Hari itu, tanggal 14 Mei 2015. Itu adalah hari terakhir saya menjadi seorang volunteer di Doctor Share yang dimulai tanggal 7 Mei 2015. Di kegiatan Doctor Share itu sendiri saya bertugas menulis berita dan memotret kegiatan sosial selama di Fak-Fak Papua. Nah, tanggal 14 Mei itu saya bebas. Semua tugas yang dibebankan kepada saya telah saya tunaikan. Yang artinya saya punya kesempatan yang saya tunggu selama ini, yaitu melanjutkan perjalanan saya dan mewujudkan impian yang belum terwujud: Menuju Raja Ampat!.
Hari itu juga, di hari di mana saya bebas tugas saya langsung mengangkat seluruh barang bawaan saya yang saya masukkan ke ransel 100 liter, lalu mulai menempuh perjalanan awal ke Bandara Fak-Fak, saya bersama dengan dokter Johan, kami sama-sama terkait di kegiatan Doctor Share tersebut.
Ngomong-ngomong setelah saya checkin di bandara saya terpaksa harus bayar tambahan sekitar Rp 220 ribu karena ransel yang saya bawa kelebihan beban, yah, gak apa-apalah emang ranselnya berat, kok.
Pesawat yang kami tumpangi berangkat sekitar pukul 07.15 WIT dan tiba di Bandara Sorong sekitar pukul 08.30 WIB, yang kebetulan saya dengan dokter Johan harus berpisah yang akan melanjutkan perjalanannya kembali ke Jakarta, sementara saya baru akan memulai petualangan.
Setelah menginjakkan kaki keluar dari bandara saya langsung berusaha mencari transportasi yang bisa membawa saya ke tempat tujuan yaitu pelabuhan. Saya harus putar otak karena maklum saja, transportasi di sana masih lumayan mahal-mahal, karena tawaran mobil mengantarkan ke pelabuhan penyeberangan menuju Waisai kita harus rogoh kocek Rp 100 ribu. “Ini tanah Papua, Bung! Bukan Jawa,” kira-kira itulah yang saya ucapkan dalam hati.
Setelah bertanya-tanya di seberang jalan akhirnya saya diarahkan dengan naik angkot kuning jurusan A menuju pelabuhan rakyat dengan membayar Rp 5 ribu. Saya masih harus berjalan kira-kira 300 meter sambil memikul tas yang beratnya, yah, sudahlah tidak perlu saya gambarkan dari jalan raya menuju ke pelabuhan penyeberangan.
Sampai di pelabuhan kalau tidak salah itu sekitar pukul 09.30 WIB, ternyata masih terlalu pagi karena jadwal speed berangkat itu pukul 14.00 WIT, lumayan lama. Daripada bengong sendirian di situ, saya coba-coba untuk menyapa orang yang mungkin saya rasa bisa diajak ngobrol sambil menghilangkan suntuk, akhirnya saya kenalan dengan Diana, dia bersama kakak dan adiknya mau ke Waisai, katanya mau melihat Wayag–Tempat di mana banyak pulau-pulau kecil tak bertuan.
Diana dan kedua saudaranya itu juga berasal dari Papua, tepatnya mereka dari Manokwari dan pertama kali juga menuju Raja Ampat. Kebetulan kata saya dalam hati, langsung saya minta nomor kontak mereka, karena saya pikir bisalah mereka untuk saya jadikan tim kecil, kan, sama-sama tujuannya ke Raja Ampat.
Tidak lama kami ngobrol saya juga sempat berkenalan dengan 2 pria Batak yang juga kali pertama mau ke Raja Ampat, mereka belum tahu mau menginap di mana. Namanya Jerico Purba dan temannya, saya lupa hehehe. Berhubung saya lagi-lagi mendapat teman seperjalanan yang juga sama-sama belum tahu mau menginap di mana, saya tampung juga nomor kontak mereka.
Ada cerita lucu di mana saya nyaris ketakukan melihat sesosok orang yang bagi saya sangat galak. Namanya Pak Max, dia ini orang asli Waisai, ditambah lagi dengan suaranya yang serak-serak jadi setiap dia berbicara bikin saya agak takut juga. Tapi akhirnya terbiasa dengan sosok Pak Max kami ngobrol panjang lebar mengenai Waisai.
Sekitar pukul 14.00 WIT kapal yang kami tumpangi berangkat menuju Pelabuhan Waisai Raja Ampat dengan membayar Rp 130 ribu. Di kapal itu saya bertemu lagi dengan 3 orang yang belum pernah ke sana, kebetulan mereka bertiga juga kerja di Sorong dan memutuskan untuk melihat Wayag.
Akhirnya kita membentuk tim yang berjumlah 6 orang untuk mencari hotel murah di Raja Ampat. Sampai di Pelabuhan Raja Ampat seperti orang-orang lain, biar dianggap ‘kekinian’ kami sempat berfoto-foto di tugu Selamat Datang di Raja Ampat. Kami rombongan dadakan itu langsung cari mobil, dan dapatlah kami mobil sewaan untuk mencari hotel dengan membayar Rp 100 ribu. Lalu kami diantar si sopir menuju Hotel Imelda, dengan sewa kamar bayar Rp 300 ribu dengan maksimal 4 orang.
Ehem, berhubung kasur ada 2 saya memilih lebih baik pakai matras dan sleeping bag punya sendiri saya, yah, hitungannya biar biar saya bisa bayar lebih murah sesuai kesepakatan, saya hanya membayar Rp 50 ribu untuk satu kamar dengan 2 pria Batak tadi, dan tambah saya jadilah kami trio Batak dalam satu kamar, hahaha.
Lalu kami berenam, tim dadakan tadi, makan malam, lalu kami diskusi, lebih tepatnya kami sedang melancarkan lobi-lobi untuk mencari sewa speed dengan harga murah meriah yang bisa dibagi berenam. Maka, dapatlah harga yang sudah murah, dan benar-benar murah, yaitu Rp 6 juta! dengan keliling 4 pulau.
“Kalau Rp 6 juta bagi berenam, ya lumayanlah,” kata saya dalam hati. Hasil diskusi kami tadi kami sampaikan ke 3 bersaudara Diana dan mereka setuju juga dengan angka Rp 6 juta tadi. Jadi hitungannya Rp 6 juta kami bagi delapan plus satu adik kecil yang rambutnya saya suka.
Oh, God! Akhirnya saya cukup beli makan dan minum selama perjalanan menuju salah satu tanah surga di Papua. Banyak jalan menuju Roma, banyak cara jika ada niat. Tidur nyenyak di hari pertama saya menjelajah. Thanks God for everything!
Pagi-pagi sekali, kami tim dadakan berisi 9 orang–plus adik Diana yang kecil dan berambut krebo, yang kriwil-kriwil lucu, semuanya satu tujuan! Raja Ampat. (*)
Recent Comments