Menyapa Halmahera
Seorang pejalan tidak akan merasa sendirian, selalu ada kawan di perjalanan.

Saya tiba di pelabuhan  Sorong, pada dini hari. Ternate adalah tujuan saya berikutnya
selepas menjadi volunteer untuk layanan kesehatan di Papua. Kapal pelni merapat di pelabuhan,
saya masuk ke dalamnya, mencari tempat untuk beristirahat. Di lantai 6 kapal, saya bertemu
dengan dua orang pemuda, Ato dan Ateng namanya.
“Kita asal Halmahera, mau pulang kampung,” jelas Ato. Ia dan Ateng berasal dari desa yang
sama, Kampung Bringin, begitu mereka menyebutnya. Saya sendiri tidak punya tujuan yang
pasti akan berdiam di mana selama di Halmahera. Mengapa tidak mengikuti mereka saja? Saya
menyampaikan maksud perjalanan saya pada mereka dan meminta izin untuk ikut serta ke
Kampung Bringin.
Terlihat ada rasa khawatir dari wajah Ato dan Ateng. Bagaimana tidak, mereka bertemu dengan
orang asing di kapal, yang jika dilihat dari perawakan saja, baginya saya terlihat mencurigakan.
Mereka juga menjelaskan bahwa perjalanan ke kampung mereka membutuhkan perjalanan
yang cukup panjang. Namun, setelah cukup berbincang, akhirnya mereka mengizinkan saya
untuk ikut serta ke Kampung Bringin.
Ternyata benar, perjalanan menuju ke sana cukup panjang. Dari Pelabuhan Ahmad Yani di
Ternate, kami harus menaiki speedboat. Malam itu kami tiba pukul 11 malam dan tidak ada
kapal yang akan menuju ke sana. Kami terpaksa menginap di sekitar pelabuhan, berharap
esoknya akan ada kapal yang berangkat. Malangnya, kapal yang semestinya berangkat
mengalami kerusakan dan kami harus mencari jalan alternatif, yaitu Pelabuhan Sofifi dengan
lalu lintas kapal yang lebih ramai. Perjalanan ini kemudian disambung dengan menyewa mobil
dan menempuh perjalanan dalam empat jam untuk mencapai Kampung Bringin.
Tapi perjalanan yang panjang nan melelahkan itu terbayar saat Ato dan Ateng menginjakkan
kampung halamannya. Anak rantau yang kembali ke rumah untuk setidaknya beristirahat
sejenak. Sambutan hangat dari keluarga Ato turut membuat hati ini terasa hangat. Tidak
menjadi merasa asing adalah sebuah kemewahan dalam perjalanan ambisius saya seorang
diri.
“Ayo makan dulu, nak,” ajak Ibu nya Ato dengan. Malam itu, saya berkumpul dengan keluarga
Ato. Ayahnya murah senyum, ia banyak menanyakan tentang perjalanan saya dan bercerita
banyak tentang Kampung Bringin. Ardi, adik Ato yang baru berusia 10 tahun, lebih banyak
berinteraksi dengan abangnya untuk melepas kangen. Saya jadi bersyukur, kehangatan
keluarga ini masih bisa saya terima di tengah perjalanan untuk mengejar mimpi saya.


Pagi-pagi sekali saya mencoba mengitari Kampung Bringin. Desa ini kecil, tidak butuh waktu
lama untuk mengeksplorasi setiap bagian kecilnya. Ada sungai kecil yang mengalir di tepi desa.
Airnya bersih dan surut, menarik saya untuk menyusuri sungai kecil ini dan menikmati
pemandangan sekitar. Tidak jauh dari desa ini, ada kampung yang lebih besar, Desa Maidi
namanya. Dari informasi penduduk di sini, Desa Maidi memiliki pelabuhan dan pantai.
Di sini, jarak antar satu kampung ke kampung lainnya sekitar satu kilometer. Saya berjalan kaki
menuju Desa Maidi. Menikmati perhalanan dengan pemandangan hutan dan pohon kelapa.
Sesekali saya berpapasan dengan anak-anak berseragam sekolah yang mungkin berangkat
bersekolah. Desa Maidi tampak lebih ramai, juga lebih modern dibandingkan Kampung Bringin.
Dari pelabuhan di Desa Maidi pula, ada kapal yang bisa berangkat langsung menuju pelabuhan
besar di Ternate.
“Bang Moonstar!” sebuah suara menanggil. Ato datang mengendarai sepeda motornya. “Ayo

pulang, Bang. Jangan hilang sendirian di sini,” katanya sambil tertawa. Rupanya, ia cemas saya
akan tersesat atau bertemu hal-hal buruk karena saya adalah orang baru di sini. Tiba di
Kampung Bringin, hari sudah gelap. Dan tidak ada cahaya terang benderang dari lampu-lampu
jalan, gedung tinggi, atau lalu lintas padat seperti di kota-kota besar. Malam hari di sini, berarti
tidak ada penerangan. Tidak ada listrik. malam itu saya larut pada tenangnya Kampung Bringin
yang memupus kelelahan di siang hari.


Ardi, adik Arto, selalu riang dan punya banyak teman. Mereka selalu ceria dan aktif. Seringkali
di setiap sore, mereka bermain bola dan saya akan ikut bermain dengan mereka. Selalu ada
pelajaran yang bisa dipetik dari anak-anak. Bagaimana mereka bisa super dan luwes bergaul,
beraktivitas dengan lepas.
“Ada yang tahu sungai dekat sini yang bisa dipakai untuk mandi?” tanya saya pada mereka.
Terkadang, mereka sulit mendapat izin dari orangtua untuk bermain ke hutan atau mandi di
sungai karena alasan keamanan. Sumringah datang dari wajah mereka saat para orangtua
mengizinkan mereka bermain dengan saya. Percaya bahwa saya akan menjaga anak-anak dan
mengurangi kecemasan mereka dengan keselamatan anak-anak. Kami bermain di sungai,
menjelajah hutan, atau melakukan permainan tradisional bersama. Anak-anak itu sederhana.
Mereka senang bermain. Dan saya bisa menjaga mereka saat bermain. Tapi saya sendiri
bersyukur dengan kehadiran mereka. Memberi keriaan pada hari-hari di Kampung Bringin.

Ada hal yang rutin saya lakukan di rumah Ato, cuci piring. Bagi saya, hal-hal seperti ini sudah
biasa saya lakukan di rumah. Makan bersama, kemudian berbagi tugas membereskan
peralatan makan. Suatu kali saya ditegur, agar tidak perlu mencuci piring karena Ibu Ato yang
akan melakukannya.
Seperti stereotip yang ada pada masyarakat, bahwa urusan dapur adalah urusan perempuan.

Tapi bagi saya, apa yang bisa dikerjakan akan saya kerjakan. Dan saya senang saat perlahan-
lahan, Ardi pun ikut mencuci piring dengan saya. Bersama-sama membantu meringankan

beban Ibu Ato yang sehari-hari juga ikut berkebun bersama suaminya. Kerap kali saya juga
memasak. Mulai dari membuat lauk untuk makan bersama atau sekadar membuat penganan
kecil untuk Ibu dan Bapak sepulang dari kebun.


Delapan hari saya di Kampung Bringin. Ibu, Bapak, Ato, dan Ardi sudah layaknya keluarga
sendiri. Kawan-kawan Ardi sudah seperti kawan-kawan sendiri. Tapi perjalanan saya baru
dimulai. Dan tidak lagi banyak waktu yang bisa saya habiskan di sini. Saya bersama Ardi dan
kawan-kawannya berjalan bersama mengelilingi Kampung Bringin dan menjelajah Desa Maidi.
“Kenapa Om harus pulang? Tinggal dan menikah saja di sini, Om,” kata Ardi yang diamini oleh
teman-temannya. Saya hanya tersenyum, mengingat kembali hari-hari menyenangkan bermain
bersama mereka atau saat makan malam bersama di rumah bersama Ibu, Bapak, dan Ato. Dan
ini juga yang membuat saya belajar dari anak-anak. Tentang sebuah ketulusan dalam
penerimaan orang lain di hidup mereka.
Saya berkemas. Kembali siap untuk melanjutkan perjalanan. Teman-teman Ardi ikut berkumpul
di rumah, menangisi saya yang akan berangkat. “Kenapa Om harus pulang? Semoga kapalnya
rusak terus nggak bisa berangkat,” katanya. Saya hanya tersenyum dan memberi pengertian
pada mereka bahwa perjalanan ini adalah permulaan, dan perpisahan bukan sesuatu yang
harus terus diratapi untuk bisa terus maju.
Saya berkendara dengan Ato menuju pelabuhan. Menunggu kapal untuk berangkat. Dan
tercengangnya saya, saat melihat Ardi dan teman-temannya berlari menuju ke arah saya.

Ternyata mereka berlari dari rumah, menyusul saya ke pelabuhan. Mereka kembali menangis
saat saya bersiap naik kapal. Saya lambaikan tangan, berat hati pergi meninggalkan mereka,
namun cerita tentang mereka akan terus melekat di hati saya.

Sesampai di Ternate, Ibu Ato menelepon. “Anak-anak pada malam makan karena kamu nggak

ada di sini. Bapak juga sudah nggak nafsu makan,” ceritanya. Satu persatu Ardi dan teman-
temannya bergantian berbicara melalui telepon. Gelak tawa dan teriakan-teriakan di telepon

membuat saya kembali menginat keramaian saat bersama mereka. Benar, saya memulai
perjalanan ini sendiri. Tapi bukan berarti saya akan terus berada dalam kesendirian. Saya ingin
menjadi pejalan dengan banyak kawan.