Kejutan! Pagi ini saya bangun jam 3 subuh. Saya sangat bersemangat pagi ini. Karena hari ini saya akan menjajal Puncak Prau bersama dengan teman satu malam saya, Mas Rohmat. Karena malam sebelumnya kami sudah sepakat untuk pagi sekali mencoba naik ke Puncak Prau. Saya sibuk dengan peralatan dan perlengkapan yang mungkin saya butuhkan selama perjalanan. Kemas ini, kemas itu, packing ini, packing itu semua padat saya jejal ke tas ransel super besar.

Tak lama Mas Rohmat datang dengan santai sambil membawa peralatan seadanya. Wuih!.
Dia cuma bawa ransel kecil, jaket, celana panjang dan senter kepala. Saya pandang lagi tas ransel saya. Ah, biarlah, siapa tahu ada peralatan yang tiba-tiba penting, kata saya dalam hati. Serentak dengan saya bangun, Pak Hazim juga ternyata sudah bangun. Bahkan ternyata dia sudah menyiapkan bekal untuk saya. Ada 4 bungkus mie instan yang dia sodorkan lalu sebuah jas hujan juga dia selipkan di tas saya, dan tak lupa kompor dan peralatan memasak juga Pak Hazim senderkan ke tas saya. Betapa baiknya orang ini. Sudah diizinkan menginap saja saya sudah sangat merasa istimewa. Tapi ini malah diberikan bekal bukan hanya untuk makan tapi juga bekal keselamatan. Terimakasih, Pak Hazim!.

Setelah semua hal dipastikan siap, setelah dicek ulang oleh saya dan Mas Rohmat akhirnya kami beranjak keluar dari rumah Pak Hazim dengan kondisi sedikit gerimis. Tapi baik saya maupun Mas Rohmat karena sudah terbiasa hidup di alam, hujan gerimis itu kami cuekin aja, kaki kami terus melangkah menapak meter per meter jalan menuju Puncak Prau. Tiba di pos 1, ada angin kencang menghadang perjalanan kami berdua, ditambah bonus hujan yang mulai lebat. Kalau sudah lebat begini alangkah bijaknya untuk kami menepi sesaat mencari tempat berteduh. Di pos 1 itulah kami memilih menunggu cuaca agar lebih bersahabat. Sambil menunggu saya dan Mas Rohmat memanaskan air untuk kopi dan mie. Karena selain dinginnya bisa menembus tulang, rasa lapar pun mulai menyerbu. 30 menit kami ngopi dan makan mie cuaca mulai bersahabat. Hujan yang tersisa cuma rintik, lalu kami melanjutkan perjalanan selama kurang lebih sejam dari lokasi kami berteduh tadi.

Akhirnya saya dan Mas Rohmat tiba di puncak, saat itu matahari yang menyinari Puncak Prau masih malu-malu untuk menyapa kami. Tak mau melewati momen matahari yang malu-malu dan membuat refleksi cahaya yang indah, saya dan Mas Rohmat menyempatkan diri selfie sambil melihat sekeliling jangan sampai kami menginjak bunga. Belum puas merasakan keindahan Puncak Prau sekitar 10 menit kemudian tiba-tiba sekeliling kami dikepung kabut yang dibarengi dengan hujan. Kepanikan saya dan Mas Rohmat dengan hujan yang datang tanpa permisi itu sedikit mereda setelah kami melihat tidak jauh ada tenda yang berdiri. Ternyata, tenda itu milik rombongan beberapa orang dari Tenggarong ditemani orang travel agent dari Jogja, sekitar 6 orang, lah, ada perempuan yang turut membawa anaknya.
Tenda itu tenda mini menggunakan plesit, jadi setelah kami berdua meminta izin akhirnya kami bisa berteduh di bawah plesit tadi. Hujan yang makin awet membuat kami yang ada di tenda itu hanyut dalam obrolan panjang. Tak terasa oleh kami hujan lebat selama 2 jam itu juga selain menghanyutkan kami dalam obrolan ringan, juga ternyata menghanyutkan ransum kami!. Baiklah… Kami sekarang tanpa ransum sampai hujan berhenti dan beres-beres tenda. Tentu bukan saya saja yang punya pengalaman bahwa setelah hujan datang maka di satu titik akan ada sebuah pemandangan yang indah, kita sebut saja contohnya pelangi. Nah, setelah hujan deras itu saya iseng naik sedikit dari posisi kami berteduh. Di situ saya bisa melihat sebuah pemandangan yang sangat indah, walaupun bukan sunrise, tapi pecahan cahaya itu benar-benar indah. Betapa beruntungnya saya bisa menikmati langsung pemandangan seperti ini.

Saya dan pak Rohmat berfoto sebelum hujan turun.

Saya dan pak Rohmat berfoto sebelum hujan turun.

Feeling fotografer saya yang saat melihat keindahaan itu langsung mengambil kamera ternyata benar. Karena tidak lebih dari semenit saya mengabadikan pemandangan tadi, cuaca kembali hujan disertai kabut. Saya dan Mas Rohmat akhirnya memiiih untuk mengemasi barang kami dan turun bersama rombongan dari Kalimantan tadi. Sepanjang perjalanan turun, saya sering memperhatikan anak kecil yang ikut rombongan ibunya. Rajib nama anak itu. Saya mengawal Rajib sampai ke pos 1. Rajib senang saat dia saya gendong setiap kami melewati daerah medan yang curam. Sesekali saya biarkan dia lari-lari kecil kala medan yang kami tempuh tak berbahaya, tapi tangan Rajib tetap saya pegang erat. Sampainya kami di pos 1 kebetulan ada warung yang buka, lalu di sana kami melanjutkan obrolan-obrolan santai, karena mereka ternyata penasaran dengan kisah saya yang 8 bulan dihabiskan untuk mengembara. Tak lama kamipun berpisah. Mereka kembali ke Jogja sementara saya dan Mas Rohmat pulang ke rumah Pak Hazim. Sekitar pukul 01.00 WIB, setelah kami bertiga terlibat obrolan panjang saya memutuskan untuk pulang. Saya tak henti-hentinya mengucapkan terimakasih kepada 2 orang ini, yang entah bagaimana caranya tapi menjadi penyelamat saya selama di sini. Pelajaran yang saya ambil dari keduanya, adalah hidup bukan melulu soal uang.

Setelah saya mengucapkan salam perpisahan saya pergi dan menyempatkan diri singgah sejenak di Telaga Warna Dieng yang kebetulan tidak terlalu jauh dari rumah Pak Hazim. Puas dengan telaga itu saya melanjutkan perjalanan menunggu bis Dieng-Wonosobo. Berhubung saya tidak tahu berapa harganya, saya tembak saja Rp 15 ribu, karena sebelumnya saya juga nembak Rp 20 ribu. Sesampai di Wonosobo saya langsung menyambung bis ke Magelang.
Tapi belum juga saya sampai Magelang di tengah jalan saya diturunkan karena sopirnya minta saya ganti bis, lalu karena setengah jalan maka saya juga bayarnya Rp 10 ribu. Tukar bis bayar lagi Rp 10 ribu sampai Secang, eh yaa masih nyambung lagi menuju Magelang pakai angkot yang bayar lagi Rp 10 ribu sampai ke terminal Magelang.
Kalau seharusnya, seharusnya ini ya, Wonosobo-Magelang itu Rp 25 ribu tapi hari itu saya kena Rp 30 ribu dengan “bonus” tukar-menukar bis yang alasannya sampai sekarang saya kurang paham, katanya sih karena kelewat malam, jadi harus gonta-ganti bis. Sudahlah…
Jadi kalau saya boleh kasih tips, kalau kawan-kawan mau pulang dari Dieng mendingan pilih waktunya pagi aja. Soalnya kalau sore apalagi malam maka kendaraan sulit dicari, dan hasilnya seperti saya, oper sana oper sini. Lanjut dari Terminal Magelang masih ada bus tujuan Jogja, itu kalau tidak salah terakhirnya sekitar pukul 19.00 WIB. Saya simpulkan nginap dulu semalam lagi di rumah Papi di muntilan karena masih ada barang yang masih tertinggal di sana dan paginya baru OTW ke Jogja.

Saya berfoto bersama Rajib salah satu anak kelas 2 SD & Foto bersama Rajib beserta rombongannya dari Tenggarong untuk datang menikmati keindahan Prau Dieng.

Saya berfoto bersama Rajib salah satu anak kelas 2 SD & Foto bersama Rajib beserta rombongannya dari Tenggarong untuk datang menikmati keindahan Prau Dieng.

Pemandangan Telaga Warna Dieng

Pemandangan Telaga Warna Dieng

17 Februari

Bangun pagi ini saya di muntilan di rumah Papi, beres-beres barang dan seperti biasa sudah tersedia kopi dan makanan ringan buatan istri Papi. Istrinya Papi super sekali lah, cocok banget emang jadi ibu rumah tangga. Agak siangnya Papi masih dengan kesetiaannya mengantar saya ke jalan raya untuk menunggu bis tujuan Jogja. Bis datang, saya pamit sama Papi, bayar Rp 8 ribu ongkos mobil dan jalanlah bis itu ke Jogja, karena saya masih akan ke kos Arie, karena Jumat depan saya memutuskan jalan ke Mojokerto. Setiba di Jogja tepatnya depan UMY Arie jemput saya dan kami sama-sama pulang ke kost lalu beristirahat. Saya butuh istirahat dengan apa yang telah saya lewati selama di Dieng, karena saya butuh fisik lagi untuk melanjutkan perjalanan ini ke Mojokerto.

Di antara selipnya mata saya yang hendak terpejam, saya teringat bahwa ada wanita terhebat di dunia sedang berulang tahun hari ini. Saya mengambil handphone dan mencari kontak wanita hebat itu. Lalu setelah terdengar kalimat halo dari seberang sana, saya langsung mengucapkan. “Mak, selamat ulang tahun ya, Mak. Tanpa restu Mamak gak mungkin perjalanan ini bisa ku jalanin, makasih, Mamak. Selamat ulang tahun,” ucap saya di telpon dan mendengar kalimat sejuk Mamak saya. (*)

Berfoto bersama Mamak saya di kediaman kami. Mamak hari ini ulang tahun.

Berfoto bersama Mamak saya di kediaman kami. Mamak hari ini ulang tahun.

Puncak Prau dengan kondisi cerah sebelum kabut dan hujan datang kembali.

Puncak Prau dengan kondisi cerah sebelum kabut dan hujan datang kembali.