29 Agustus
Tanggal 29 Agustus 2016, hari itu masih terbilang pagi. Saya berada di Pangkalanbun setelah menempuh perjalanan sebelumnya untuk melanjutkan perjalanan menuju Pontianak. Ke Pontianak sendiri sekedar info agar kita semua sama-sama mengetahui, pergi menggunakan jasa tranportasi Damri dari Pangkalanbun ke Pontianak harus mengeluarkan uang Rp 350 ribu.
Ya. Itulah harga tiket Damri termahal yang pernah saya rasakan selama melakukan perjalanan pengembaraan ini. Cukup fantastis memang tiket itu, sedikit lagi harganya sama dengan tiket pesawat komersil. Entah apa alasan yang logis untuk tarif sebesar itu, yang jelas mau tidak mau saya harus mengeluarkan uang sebesar ratusan ribu demi tujuan saya ke Pontianak.
Damri mahal itu akhirnya berjalan sekitar pukul 07.00 WIB. Selama perjalanan Damri hanya berhenti sekali saja untuk istirahat makan dan sisanya melanjutkan perjalanan. Selama perjalanan dari Pangkalanbun menuju ke Pontianak jalannya memang mulus. Mulusnya jalan itu membuat saya bertanya-tanya ke pak sopir, apakah dari dulu sudah seperti ini, dan berapa lama memakan waktu ke Pontianak dengan kondisi jalan yang mulus, karena saya ingin tahu dan mau menyampaikan ke sahabat-sahabat yang punya niat main ke Pontianak.
Jawaban sang sopir cukup mengagetkan saya, karena kata dia dulu, mau ke Pontianak bisa memakan waktu sampai berhari-hari karena jalan yang jelek, tapi sekarang dari Pangkalanbun ke Pontianak bisa ditempuh dalam 14 jam. Wah, lumayan juga saya pikir, dengan kondisi jalan yang sudah super mulus ini pun memakan waktu sampai 14 jam, bagaimana kalau kondisinya seperti dulu yang memakan waktu berhari-hari. Beruntunglah sekarang warga di sana bisa memotong kompas jam perjalanan berkat pembangunan yang sudah maksimal itu.
Oiya, sepanjang perjalanan kanan dan kiri kita disuguhkan pemandangan hutan dan kebun sawit saja. Jarang kita bisa menikmati keindahan lainnya, itupun jika anda tidak tertidur selama perjalanan. Ada beberapa perkampungan yang juga dilewati sesekali, jadi saya pikir dari Pangkalanbun ke Pontianak ini pembangunan masyarakatnya normal seperti daerah-daerah lain, ada satu kawasan perkampungan, kawasan lainnya perkebunan.
Akhirnya, Damri yang mengangkut kami tiba di di penyeberangan kapal fery menuju Tayan setelah kami cukup letih menempuh perjalanan 14 jam. Di lokasi, yang namanya fotografer selalu saja mendapatkan momen yang sayang untuk dilewatkan untuk diabadikan, di tempat penyeberangan itu saya dibuat kagum dengan pemandangan sunset di jembatan. Lumayan saya pikir, bisa buat stok foto yang akan saya bagikan ke sahabat-sahabat.
Sambil menunggu kapal berikutnya yang akan mengangkut penumpang, saya mencoba beristirahat sambil mencari jajanan berat yang bisa mengisi perut. Ternyata makan di situ tidaklah murah, dengan uang Rp 30 ribu kita hanya mendapatkan nasi lauk ikan dan teh tawar, waw, lumayan fantastis untuk ukuran kantong saya.
Puas beristirahat dan menunggu kapal, akhirnya kami berangkat juga masih dengan Damri tadi menuju Pontianak. Kira-kira sekitar pukul 22.00 WIB kami tiba di tujuan di Pontianak. Lalu kepada sang sopir saya menyebutkan satu alamat untuk diantar ke sana, alamatnya di jalan Tanjung Raya, sebuah perumahan, di situ tinggal senior saya semasa kuliah dulu Jotty namanya, dan saya akan tinggal di rumah beliau selama di Pontianak.
30 Agustus
30 Agustus tidak ada aktifitas yang berat untuk saya di hari pertama di Pontianak, hanya ada beberapa keseruan saja seperti menjadi tukang dokumentasi dadakan di perayaan ulang tahun anak Jotty, saya mendokumentasikan perayaan itu hingga sore hari.
Setelah saya menyelesaikan tugas sebagai dokumentasi dadakan, sebelumnya saya sudah membuat janji dengan seorang dara manis, gadis Kalimantan Barat keturunan Batak, Berti Sitompul namanya. Dia ini dari sore sampai malam menjadi guide saya selama di sana, kami berkeliling kota Pontianak mulai dari melihat tugu khatulistiwa kemudian yang pasti melanjutkan wisata kuliner. Pontianak sendiri terkenal dengan wisata kulinernya yang beragam. Tapi kali ini, saya disuguhkan Berti makanan yang, heumm, yah begitulah, makanan yang tidak semua orang bisa menikmatinya.
Oke, setelah selesai wisata kulinernya Berti mengajak saya jalan lagi kali ini dia ingin saya menuntaskan hasrat dengan makan durian, walaupun harga durian masih mahal kendati lagi musimnya di sana, 3 biji durian dihargai Rp 100 ribu. Tapi setelah saya coba duriannya masih kalah dengan rasa durian di kampung saya hahaha.
Selesai menikmati durian itu kami berdua melanjutkan perjalanan mencari tempat ngopi yang enak dan di situ kami memuaskan diri untuk saling bercerita pengalaman hidup. Akhirnya, sekitar pukul 22.00 WIB kami benar-benar menuntaskan jalan-jalan dan saya harus beristirahat.
31 Agustus
Lae Jotty nampaknya sudah mengerti betul dengan keinginan saya, buktinya, pagi ini dia memberikan saya keleluasaan sepuasnya saya untuk memanfaatkan motor untuk berkeliling Pontianak sebisa saja.
Ah, saya harus banyak berterimakasih kepada Lae satu ini. Saya langsung mengatur strategi ke mana kaki ini akan melangkah, dan target pertama saya tentu adalah tugu khatulistiwa yang ingin saya potret di kala siang, karena saat saya dengan Berti kondisi di situ masih becek dan ramai orang.
Usai memotret keindahan tugu khatulistiwa saya dilanda kebingungan, kira-kira mau ke mana lagi saya harus pergi memuluskan hasrat pengembaraan saya. Jadi, bila kawan-kawan pengembara berada di Pontianak lalu bingung mau ke mana setelah menikmati tugu khatulistiwa, ada baiknya jernihkan pikiran ke bandara Supadio melihat suasana bandara yang sedang kena asap kebakaran hutan dan menggangu beberapa jadwal penerbangan.
Sore setelah Berti pulang dari kerja, kami berdua melanjutkan nongkrong di atas kapal yang meluruskan pandangan langsung ke sungai Kapuas. Sore di jajaran sungai Kapuas itu semakin nikmat dengan adanya kopi yang punya citarasa sederhana dan ditemani Berti. Lokasi kami duduk sore itu serasa dua kali lipat lebih menarik, karena cukup tenang duduk manis di situ sambil menunggu sunset terbenam. Kita habiskan hingga malam disini dengan canda tawa dan obrolan serius.
1 September
Hari ini Lae Jotty masih memberikan saya kebebasan menggunakan sepeda motornya, mau ke mana pun saya pergi, dia persilakan mengendarai motornya. Nah, karena diberi keleluasaan kali ini, saya berniat mencoba daerah yang agak jauh, kira-kira ke daerah Singkawang.
Perjalanan ke wilayah Singkawang mulai saya lakoni, pelan-pelan saya laju sepeda motor Jotty hingga akhirnya saya merasa sudah 30an kilometer memacu motor ini. Namun hasrat saya untuk meneruskan perjalanan harus saya kubur dalam-dalam, saya langsung mengambil keputusan untuk mundur saja karena cuacanya tidak memungkinkan saya untuk memaksa saya berkendara terus.
Hitung-hitungan waktu pun saya perkirakan tidak cukup, karena keluar dari Pontianak saja sudah jam 1 siang, sedangkan menuju ke Singkawang membutuhkan waktu 2 jam, jadi hitung-hitungan matematikanya saya akan kesulitan pulang nanti.
Pelan saya menyusuri jalan pulang, sesekali saya melihat anak-anak sekolah pulang, terlihat keceriaan mereka terpancar. Tiba-tiba di antara lamunan saya soal keceriaan anak-anak sekolah tersebut, saya dikejutkan dengan 2 anak sekolah SMP yang berusaha menyetop motor saya. Saya pikir, ah berhenti sajalah, kira-kira mau apa mereka ini. Dan setelah saya berhenti dan menanyakan maksud menyetop saya, barulah saya tahu bahwa mereka sebenarnya berharap bisa menumpang sepeda motor untuk pulang.
Sekilas saya langsung nelangsa bagaimana perjuangan saya menyetop satu persatu kendaraan demi untuk sampai tujuan, membuat saya merasa senasib dengan mereka, tanpa pikir panjang, saya angkut keduanya dan mengantar mereka pulang dengan dinavigasi salah seorang dari mereka.
Usai memberikan kebaikan kepada anak sekolah itu saya melanjutkan lagi rasa penasaran saya di tugu khatulistiwa. Jika 2 kali saya ke situ tidak pernah masuk, kali ini saya mencoba peruntungan dengan masuk ke dalam tugu dan mencoba memotret beberapa hal yang saya anggap menarik. Puas dengan potret-potret yang saya dapatkan di tugu khatulistiwa, saya mengontak Berti lagi mengajak dia untuk ngobrol dan merencanakan jika ada tempat yang bisa saya jajaki lagi. Hasil dari obrolan kami, saya disarankan mendaki bukit Jamur, dan tentu dia akan menemani tapi dengan cara yang sedikit berbeda. Tunggu saja ceritanya.
2 September
Hari ini, saya berniat untuk tidak ke mana-mana setelah beberapa hari saya full keluar dan menikmati Pontianak. Hari ini saya ingin stay saja di rumah Lae Jotty, sebentar ingin merehatkan tubuh dan pikiran, atau melihat-lihat sosmed dan berselancar di internet untuk mencari referensi-referensi kira-kira ke mana saya akan mencoba jelajahi selama di Pontianak ini. Dari pagi sampai sore tangan saya tidak lepas dari sosmed, baik itu facebook, twitter dan lainnya.
Tidak lama saya menyibukkan diri dengan dunia maya, telpon saya berdering dan dari seberang sana suara Berti terdengar lembut. Dia menawarkan saya agar tinggal bersama dia dan teman-temannya di bandara. Saya sih, pada dasarnya di mana saja mau asal tempat itu tidak kena hujan dan panas langsung. Setelah mendapat lampu hijau dari Berti dan kawan-kawannya saya sepakat akan tinggal bersama mereka di bandara.
Sore setelah lama bermain laptop dan sosial media bikin saya bosan, saya mencoba menghangatkan kaki dengan berjalan ke sungai Kapuas, lumayan, sekitar 2 kilometer kaki saya melangkah ke sana. Sekitar 2 jam saya habiskan waktu untuk merenung dan menenangkan diri di sungai Kapuas. Baru setelah pulang dari sana saya meminta izin ke Jotty agar bisa merapat ke bandara, karena Berti dan kawan-kawan sudah menunggu di situ. Sekalian saya juga pamit karena kemungkinan besar saya akan melanjutkan perjalanan ke Singkawang.
3 September
Pagi sekitar pukul 09.00 WIB saya berpamitan dengan Lae Jotty, karena saya memang sudah berjanji dengan Berti dan kawan-kawan untuk menginap di sana, sekaligus juga saya ingin melanjutkan perjalanan ke Singkawang walaupun sebetulnya trip itu belum saya pikirkan bagaimana dan kapan, yang jelas saya hanya ingin berpamitan dengan Jotty, selain memang agak terlalu lama saya di sana juga gak enakan karena selama saya di situ Jotty sering kesiangan masuk karena menemani saya ngobrol kadang sampai larut malam.
Lae Jotty mengantarkan saya ke perum Damri, di situ saya sangat berterimakasih kepada beliau yang sudah sudi menerima, menampung saya dan diberikan pelayanan yang luar biasa, bahkan Lae Jotty masih sempat mengajak saya makan untuk terakhir kalinya sebelum saya benar-benar pergi, sayangnya ajakan itu harus saya tolak karena Damri yang akan membawa saya ke bandara sudah mau berangkat.
Kata-kata Jotty saat itu membuat saya sangat terharu, dia meminta maaf jika selama saya menginap di rumahnya saya merasa kurang puas. Padahal seharusnya sayalah yang meminta maaf ke lae satu ini, karena selama saya di rumahnya banyak sudah merepotkan lae, sering masuk siang gara-gara harus menemani saya ngobrol. But, show must go on, saya harus benar-benar berangkat, hanya goresan kisah inilah yang akan membuat cerita saya dan Lae Jotty bakal abadi sampai anak-cucu kelak membacanya.
Singkat cerita, Damri yang saya tumpangi berangkat, dan saya membayar ongkos Rp 35 ribu untuk sampai ke bandara Sipadio.
Sampai di bandara Berti memperkenalkan ketiga temannya yang tinggal di rumah dinas di bandara. Ada Angga Edwin dan Timbil. Rumah sederhana itu diisi pria-pria bujangan yang akan menjadi awal saya untuk melanjutkan perjalanan panjang, khususnya di Pontianak. Karena saya sudah punya tujuan setelah dari Pontianak saya akan melanjutkan perjalanan saya ke Batam. Saya sadar, saya ini bukanlah seorang traveller yang kapan saja bisa merasa puas di satu wilayah dan melanjutkan kembali ke tempat yang lain. Saya hanyalah pengembara yang ingin merasakan keindahan Indonesia tetapi dengan dana yang sangat terbatas, bagaimana caranya dengan dana yang apa adanya saya bisa survive dari satu daerah ke daerah lain. Mencoba untuk tetap memanfaatkan peluang sekecil apapun dan memanfaatkan kesempatan sekecil-kecilnya. Namun, terkadang dari perjalanan saya yang sederhana inilah saya menemukan manusia Indonesia sebenarnya, yang ternyata, jika kita jujur di depan mereka bahwa kita bukanlah siapa-siapa dan tidak membawa apa-apa, mereka akan terbuka tangannya untuk membantu. Saya sempat berpikir bahwa, sebetulnya apa yang kita rasakan sebagai anak bangsa belakangan ini bukanlah orang kita sebenarnya, karena orang kita sebenarnya sangat ramah dan rela membantu tanpa pamrih. Itu kira-kira kesan yang saya dapatkan sejauh ini, sejauh perjalanan saya.
Oiya, para bujangan ini merupakan pegawai Angkasa Pura II Pontianak dan umur mereka masih muda, dan rata-rata perantau dari tanah Jawa. Sudah beberapa tahun mereka merantau di sini. Saya berpikir, selama di sini, saya harus hidup mandiri dan cukup dengan tempat tinggal yang gratis, akan tetap saya tetap sadar diri untuk makan saya tidak akan menyusahkan kawan-kawan ini, saya harus hidup layaknya anak kuliahan yang duitnya cekak dan bakal mendapat kiriman lagi bulan berikutnya. Begitulah kira-kira cara saya survive sejauh ini.
4 September
Bangun pagi di sini saya tidak merasakan hal yang berbeda dengan bangun tidur-bangun tidur saya di tempat lain. Perbedaannya hanyalah, pagi saya ditinggal kawan-kawan yang memang punya kerjaan, hanya saya yang tidak bekerja.
Siang hari Berti mengajak saya makan siang di kota, jarak kota dari bandara lumayan jauh, jadi kesimpulannya kalau dari bandara ini mau ke kota setidaknya kita harus punya kendaraan sendiri, kalau tidak punya kendaraan sendiri maka Damri lah jadi andalan, kalau angkot susah dicari, yang ada ojek dan taksi.
Tapi saya yang jiwanya pengembara serasa berat untuk naik taksi, seperti ada yang hilang kalau sudah naik taksi, ah, kesannya jadi nggak banget. Terutama ongkosnya.
Siang hari Berti datang dengan kendaraanya dan kita pun langsung ke kota untuk makan mie kesukaanya. Saya mah ikut aja, saya gak pernah cerewet soal makan, ada sukur gak ada juga yah cari yang ada aja, begitulah kira-kira. Jadi saat Berti menawarkan mie tersebut saya gak banyak komentar, saya lahap saja. Hanya seperti ini moment dimana saya bisa menikmati makanan restoran. Kalau niat sendiri sepertinya saya mengurungkan niat. Thanks untuk Pontianak dan Berti Sitompul.
Story: Moonstar Simanjuntak
Editor: Eka Mahendra Putra
Recent Comments