 Oktober

Nah, hari ini lumayan seru juga. Perjalanan panjang saya di sini dimulai tanggal ini, 27 Oktober. Saya termasuk orang yang beruntung bisa dapat banyak kenalan di dunia maya, bahkan, salah satu follower instagram saya di sini, bersedia memberikan pinjaman motornya untuk saya berkreasi sendiri tanpa batasan.

Nama kawan ini Intan Siregar, saya kenalnya dari dunia maya, dia sangat sering mengikuti perjalanan saya dari postingan facebook saya.
Sekitar pukul 10 pagi saya menuju kantor Intan yang kebetulan sekantor dengan Devid.
Motor sudah dapat, giliran Devid yang khawatir sebagai seorang teman. Dia mewanti-wanti agar saya berhati-hati dan selalu memberi kabar, terlebih dia meminta saya agar kalau bisa jangan mendirikan tenda, kurang aman saja alasannya.
Karena kabarnya daerah menuju Teluk Dalam banyak rampok dan banyak kejadian begitu kata orang-orang di sana, makanya Devid beralasan untuk khawatir dengan keselamatan saya.

Perjalanan cukup lama, sekitar 3 jam yang harus ditempuh sampai ke lokasi. Jujur, pemandangan sepanjang perjalanan itu dari kacamata fotografer sangat-sangat menarik. Saya banyak berhenti hanya untuk mengabadikan beberapa momen dan pemandangan yang rugi untuk dibiarkan begitu saja.
Akhirnya perjalanan saya sampai juga di Teluk Dalam karena ada tanda dari papan bahwa lurus ada rumah adat Nias.

Seperti biasa, kalau kita masuk ke wilayah yang dianggap potensial budayanya maka, ada saja guide-guide yang siap memberikan kita tour. Termasuk saya. Saat itu ada seseorang guide kalau tidak salah namanya David Wau, dia masih muda, dan dia menawarkan saya dengan membayar Rp 150 ribu maka saya bisa melihat lompat batu yang terkenal itu. Seharga itu memang sudah angka normal, tapi bagi saya, jujur itu uang yang sangat besar. Saya mau melihat lompat batu tapi kalau bisa tidak dengan seharga yang dia tawarkan.

Putar otak!. Itu yang bisa saya lakukan. Harus putar otak, maka terbersitlah ide untuk mengajak David minum tuak di luar kampung adat.
Beruntung bagi saya memilih warung, karena di situ ternyata para pelompat berkumpul. Wah! Ini seperti rejeki yang tak terduga!.
Akhirnya di depan para pelompat itu saya menceritakan diri ini, bahwa saya hanyalah seorang pengembara yang tak selalu punya uang untuk menikmati indahnya Indonesia.
Saya menawarkan mereka bagaimana jika saya melihat tradisi lompat batu, dan dibarter dengan postingan foto dan nama di blog dan website saya.

“Saya tak punya banyak duit, jika kalian membantu akan kutulis nama kalian dalam perjalanan saya,” itu kata-kata saya di warung itu.
Puji Tuhan. Ternyata ada seseorang pelompat namanya Rendi bersedia juga, dia mau, dia pun mengganti baju untuk melakukannya.
Setelah melakukan lompatan saya sempat berfoto bersama.
Ini bukan masalah apakah kamu bisa meloloskan tidak bayar dalam wisata, tapi kekuatan mu adalah bagaimana menjalin persahabatan dengan mereka, itu yang paling penting.

Kemudian saya melanjutkan perjalanan melihat surfing di Sorake dan memasang tenda. Saya berputar-putar keliling losmen yang bisa saya nenda. Akhirnya saya menemukan area di depan Wisma Lisa.
Ada seorang ibu-ibu, dia ini sangat baik, dia mengizinkan saya untuk mendirikan tenda di depan wisma milik dia, akhirnya tenda didirikan dan tempat menginap aman malam ini.

Berfoto bersama dengan salah seorang pelompat batu.

Berfoto bersama dengan salah seorang pelompat batu.

Surfing di pantai Sorake Nias.

Surfing di pantai Sorake Nias.

Tenda saya di pantain Sorake.

Tenda saya di pantain Sorake.

Kompor untuk memasak Indomie dan membuat kopi di pantai Sorake.

Kompor untuk memasak Indomie dan membuat kopi di pantai Sorake.

 

28 Oktober

Hari ini saya rasa cukuplah. Dan harus kembali ke Gunung Sitoli karena semua yang saya rencanakan di Teluk Dalam sudah terekam semua, ada foto adat lompat batu, ada foto surfing dan foto-foto bonus lainnya, jadi okelah, hari ini saya harus kembali ke Sitoli.
Sepanjang perjalanan yang panjang menuju Sitoli tidak pernah membosankan, karena sepanjang perjalanan selalu saja saya menemui banyak hal baru yang bisa saya abadikan dan bagi-bagi kepada kawan-kawan.

Perjalanan hampir 4 jam itu banyak ritual yang berpas-pasan di jalan, itu membuat saya gatal untuk berhenti, mulai dari makan pisang goreng, memotret hingga makan besar waktu masuk ke Kota Nias. Pukul 16.50 WIB sampai di Nias dan langsung ke kantor Bappeda Gunung Sitoli untuk mengembalikan motor ke yang punya.
Saya bilang bahwa ‘tugas’ saya sudah selesai, dan akan melanjutkan perjalanan.

Di sela-sela obrolan itu yang punya motor bertanya apakah saya bersedia untuk setidaknya menunda perjalanan setidaknya hingga akhir pekan, karena dia katanya kepingin untuk merasakan bagaimana menempuh pengembaraan bersama saya. Jujur, saat itu saya bingung karena perjalanan masih sangat panjang dan saya merasa sudah cukup di situ.
“Mungkin next time akan lebih lama kalau ada yang membiayai,” kata saya.

Becak di pasar gunung Sitoli

Becak di pasar gunung Sitoli

 

29 Oktober

Seharian ini saya ditemani Devid berkeliling Nias. Kami masih menikmati bir di pinggir pantai. Kami bercerita saling berbagi, bersama kami ada juga Intan Siregar yang menambah ‘bunga’ sore itu. Malamnya saya ditraktir makan enak sama Intan yang saya ‘bayar’ dengan dongeng kisah seorang pengembara. Hingga larut kami pun berpisah.

30 Oktober

Tibalah saatnya beres-beres barang dan akan melanjutkan kembali perjalanan menuju Padang. Hari ini berangkat menggunakan kapal malam menuju Sibolga. Dan katanya ada transportasi langsung menuju Padang. Di sana kawan saya Dian Rizki Sikumbang sudah menanti.

Salah satu patung di museum Nias

Salah satu patung di museum Nias

Anak-anak Nias

Anak-anak Nias

Pencari pasir di pesisir pantai Sorake

Pencari pasir di pesisir pantai Sorake