Kalau jodoh emang gak bakalan ke mana. Mungkin kawan-kawan sempat membaca tulisan saya beberapa waktu lalu, di mana saya punya hasrat yang besar untuk mencicipi kopi Merapi. Itu gara-garanya teman saya Mas Ulung yang punya ide mau mengajak saya mencicipi kopi di kaki gunung Merapi. Niatan itu sempat gagal karena kami pindah haluan ke Pacitan.
Eh, yang namanya rejeki dan jodoh emang gak bakal ke mana. Buktinya saat saya sedang malas-malasan sambil memikirkan rencana apa berikutnya, saya dapat panggilan di handphone dari Mas Ulung. Tak sempat saya jawab langsung saya telpon balik. Tarraaam..!! Saya dapat ajakan untuk kedua kalinya mencoba nikmatnya kopi Merapi!.
Hah! Kali ini harus jadi. Harus!. Namanya juga kopi Merapi jelaslah kopi itu adanya di kaki Gunung Merapi yang identik dengan almarhum Mbah Marijan. Singkat kata saya dan Mas Ulung langsung tancap gas menuju lokasi. Sedianya dari Jogja ke lokasi itu butuh menjelajah jalan sekitar 20 Km lebih kurang.
Jangan dipikir perjalanan ke sana lancar jaya. Karena selama perjalanan kami kerap harus berhadapan dengan macet. Tapi beruntungnya saya, pria ini, Mas Ulung, adalah orang asli Jogja jadi dia paham betul seluk-beluk “jalan tikus” biar cepat sampai ke tujuan. Dan jangan lupa juga Mas Ulung ini orang travel, jadi aspal Jogja dan sekitarnya itu mungkin sudah tertulis nama beliau. Mas Ulung ini menjalani bisnis travel yang bernama Super Fun Travel (Mas, saya sebutin nih merknya. Besok-besok ada diskon dong, hahaha).
Ehm… sedikit lagi kami sampai ke lokasi kata Mas Ulung. Suasana saat itu seakan memang ingin menyambut saya. Lampu sepanjang jalan terlihat remang-remang. Sunyi. Bebas dari kebisingan. Sejenak saya merasa teramat damai. Hembusan angin yang menampar helai-helai rambut saya, saya biarkan dengan bebasnya. Saya biarkan aura Merapi menusuk ke helai-helai rambut. Ah, aroma itu.
Sejenak setelah turun dari mobil, kaki saya menginjak tanah itu saya merasa seperti ada sambutan hangat dari udara yang menyusup masuk ke pori-pori kulit. “Mas, ayo saya ajak ke suatu tempat,” seloroh Mas Ulung memecah nelangsa saya. Perlahan kami melangkah ke salah satu lokasi. Tempat itu kata dia adalah lokasi di mana ia dan teman-temannya merajut asa untuk membangun usaha travel yang sekarang sedang mereka jalani. “Tempat ini sudah banyak menelorkan sarjana-sarjana hebat,” sambut Mas Ulung seakan tahu apa yang saya pikirkan. Mas Ulung langsung memesan 2 gelas kopi Merapi dan cemilan gorengan. Seorang ibu-ibu kisaran umur 40 tahunan menyuguhkan kopi itu. Ibu Sukira namanya.

Ibu Sukira (40) pemilik warung kopi Merapi.
Saya sengaja menunggu Ibu Sukira selesai melayani pesanan orang lain. Saya kepingin mendengar langsung dari ibu itu suka dukanya dia selama berjualan kopi Merapi. Kata ibu itu dulunya warung yang ia tempati tidaklah sebesar sekarang. Dan juga nama kopi Merapi dulu belumlah sengetop sekarang. Saat bencana Merapi melanda daerah itu beberapa tahun silam seluruh harta benda miliknya tak bersisa. Karena mereka tinggal di kaki Merapi.
Tuhan masih menyayangi mereka kala itu karena masih disisakan kopi di sebuah koperasi di Kaliurang. Saat itu cerita ibu, hanya semangat suaminya lah yang membuat mereka tetap tabah menjalani hidup pasca kejadian Merapi. Suaminya yakin bahwa kopi adalah satu-satunya jalan untuk menata lagi kehidupan yang nyaris tak menyisakan apa-apa. “Suami saya saat itu berpikir bahwa kopi adalah penghasilan nomor dua di dunia. Berbekal pengetahuan itu suami ibu mantap jualan kopi Merapi,” cerita Ibu Sukira.

Kopi Merapi dan makanan khas kampung, tempe serta pisang menambah nikmat untuk dinikmati.
Pasangan suami istri itu tak pernah patah semangat merenda lagi rajutan hidup yang sempat terkoyak oleh bencana. Dengan kopi yang tersisa dan di bangunan yang nyaris rata dengan tanah pelan-pelan keduanya mantap berjualan kopi. Pada tahun 2012, akhirnya berdirilah sebuah bangunan permanen ukuran 7×6 yang mereka jadikan markas baru menjajal hidup. Saat itu kata ibu, target mereka hanyalah para penambang batu yang singgah untuk ngopi. Tak pernah terlintas di benak mereka bisa melayani wisatawan yang penasarang dengan kopi Merapi. Bahkan, ibu itu dan Mas Ulung punya satu “ikatan” di mana mereka ini berangkat dari nol di lokasi yang sama.
Tak berlebihan jika Mas Ulung setiap membawa tamu travel selalu ia daratkan ke warung kopi milik Ibu Sukira. “Mas Ulung kalau ada yang mau lava tour pasti mampir ke sini. Mungkin karena kita ini berangkat dari satu masalah yang sama,” kata ibu lagi. Bahkan kata ibu, tak sedikit mahasiswa yang butuh ketenangan mengerjakan skripsi datang ke warungnya untuk ngopi sekaligus menyelesaikan skripsi. “Juga itu banyak fotografer-fotografer yang mau motret sunrise. Semua tetap kami layani,” lanjutnya. Sebuah totalitas dari ibu ini patut dijadikan tauladan. Karena kata dia bahkan jika subuh pun ada yang mau ngopi maka dengan tangan terbuka akan dilayani. Tak tampak kelelahan dari wajah ibu, sangat terasa bahwa ia memang menjalani ini dengan hati yang iklas. Ah, semakin nikmat kopi yang saya hirup.
Oiya, posisi warung ini sendiri cukup unik. Posisinya di bawah kayu khas sisa puing Merapi. Kata ibu biasanya dalam sehari bisa terjual 40 cangkir kopi. Setiap hari selalu ada yang datang dan mencicipi kopinya. Harganya pun tak mahal. Arabika kita bayar Rp 7 ribu dan robusta kita bayar Rp 5 ribu. Demi nama apapun di dunia, harga itu sangatlah tak sebanding dengan apa yang kita dapatkan. Ketenangan, kesunyian, aroma gunung serta keramahan pelayanan akan membuat kita tak lagi mengernyitkan dahi atas harga segelas kopi. Terlalu murah malah untuk sebuah filosofi.
Warung ibu sekarang sudah semakin besar. Kalau saya hitung-hitung mungkin 25×20 dan ramai oleh pengunjung. Diakui ibu bahwa seramai apapun pengunjung yang datang tak pernah sekalipun terbersit untuk menaikkan harga kopi. Padahal dengan ekspektasi yang kita dapatkan di sana sangat wajar jika kita membayar lebih dari itu.
Pelajaran hidup yang bisa saya tarik dari pengalaman ibu dan suaminya adalah, jika kita merasa sesuatu hal diambil Tuhan dari diri kita, maka akan ada hal lain yang telah dipersiapkan. Contohnya ibu dan suaminya. Hanya bermodalkan sisa-sisa kopi di koperasi sekarang mereka bisa kembali tegak. Tuhan punya rencana indah di setiap keputusan-Nya. Percayalah. Berjalan 4 tahun sudah kopi Merapi menghadirkan kenikmatan yang tak akan pernah kita dapatkan di kopi-kopi bermerk di mall dan lainnya. Masih sanksi akan nikmatnya Indonesia?.(*)

Ibu Sukira dan kedua anaknya duduk dekat tiang kayu bekas reruntuhan merapi yang dipakai untuk mendirikan warung dengan ukuran 7 x 6 m.

Kiri Mas Ulung, owner dari Super Fun Tours Travel yang mengajak saya kesini untuk mencoba kenikmatan warung kopi Merapi.
Recent Comments