“Mengabdikan” diri untuk menempuh jalan mengembara semata-mata bukanlah hanya soal mengunjungi tempat-tempat yang telah disediakan Tuhan, lebih dari itu, menjelajah negeri ini juga adalah soal mempelajari khasanah kearifan lokal yang beragam dan tentunya juga membangkitkan lagi silaturahmi baik dengan keluarga maupun teman-teman yang terpisah jarak.
Seperti yang ingin saya lakukan selama di Kota Gudeg Jogja ini. Tak melulu perjalanan saya selama di sini diisi dengan mengunjungi tempat-tempat wisata. Saya juga bertemu dengan kawan lama saya yang akrab saya sapa dengan ito–ito itu panggilan untuk orang Batak. Namanya Shantoy Hades, seorang wanita keturunan Batak lama tinggal di Jakarta. Tapi, ito saya ini lebih “ekstrim” daripada saya. Dia lebih memilih untuk hidup nomaden. Beberapa tempat sempat dia singgahi untuk hidup seperti Flores dan Bali. Tapi sekarang ito ini tinggal di Jogja. “Lebih nyaman di sini, kita bisa menikmati hidup,” itu kata dia saat saya mengajukan pertanyaan alasan dia memilih Jogja sebagai destinasi untuk tinggal.

Oiya, untuk diketahui perkenalan saya dengan ito itu kira-kira tahun 2009 di Bandung kala saya membuat sebuah pameran foto di Bandung Indah Plaza, waktu itu pameran foto saya beri tajuk “Rainbow of Life Borneo”. Singkat kata, setelah berhasil menghubungi dia kami menyepakati untuk bersua di salah satu cafe, saya lupa namanya, tapi cafe nya sederhana, yang penting nyaman dan suasananya ramai, mengingatkan saya akan daerah Legian di Bali, banyak turis lalu-lalang karena memang banyak cafe di situ.
Sekitar pukul 16.00 WIB kami bertemu. Sudah lama tak bersua tentu saja obrolan awal kami adalah bagaimana kehidupan masing-masing dijalani, nostalgia sedikitlah dengan ito. Ternyata dia tak berubah. Pembahasan setiap obrolan dan bahasa yang keluar dari mulut ito masih seperti dulu, kritis menyikapi semua persoalan. Itu yang saya suka dari dia.

Kami membahas dan melahap semua topik yang ada, mulai dari politik, sosial, budaya, ah, apapun yang bisa kami bahas, kami bahas semua. Ito ini mengaku sangat menikmati pekerjaannya di salah satu NGO di Jogja, dia punya banyak waktu selama bekerja di Jogja. Saya memaksa dia untuk menceritakan pengalaman-pengalamannya selama nomaden dan selama bekerja di NGO. Kata dia, banyak pengalaman ke daerah-daerah terpencil dan jauh dari peradaban normal. Nah, dari seluruh tempat terpencil yang sudah ia jajaki ia memilih nama sebuah wilayah di timur Indonesia, yaitu di Maumere. Bahkan dia punya nawacita kalau ada rezeki lebih maka Maumere adalah tempat yang ingin ia datangi lagi. Ito tak sempat secara eksplisit menjelaskan apa sebetulnya daya tarik Maumere sehingga sangat istimewa di matanya.

Mendengar pengalaman ito yang sangat mencintai wilayah timur Indonesia, saya tergerak untuk turut membagi pengalaman saat saya juga sempat ke daerah sana. Saya ceritakan bagaimana di Ternate saya bertemu orang yang sama sekali baru berkenalan tapi saya diperbolehkan ikut dan tinggal di rumahnya. “Dan jadi saudara sampai sekarang,” kata saya ke ito.
Obrolan kami makin hangat karena kami berdua memang sepakat bahwa timur Indonesia punya kecantikan luar dalam. Gambaran orang Indonesia yang ramah itu sebetulnya tercermin di sana. Jika ada gambaran yang negatif saya rasa itu hanyalah “ciptaan” saja karena tidak semua orang bisa merasakan apa yang sempat kami rasakan di sana.
Orang-orang kebanyakan tidak menyadari bagaimana cara orang-orang sana berkomunikasi. Bagaimana susahnya mereka mencari sinyal telpon sampai-sampai ada di daerah sana namanya Batu Sinyal. Batu Sinyal itu benar-benar ada, di mana orang hanya bisa mendapat sinyal jika berdiri dan masuk ke dalam lingkaran bulat batu tersebut. Iya, itu benar-benar ada!. Berdiri di situlah baru mereka bisa berkomunikasi dengan sanak saudara. “Agak lucu memang bagi kita melihat seperti itu. Sekilas lucu. Tapi sadarkah kita, kita yang di daerah lebih baik dari mereka baru hilang sinyal beberapa detik saja ngamuk-ngamuk. Bayangkan mereka yang harus ke Batu Sinyal dulu. Kalau mau main game online mungkin mereka harus bikin tenda,” seloroh saya yang disambut tawa renyah ito. “Makanya, kata paling tepat untuk kita semua, banyak-banyak bersyukur. Masih banyak di luar sana yang masalahnya lebih besar daripada cuma hilang sinyal saat mau twitteran,” sambung ito.

Kami pun harus berpisah. Suatu hari giliran saya yang akan menjamu ito dengan suasana kehangatan yang sama. Tapi, sebelum kami berpisah ada satu berita mengejutkan yang disampaikan ito kepada saya. Bahwa sebelum kami bertemu ada seorang pendaki gunung Merbabu yang meninggal di sana. Dan saat kami berbincang jenazahnya sedang dievakuasi. Saya jadi teringat, jika kawan-kawan membaca cerita saya di Merbabu 2 hari yang lalu bisa kawan-kawan bayangkan bagaimana bersyukurnya saya untuk tidak melawan alam saat itu. Lagi-lagi God save me!. (*)

Whatsapp dari salah satu teman bahwa ada kejadian di Gunung Merbabu

Whatsapp dari salah satu teman bahwa ada kejadian di Gunung Merbabu