Kawan-kawan yang sering berpergian ke Bali, mungkin selama ini hanya terfokus ke daerah-daerah wisata yang ngetop seperti pantai, baik di Kuta, Sanur dan mungkin lebih ke alam pergi ke daerah Kintamani.
Itu tidak salah. Semuanya bagus. Karena Bali memang menawarkan hal-hal yang luar biasa yang membuat kita akan kagum dengan keagungan Tuhan menciptakan wilayah yang sebegitu indahnya di Bali. Tapi, jika sudah ke sana, sebaiknya kita benar-benar mengeksploitasi Bali sampai ke wilayah-wilayah yang terekam dengan budaya dan alamnya.
Seperti contoh, saya saat masih di Bali ini berusaha ingin mencari wilayah-wilayah yang mempunyai rekam jejak budaya yang tak bisa kita temukan di wilayah lain di Indonesia. Saya kenal dengan seorang pria dari sosial media facebook, dia adalah Pak Gus. Kami sudah saling kontak selama saya berada di Bali, dan hari ini, kami berjanji akan pergi ke sebuah desa yang ia janjikan masih asri dan nyaris orang-orang yang tinggal di sana memegang teguh adat-istiadat.
Hari Jumat saya ke rumah Pak Agus, sedikit cerita saja, Pak Agus ini punya sejarah hidup yang lumayan hebat, dia ini salah satu orang terpandang di wilayahnya, wajar saja jika dia banyak kenalan di Bali. Makanya, saat saya menceritakan kisah hidup perjalanan saya, dia merekam keinginan saya untuk benar-benar mengeksploitasi Bali dengan segala keragamannya.
Makanya, dia menyarankan saya untuk pergi bersama-sama ke daerah yang namanya Pegringsingan. Di sana dia menjanjikan saya akan terpuaskan dengan kehidupan yang jauh dari celah kontaminasi dunia luar. Sekitar pukul 09.00 WIT saya dan Pak Gus mulai beranjak, kami pergi menggunakan mobil milik Pak Gus untuk menuju Tenganan, di tengah jalan Pak Gus mengajak serta satu temannya.
Perjalanan ke daerah yang kami tuju lumayan panjang, setidaknya duajam kami menempuh perjalanan menuju desa ini. Dari awal masuk saja saya sudah dibuat terkaaget-kaget, bagaimana kami tidak diperbolehkan menggunakan mobil masuk ke desa itu, kami terpaksa memarkirkan mobil Pak Gus di seberang sebelum kampung itu. Kita jika ke sana terpaksa harus berjalan kaki. Kampungnya sendiri tidak terlalu besar, paling hanya diisi sekitar 23 kepala keluarga saja, Tapi tanah mereka sangatlah luas, ada ratusan hektar dibagi untuk 23 KK itu. Dan tanah mereka diusahakan orang lain dengan sistem bagi hasil.
Pemandangan masuk desa ini kita akan disuguhkan banyaknya kerajinan tangan mereka berupa kain yang terkenal itu, yang sering kita lihat dipakai orang-orang Bali saat menggelar acara keadatan. Dan untuk informasi saja, kain yang mereka buat ini mereka pertahankan dengan menggunakan bahan yang masih alami dan cara yang juga masih tradisional, di sinilah letak istimewanya kain dari hasil tangan mereka. Kita juga akan melihat banyak lukisan di kayu bambu sepanjang perjalanan di kampung ini.
Setelah berkeliling, akhirnya kami tiba di di suatu tempat di mana warga kampung berkumpul. Ternyata oh, ternyata, mereka sedang mempersiapkan jamuan makan khusus untuk kami!. Pemudanya bahu-membahu untuk memasak menyambut kedatangan tamu. Saat duduk di bale-bale ternyata orang-orang hebat berkumpul semua di sana. Pak Ketut salah satu ketua adat di kampung ini menceritakan bahwa beberapa hari lalu ada acara di kampung mereka, saya bilang mungkin tidak jodoh untuk moment itu.
Dalam lingkungan orang hebat ini saya dikenalkan dengan Mas Indra dia salah seorang pengembara juga. Sambil tersenyum dia cuma bilang bahwa dia seorang pengembara tapi tidak ada jejaknya. Dia percaya bahwa jika kita berbuat baik maka akan ada jalan dipertemukan dengan orang baik. Dalam perjalanan spiritualnya Mas Indra hanya berpesan suatu saat, saya akan menemukan persimpangan dan memilih antara ego dan bijaksana. Hangat suasana terus berlanjut dengan adanya makanan yang disajikan sangat khas nasi lawar sate lilit Tenganan Pegringsiangan. Suasana semakin menarik ketika tuak khas Tenganan dikeluarkan. rasanya tidak pahit akan tetapi ketika bergelas-gelas masuk ke dalam tubuh terasa bahwa minuman ini tidak baik jika dikonsumsi terlalu banyak.
Obrolan-obrolan pun semakin menarik. Ketika Pak Gus mengatakan beginilah cara orang Tenganan menyambut tamu jadi saya adalah orang paling beruntung mengenal Pak Gus, sehingga masih merasakan suasana Bali yang sebenarnya. Tenganan masih memegang banyak tradisi mereka walaupun gempuran modernisasi datang, mereka masih melakukan ritual leluhur mereka termasuk menyambut tamu dengan baik. Dari beberapa literatur yang saya dapatkan di internet, Desa Tenganan merupakan salah satu desa yang berpenghuni orang Bali Mula atau Bali Aga (Bali Asli) alias Bali yang bukan berasal dari keturunan Kerajaan Majapahit. Saat Majapahit menduduki Bali, penduduk asli Bali lari ke beberapa wilayah di Bali, di antaranya ke Desa Tenganan, Bali Timur.
Menurut cerita masyarakat setempat, Tenganan berasal dari kata ngatengahang (bergerak ke tengah). Ini berkaitan dengan cerita berpindahnya warga Tenganan dari pesisir Pantai Ujung mencari tempat lebih ke tengah. Tenganan adalah cerita tentang masyarakat yang terus berjuang mempertahankan identitas yang mereka banggakan sebagai orang Bali asli. Karena gringsing begitu penting dalam kehidupan masyarakat Tenganan, kain ini seperti cermin perjalanan kehidupan masyarakat setempat. Sampai sekarang masih ada yang mengira warna merah gringsing berasal dari darah. Mungkin kain gringsing merah yang digunakan paragadis dalam perang pandan menjadi penanda betapa beratnya pertarungan sang satria.
Berbagai upacara masuk ke dalam kalender budaya Tenganan. Sebutlah misalnya Usaba Kasa, Usaba Karo, Usaba Ketiga, Usaba Kapat, Usaba Sambah,dan seterusnya merupakan upacara tradisi yang hadir dalam wilayah ritual dan kesadaran akan industri pariwisata. Lantas di tengah-tengah penyambutan dan obrolan itu saya berpikir sejenak, bahwa kebaikan dan alamlah yang bisa mempertemukan saya dengan orang-orang hebat ini. Memang, Bali memang pantas dijadikan tempat untuk menemukan ruh keadatan dan rasionalisasi dalam mencari jati diri spiritual.
Saya mengutip tulisan dari seorang penyair dan filsuf Amerika Serikat, Ralph Waldo Emerson 1803-1882 “Kemuliaan persahabatan bukanlah uluran tangan, bukan senyuman ramah, maupun sukacita persahabatan, itu adalah inspirasi spiritual yang datang ketika kamu menemukan orang lain yang percaya padamu dan bersedia untuk mempercayaimu dalam persahabatan”. (*)
Recent Comments