Hari ini saya berniat untuk jalan-jalan sendiri mencari inspirasi. Dengan bermodalkan sepeda motor pinjaman kawan saya Arie, nekatlah saya mencari daerah yang bernama Krebet. Bukan tanpa alasan saya mencari daerah itu, karena kabarnya di situlah sentra para pengrajin wayang. Jujur, saya sangat mengagumi wayang walaupun saya kental darah Batak, tapi wayang menurut saya adalah sebuah seni pertunjukkan yang sebetulnya banyak mengajarkan filosofi-filosofi hidup. Sepanjang perjalanan mata saya yang terlatih untuk melihat ‘keajaian-keajaiban’ alam tiba-tiba tersentak kala melewati sebuah lokasi yang indah.
Di situ ada air terjun, masih sepi dari orang-orang, dan sangat cocok timingnya karena saya juga butuh beberapa saat untuk sekedar menenangkan diri dari riuh-rendahnya kehidupan yang sedang saya jalani. Jadilah saya beberapa saat duduk tefakur di lokasi air terjun tersebut, tapi maaf saya tidak tahu nama tempatnya karena nyaris tidak ada orang yang bisa saya tanyai. Jika ada kawan-kawan yang tahu, bolehlah memberitahu saya sebetulnya apa nama tempat indah dan menenangkan itu.

Puas menyendiri, saya langsung tancap gas lagi menuju daerah yang saya bilang tadi, yaitu Krebet. Ternyata setelah saya sampai di sana dapat informasi bahwa bukanlah di Krebet sentra pengrajin wayang kulit, melainkan daerah lainnya yang bernama Desa Bangunwijo. Tak mau berlama-lama sayapun dengan informasi yang sudah valid langsung tancap gas lagi ke Desa Bangunwijo dengan sedikit informasi navigasi dari masyarakat yang saya tanya-tanya. Akhirnya saya sampai di sana.
Miris. Wayang yang beberapa puluh tahun lalu sangat banyak pengrajinnya dan diminati banyak orang, sekarang di desa itu pengrajin yang bertahan hanya beberapa rumah saja. “Karena wayang ini hanya ramai industrinya jaman Pak Harto (Presiden Soeharto),” itu kata salah seorang pengrajin wayang kulit, Pak Dadi namanya, orang pertama yang berhasil saya temui di sana. Sekarang kata dia mereka para pengrajin-pengrajin wayang kulit hanya akan membuat wayang jika ada pesanan saja, sangat jauh berbeda dengan dahulu kala yang menjadi lumbung nasi mereka. Dijelaskan Pak Dadi, belajar mengukir kulit kerbau bukanlan hal yang mudah dan singkat. Setidaknya kata dia dari pengalaman yang ia dapat dan akan ia tularkan ke anak-cucu kelak, mengerjakan bentuk pola kulit kerbau sudah ia lakoni selama 20 tahun dan butuh 3 tahun belajar untuk mengerti membentuk pola.

Pak Tarjiwo, sudah 20 tahun melukis wayang

Pak Tarjiwo, sudah 20 tahun melukis wayang

Pak Dadi, sudah 20 tahun membuat pola wayang

Pak Dadi, sudah 20 tahun membuat pola wayang

Begitu juga dengan proses mengecat wayang sekaligus melukisnya. Kali ini yang bertugas mengecat dan melukis wayang adalah Pak Tarjiwo. Sama halnya dengan Pak Dadi, butuh ilmu dan pengalaman yang panjang untuk bisa melukis dan mengecat wayang. “Lama, waktu yang saya butuhkan untuk belajar mengecat dan melukis wayang kulit ini butuh 3 tahun, itu baru bisa, dan saya juga sudah 20 tahun menjadi pengrajin wayang kulit,” sebut Pak Tarjiwo.
Kedua orang ini, sama halnya dengan pertunjukan wayang, banyak menyimpan realita hidup bahwa kita membutuhkan orang lain untuk bisa menyempurnakan diri kita. Kata Pak Dadi, dia sangat ahli dan fasih membentuk wayang, bahkan dengan mata terpejam pun dia bisa membentuk wayang dari kulit kerbau. Tapi, kala ia harus mengecat dan melukis wayang buatannya, ia menyerah dan itu adalah keahlian Tarjiwo, keahlian yang tak ia miliki. Begitu juga sebaliknya dengan Pak Tarjiwo, ia sangat pandai melukis dan mengecat wayang tapi ia tidak pernah bisa membuat wayang kulit sebaik Pak Dadi. Keduanya saling mengisi.

Saya melihat keduanya merasa ini adalah proses hidup dan perasaan saling mengerti dengan potensi sekeliling. Di dalamnya juga ada sebuah konsistensi yang tetap terjaga hingga puluhan tahun walaupun jaman telah menggerus perlahan kesenian wayang. Mereka membentuk selembar kulit kerbau dan menjadikannya sebuah purnarupa wayang, adalah sebuah proses yang tanpa mereka sadari adalah salah satu torehan sejarah, yang kelak, entah beberapa belas tahun atau beberapa puluh tahun lagi, mungkin susah mencari orang seperti Pak Dadi dan Pak Tarjiwo yang bisa membuat wayang tetap ‘hidup’ di Indonesia. Karya mereka sudah ke Eropa, terpampang gagah di dinding hotel berbintang dan kolektor-kolektor. Karya mereka tanpa mereka sadari adalah mahakarya yang dinikmati banyak orang. “Saya sadar, kita harus menghargai setiap proses dalam setiap pekerjaan dan kosisten sehingga karya kita suatu saat bisa dinikmati banyak orang,” itu pesan lirih saya dalam hati setelah berpamitan dengan kedua manusia super yang tersisa itu. (*)

Pak Dadi sedang melihat kondisi wayang yang hampir selesai

Pak Dadi sedang melihat kondisi wayang yang hampir selesai

Pelukis wayang kulit

Pelukis wayang kulit

Air terjun menenangkan pikiran

Air terjun menenangkan pikiran