12 Oktober
Hari itu, 12 Oktober pagi sekali sekitar pukul 04.10 WIB saya sudah merencanakan perjalan berikutnya. Ya. Kali ini saya akan melanjutkan pengembaraan ini menuju Aceh, Tanah Rencong, di mana, mungkin inilah perjalanan terakhir saya untuk saat ini sebelum saya kembali lagi ke tanah kelahiran.
Hari itu, masih pagi sekali perjalanan saya ke Aceh dimulai dengan naik sebuah bis angkutan umum dari Tangkahan. Kalau tidak salah biaya untuk perjalanan dari sana menuju Aceh harus saya bayar Rp 20 ribu per orang. Tapi, entah karena memang lagi aji mumpung atau bagaimana, mentang-mentang ada bule yang barengan dengan saya, sang sopir malah mematok harga Rp 50 ribu per orang.
Bule itu bukannya tidak mampu untuk membayar, tapi dari cerita yang ia sampaikan saat itu dia baru saja kena musibah di mana dompetnya hilang. Mendengar itu saya merasa iba, karena biar bagaimanapun saya telah banyak mendapat kebaikan-kebaikan dari orang-orang yang tak terduga selama perjalanan, nah, kali ini, saya benar-benar ingin memanfaatkan momentum seperti ini untuk setidaknya ëmembayarí kebaikan-kebaikan manusia yang telah saya temui dalam runtutan perjalanan saya selama ini.
Padahal saat itu duit di kantong tinggal tersisa Rp 100 ribu untuk persiapan saya di Aceh, dan kalau bisa, dengan duit sisa segitu-gitunya sukur-sukur bisa sampai ke Medan. Saya meminta kebijaksanaan dari si sopir setidaknya agar saya dan bule tadi boleh menumpang bis itu dengan bayar Rp 50 ribu berdua. Karena mau bagaimana lagi, uang sisa Rp 50 ribu itu bakal jadi senjata terakhir saya untuk bertahan hingga sampai rumah teman si bule tadi, karena sebelum naik bis itu saya dan si bule berbincang-bincang, dan dia menawarkan ëkerjasamaí jika sampai ke Medan dengan apa adanya di kantong.
Beruntunglah, si sopir memberikan kebijaksanaan kepada kami berdua, tentu dengan sedikit memberikan kalimat-kalimat agar si sopir percaya dengan keadaan kami, yang memang gak bohong-bohong, memang begitulah keadaan saya dan si bule kala itu.
Singkat cerita, kami tiba di pasar 10 persimpangan Aceh menuju Medan. Dari situ saya berusaha mencari informasi yang detail mengenai biaya perjalanan ke Aceh. Betapa bingungnya saya karena saat itu dari segala informasi transportasi ke Aceh ongkos ke sana mulai dari Rp 170 ribu sampai RP 200 ribu!. Sebelumnya saya dapat bantuan dari kawan satu kost saya dijakarta crist boncel panggilanya awalnya minta titip kopi saya bilang nga ada duit pada akhirnya dia tanya rekening saya. saya cek ternyata ada uang di ATM didekat situ walaupun uangnya memang pas sekali untuk ongkos bus ke aceh. Pesanya kemaren “jangan dipake beli beer” .Saat itu saya sudah mulai frustasi dengan kenyataan yang saya dapat. Berjalanlah saya perlahan menjauhi terminal sekedar mencari nasi untuk dimakan, dan kalau bisa dapat informasi lain siapa tahu ada transportasi ala kadar ke Aceh. Yang penting sampai saya pikir.
Siang itu, setelah sedikit menjauh dari terminal saya duduk santai di sebuah warung kopi, sekaligus di situ juga menawarkan makanan sederhana namun enak, saya ingat betul, ikan teri lauk nasi yang dihidangkan di warung kopi itu enak! Sangat enak!.
Nah, saat saya menikmati kopi mata saya tertuju pemandangan di depan, ada razia dari Dinas Perhubungan pemda setempat. Karena ada razia saya menyimpulkan itulah kenapa sedikit sekali saya melihat truk-truk yang mengarah ke Aceh. Ada satu truk yang berhenti saat razia dan saya memberanikan diri bertanya, kira-kira apakah sang sopir bisa memberikan saya izin untuk numpang sampai ke Aceh, di belakang pun saya tak masalah yang penting tubuh ini bisa sampai ke sana.
Namun, sang sopir nampaknya enggan dan kurang percaya dengan saya, dia meminta maaf tidak bisa memberikan saya tumpangan dengan alasan truknya penuh dengan barang bawaan. Oke.
Lalu, tidak lama saya melihat ada sebuah bis seperti bis eksekutif. Saya memberanikan diri untuk menawarkan apakah dengan Rp 150 ribu saya bisa sampai ke Aceh. Tapi jawaban dari sang sopir membuat saya putus asa, jelas tawaran saya saat itu ditolak karena harga tiketnya jauh dari uang yang bisa saya siapkan.
Tapi untungnya, ada orang dari Dishub yang mungkin mengerti akan kesulitan saya, maka dia membantu berbicara dengan sopir tadi dan finally, saya bisa naik bis eksekutif tadi dengan harga Rp 150 ribu!.
Di dalam bis itu, saya bisa meregangkan otot-otot dengan menyantaikan seluruh penat tubuh. Namun saya agak sedikit terganggu dengan seorang laki-laki yang sekali-dua melihat saya dengan lirikan curiga, atau lirikan penasaran tepatnya.
Saya berpikir sepertinya ada yang salah dengan diri saya saat itu. Sadar akan lirikan anak muda itu membuat saya melihat lagi diri saya pelan-pelan, kira-kira mungkin ada tanduk yang tumbuh di atas kepala sampai-sampai anak muda tadi heran dengan penampilan saya. Ah, gak ada yang aneh kok, masih standar-standar saja, kok.
Nah, dalam satu waktu, bis yang kami tumpangi berhenti di rumah makan. Oiya, lupa, bule yang bersama saya sebelumnya telah berangkat terlebih dahulu ke Medan. Nanti saya akan ceritakan lagi soal si bule tadi.
Oke, kembali ke rumah makan tadi. Saya sedang santai duduk di meja rumah makan di sudut agak di belakang. Tiba-tiba anak muda yang saya ceritakan tadi menghampiri saya. Lalu dari situ saya ceritakan siapa diri saya dan apa kepentingan saya ke Aceh dan Medan. Saya bilang, saya sedang dalam misi berkelana ke penjuru nusantara. Anak muda itu terlihat merasa tertarik dengan cerita saya. Lalu obrolan kami terus berlanjut.
Ternyata laki-laki itu sejatinya adalah orang Aceh yang lama bekerja di Jakarta. Pas. Saya juga pernah bekerja di Jakarta sehingga dalam sekejap obrolan kami berdua nyambung dan saling melengkapi. Saat saya mau membayar makanan yang saya pesan, ternyata laki-laki itu sudah membayar terlebih dahulu makanan yang di meja kami. Terimakasih Tuhan, ada saja jalan yang Kau berikan. Lalu obrolan kamipun terus berlanjut sampai ke Aceh.
13 Oktober
Sekitar pukul 02.00 WIB saya tiba di Aceh. Nah, kali ini, di sini, saya akan tinggal di rumah seorang kerabat saya, Bang Hotli namanya, lengkapnya Hotli Simanjuntak, satu marga dengan saya. Dia ternyata sudah tiba duluan di terminal Aceh. Malam ini, saya tidur di rumah beliau.
Paginya, aktifitas di rumah Bang Hotli sama seperti di rumah-rumah orang pada umumnya, mengantar anaknya Gomos ke sekolah. Lalu dari situ dia mengajak saya ke salah satu warung kopi untuk mencoba kopi robusta yang dia rekomendasikan. Karena jujur saja, mau tidak mau, suka tidak suka, selama saya menjelajah nusantara, kopi sepertinya adalah minuman “wajib” untuk merekatkan diri dengan alam sekitar dan orang-orangnya.
Sehingga, secara tidak langsung saya mulai terbiasa dengan rasa-rasa dan kualitas kopi. Makanya, kali ini,Bang Hotli merekomendasikan kopi itu. Setelah agak siang kami berdua pergi ke tempat yang dia rekomendasikan. Ternyata, tempat itu adalah tempatnya para wartawan di Aceh sebagian besar berkumpul.
Kebetulan hari itu saya diberikan “gift” oleh Tuhan, berupa ajakan untuk melihat sebuah hal besar yang belum saya dapatkan di tempat lain. Karena kita-kira pukul 13.00 WIB Bang Hotli mengemukakan kepada rekan-rekan wartawan di warkop itu untuk pergi ke Singkil, karena di sana ada pembakaran sebuah gereja.
Kami saat itu langsung berkemas. Saat itu saya beserta rombongan antara lain ada kawan bernama Adrian dari media Kompas cetak dan Nandar dari Net. TV. Kami berangkat berempat menuju lokasi sekitar pukul 16.30 WIB, kalau tidak salah saat itu kami melewati jalan lintas barat. Sepanjang perjalanan lewat situ, saya disuguhi pemandangan yang menarik serta jalan yang lebar.
Sekedar informasi, ternyata perjalanan ke sana memakan waktu setidaknya 14 jam!. Makanya saat malam hari kami banyak beristirahat karena sang sopir ngantuk. Informasi saja, saya dan Nandar tidak bisa nyetir mobil jadi kami berdua tinggal duduk manis saja di mobil. Bang Hotli dan Adrian-lah yang ganti-gantian nyetir menuju Singkil.
14 Oktober
Kami tiba pagi hari di Singkil. Sampai di sana mereka langsung melakukan liputan, saya juga tak mau ketinggalan melihat suasana kondisi terakhir wilayah konflik tersebut. Saat itu posisi saya hanya ingin mendokumentasikan keadaan di situ, bukan selaku wartawan, tapi, bagaimanapun juga, saya mantan wartawan sehingga sedikit-sedikit naluri jurnalis saya muncul.
Saat itu Bang Hotli bilang, silakan saya ambil poto sebaik-baiknya, karena bukan tidak mungkin ada media yang rela membayar poto saya karena wartawan mereka tidak bisa sampai ke lokasi.
Foto aja, nanti siapa tau media yang lain yang ngga datang membeli fotomu, kata dia.
Mendengar itu saya makin semangat, menggelora-lah semangat saya. Di antara kegiatan mereka di lapangan saya melihat sosok Bang Hotli Simanjuntak dedikasinya terhadap profesi sangat luar biasa. Dia adalah seorang senior jurnalis. Terlebih saat tsunami di Aceh hasil dedikasi dia terhadap dunia jurnalis cukup luar biasa. Banyak pihak yang berharap jepretan dia untuk dokumentasi, lagi pula, banyak hasil karya dia yang membuat saya terkagum-kagum.
Setelah memotret beberapa gambar dia langsung mencoba mengirimkan hasilnya ke tempat dia bekerja. Karena kata Bang Hotli, selain poto yang bagus, seberapa cepat mengirim poto juga adalah hal yang tak bisa dipisahkan.
“Kita ini membutuhkan kecepatan di samping foto yang bagus”, katanya.
Setelah selesai liputan hingga malam kami mencari pengiapan di Subulusalam, sebelumnya teman-teman sibuk mengirim foto tetapi saya hanya melihat-lihat saja, Hitung-hitung belajar mempelajari style foto jurnalistik.
15 Oktober
Lagak seperti fotografer liputan kembali terjadi hari ini. Kami menuju Polres setempat menunggu keputusan. Namun ternyata keputusan yang ditunggu-tunggu masih lama maka kami berdua memutuskan untuk memotret pengungsi.
Akhirnya kami jalan menuju perbatasan Aceh Singkil menuju perbatasan Tapteng. Di sana dari informasi yang kami dapat ribuan pengungsi ditampung. Perjalanan menuju Maduamas Tapanuli Tengah kami tempuh 3 jam dengan kondisi jalan sempit serta tikungan dan jurang.
Sore kami tiba di pengungsian di salah satu gereja Katolik di Maduamas. Di sana ternyata banyak orang mengungsi, ada ribuan orang bertahan di situ karena takut terjadi perang.
Saya hari itu memotret banyak sekali, tapi berhubung tidak ada yang mau menampung poto saya, jadi saya tidak terlalu bersemangat. Kabarnya ada wartawan dari Antara yang mau poto saya, jadi saya kirim, tapi tidak ada kabar berita. Hah, ini pelajaran saja bahwa kalau mau jadi fotografer jurnalis harus lebih banyak belajar mencari sudut poto yang bisa membuat orang lain tertarik.
Saya banyak belajar dari hasil jepretan Bang Hotli. Saya jadi saksi bagaimana cara pengambilan beliau akan sebuah momen yang dia abadikan membuat saya merasa kerdil. Saya belum bisa menyaingi beliau! Saya harus lebih peka lagi hingga bisa menyaingi hasil poto Bang Hotli yang diterbitkan di media EPA.
Singkat cerita dengan pengalaman dan pelajaran itu kami pulang menuju tempat penginapan, berhubung sampai sudah larut malam maka kami langsung merebahkan diri dan berisitirahat sembari menunggu esok apa lagi yang akan kami kejar. Oiya, menginap di hotel di Subusalam cuma Rp 130 ribu.
16 Oktober
Pagi itu kami kembali ke lokasi pengungsian dengan personil bertambah ada Adrian Kompas dan Nandar Net. TV. Kami menuju lokasi kembali dengan menempuh perjalanan 3 jam. Saya tidak terlalu bersemangat untuk memotret dikarenakan tidak ada yang menampung, paling saya memotret hanya untuk koleksi instagram dan facebook.
Bang Hotli menunjukkan fotonya di headline di Jawa Pos dan saya benar-benar suka foto yang dia sodorkan. Itu jelas menambah pengalaman dan pelajaran bagi saya sendiri untuk lebih jeli lagi melihat sudut poto.
17 Oktober
Masih dalam ikut peliputan di Singkil dengan agenda menunggu keputusan tentang bentrok itu hingga sore hari menunggu dan keputusanya masih menggantung. Akhirnya kami memutuskan pulang ke Aceh dengan lewat medan yg ditempuh dalam waktu 24 jam. Start dimulai perjalan pukul 19.30 WIB dari Subulusalam Aceh, melewati Brastagi Kabanjahe. Suasananya berkabut dan posisi hari sudah pagi, akhirnya kesepakatan kita berempat menginap di desa Silalahi dengan memesan kamar yang harganya Rp 100 ribu, tinggallah kami berempat di situ.
18 Oktober
Pagi itu, matahari muncul malu-malu, saya dengan Bang Hotli bersama Adrian buru-buru mengejar momen objek foto. Saat itu bahkan Nandar yang sedang mandi pun kami tinggalkan begitu saja di hotel demi mendapat momen foto yang kata mereka, sangat rugi untuk dilewatkan gara-gara nunggu orang mandi. Hahahahaa…
Pagi itu kami di desa Silalahi. Puji Tuhan, daerah itu memang sangat cantik!. Matahari muncul pelan-pelan seakan ikut memberi semangat kepada masyarakat di sana yang beraktifitas di Danau Toba.
Siang hari ditandai dengan matahari yang mulai sombong dengan hangatnya, kami memutuskan kembali ke penginapan, dan sarapan dengan mie gomak serta kopi sebelum melakukan perjalanan panjang pulang ke Aceh.
Menyusuri Danau Toba benar-benar asik.
Tak jarang saya meminta waktu untuk berhenti demi mengambil beberapa poto yang saya anggap menarik, sehingga, saya sadar sebetulnya waktu kami banyak terbuang karena saya sering meminta izin berhenti.
Tapi, mau tidak mau kami sangat menikmati hari itu, kami memotret di puncak Paropo hingga di air terjun Sipiso-Piso. Dan pulangnya kami sempatkan diri membeli jeruk kaban jahe. Perjalanan pun dilanjutkan hingga menuju Aceh. (**)
jiaaah sama bang nandar ternyata 😀
salam kenal bang.
btw, klo boleh sedikit saya koreksi, Bukan pulau Sabang, tapi Pulau Weh, kota Sabang. bang