Cinta pada pandangan pertama dalam cerita romansa mungkin ada benarnya, entah kalau kisah percintaan, tapi kalau dalam kehidupan saya mengalami sendiri setelah apa yang saya rasa dan alami di sebuah kota bernama Mojokerto.
Jujur saja, Mojokerto ini bagaikan magnet tersendiri untuk saya pribadi, rasanya susah sekali untuk kaki saya melangkah pergi dari sini. Kata Kahlil Gibran, jangan kau kira cinta datang dari keakraban yang lama dan pendekatan yang tekun. Cinta adalah kesesuaian jiwa dan jika itu tak pernah ada, cinta tak akan pernah tercipta dalam hitungan tahun bahkan abad.
Bukan karena nyamannya kehidupan di sini atau karena kebosanan saya untuk menjelajah lagi Indonesia, tapi karena kultur orang-orang di Mojokerto yang baik hati, nyaris semua orang yang sama jumpai menghargai eksistensi diri saya, bahkan jika saya mengharuskan diri menerima semua dorongan undangan mereka untuk menginap semalam saja, mungkin tak habis waktu saya di sini, namun, inilah kehidupan, karena pertemuan akan mendatangkan perpisahan.
Malam menjelang detik-detik kepergian saya dari Mojokerto, Mas Nanang dan kawan-kawan datang ke Warung Rakyat, malam itu ingin kami habiskan untuk saling bicara dan berbagi pengalaman, karena, berbicara dengan kawan-kawan di Warung Rakyat artinya berbicara dengan sekumpulan orang-orang ‘gila’. Tak terasa malam itu sampai dinihari kami berbincang, terlalu asik memang pembahasan kami sampai kami tak menyadari sebenarnya jam berapakah saat itu. Sebelum Mas Nanang dan kawan-kawan beranjak pulang, Mbak Yuda meminta saya untuk menginap saja di tempatnya, jujur saya bingung, what’s a human people? Saya baru kenal malam itu dan mereka sangat open, saya masih dilanda kebingungan untuk menjawab apa, karena saya menyadari kami baru berkenalan.
Memang, sebetulnya apa yang disampaikan Mbak Yuda bukanlah hal baru bagi saya, hampir 8 bulan saya mengembara kalimat ajakan untuk menginap memang tak jarang saya jumpai. Nah, karena sayapun ingin menghargai setiap sendi di Mojokerto ini, saya mengiyakan ajakan Mbak Yuda. Maka malam itu saya bersama Mas Nanang dan kawan lainnya menginap di rumah Mbak Yuda dan subuh itu saya tidur di tempat yang baru. “Maklum pengembara mah bebas aja tidur di mana,” kata saya dalam hati.
Kini, kebiasaan saya yang baru adalah bangun pagi, jam 7 saya sudah bangun dan langsung keluar kamar, ingin melihat bagaimana pemandangan di luar. Bayangkan mata anda baru terbuka dan melihat pemandangan luar biasa, hijaunya hamparan sawah dan birunya langit pagi itu memanjakan mata. Sementara di sudut sana, kawan-kawan belum ada yang bangun, jadilah saat itu dalam kesendirian saya menikmati alam. Sekitar pukul 09.00 WIB barulah kawan-kawan itu membuka mata, yang punya rumah langsung menawarkan kami minuman hangat dan pisang matang. “Sudah, mbak, sini biar saya yang gorengin pisangnya, mau kan merasakan gorengan pengembara ini,” tanya saya ke Mbak Yuda. Ada obrolan untuk pergi membolang hari ini, jadi setelah makan siang berkumpullah semua teman-teman dan memutuskan perjalanan ke Jabung, daerah di mana ada perbukitan dan terdapat kampung yang kehidupan masyarakatnya masih sangat sederhana.
Perjalanan ke sana ternyata tidaklah mudah, medannya rusak plus menanjak membuat perjalanan ini semakin indah bagi saya, hijaunya pepohonan tanaman jagung membuat tempat ini sungguh istimewa. Sekitar sejam perjalanan sampailah kami di lokasi kampung itu. Motor sudah tidak bisa masuk dan kami berjalan kaki menuju ke bukit. Perjalanan seperti yang saya bilang tadi, tidaklah mudah, bahkan beberapa kali kami terpeleset karena licin, dan jelas, hal itu membuat kami masing-masing tertawa satu sama lain. “Keceriaan selalu ada dalam perjalanan kita,” itu kata saya dalam hati.
Sampailah kami di sebuah penyeberangan sungai menuju bukit, tapi tak bisa kami seberangi karena air sungai meluap maka kami mau tidak mau memutuskan untuk kembali, walaupun raut kecewa nampak jelas di diri kami masing-masing, namun ada rinai hujan yang membasahi kami seakan melunturkan kekecewaan yang mendalam gara-gara gagal ke lokasi. Keceriaan tergambar dari perjalanan itu, bagaimana Mas Nanang dan Mbak Yuda saling ‘perang’ air hujan, membuat suasana benar-benar cerita, yah, ceritanya kami kembali ke masa-masa kecil di mana air hujan menjadi atap kami.
Perjalanan kami dilanjutkan mencari warung kopi hingga kami menemukan satu warung yang sangat sederhana di samping jembatan. Warung itu menawarkan makanan kampung seperti sayur lodeh rebung bambu dan ikan bandeng goreng, ah, dingin-dingin makan makanan seperti itu bisa kita bayangkan nikmatnya.
Tibalah saya kembali ke Warung Rakyat untuk bersiap-siap melanjutkan perjalanan saya berikutnya. Malam itu usai mandi saya dipanggil Ibu Mas Lean untuk datang ke rumahnya. Saya disugukan kopi sebagai pelancar obrolan. Satu momen, Ibu Mas Lean memberikan saya cincin yang ia letakkan ada beberapa. “Kamu pilih yang mana,” itu kata Ibu Mas Lean. Jujur saya sangat jarang memakai aksesoris seperti cincin kecuali gelang sederhana. Tapi ini, pemberian ini, saya rasa sangat sakral.
Kata Markus Zusak, Sometimes people are beautiful. Not in looks. Not in what they say. Just in what they are. Saya memutuskan memakai cincin pemberian dengan tulisan Jawa, jadilah hari ini sangat luar biasa bagi saya pribadi, ini semakin membuat saya merasa Mojokerto adalah magnet baru bagi saya, di sini, suatu saat kelak, saya akan datang lagi dengan keceriaan-keceriaan yang lain. Negeri Majapahit ini berat untuk saya tinggalkan, akan tetapi pengembara harus tetap berjalan untuk menuntaskan mimpi.
There are only two ways to live your life. One is as though nothing is a miracle. The other is as though everything is a miracle. (Albert Einstein). (*)
Recent Comments