Aceh, Sebuah Negeri Dengan Sejuta Pelajaran Hidup dan Kehidupan
Ketika berada di aceh saya akan tinggal di rumah seorang kerabat saya, Bang Hotli namanya, lengkapnya Hotli Simanjuntak, satu marga dengan saya. Dia ternyata sudah tiba duluan di terminal Aceh. Malam ini, saya tidur di rumah beliau. Paginya, aktifitas di rumah Bang Hotli sama seperti di rumah-rumah orang pada umumnya, mengantar anaknya Gomos ke sekolah. Lalu dari situ dia mengajak saya ke salah satu warung kopi untuk mencoba kopi robusta yang dia rekomendasikan. Karena jujur saja, mau tidak mau, suka tidak suka, selama saya menjelajah nusantara, kopi sepertinya adalah minuman ‘wajib’ untuk merekatkan diri dengan alam sekitar dan orang-orangnya. Sehingga, secara tidak langsung saya mulai terbiasa dengan rasa-rasa dan kualitas kopi. Makanya, kali ini,Bang Hotli merekomendasikan kopi itu. Setelah agak siang kami berdua pergi ke tempat yang dia rekomendasikan. Ternyata, tempat itu adalah tempatnya para wartawan di Aceh sebagian besar berkumpul. Kebetulan hari itu saya diberikan ‘gift’ oleh Tuhan, berupa ajakan untuk melihat sebuah hal besar yang belum saya dapatkan di tempat lain. Karena kita-kira pukul 13.00 WIB Bang Hotli mengemukakan kepada rekan-rekan wartawan di warkop itu untuk pergi ke Singkil, karena di sana ada pembakaran sebuah gereja. Kami saat itu langsung berkemas. Saat itu saya beserta rombongan antara lain ada kawan bernama Adrian dari media Kompas cetak dan Nandar dari Net. TV. Kami berangkat berempat menuju lokasi sekitar pukul 16.30 WIB, kalau tidak salah saat itu kami melewati jalan lintas barat. Sepanjang perjalanan lewat situ, saya disuguhi pemandangan yang menarik serta jalan yang lebar. Sekedar informasi, ternyata perjalanan ke sana memakan waktu setidaknya 14 jam!. Makanya saat malam hari kami banyak beristirahat karena sang sopir ngantuk. Informasi saja, saya dan Nandar tidak bisa nyetir mobil jadi kami berdua tinggal duduk manis saja di mobil. Bang Hotli dan Adrian-lah yang ganti-gantian nyetir menuju Singkil.Pagi hari di Singkil. Sampai di sana mereka langsung melakukan liputan, saya juga tak mau ketinggalan melihat suasana kondisi terakhir wilayah konflik tersebut. Saat itu posisi saya hanya ingin mendokumentasikan keadaan di situ, bukan selaku wartawan, tapi, bagaimanapun juga, saya mantan wartawan sehingga sedikit-sedikit naluri jurnalis saya muncul. Saat itu Bang Hotli bilang, silakan saya ambil poto sebaik-baiknya, karena bukan tidak mungkin ada media yang rela membayar poto saya karena wartawan mereka tidak bisa sampai ke lokasi. “Foto aja, nanti siapa tau media yang lain yang ngga datang membeli fotomu,” kata dia. Mendengar itu saya makin semangat, menggelora-lah semangat saya. Di antara kegiatan mereka di lapangan saya melihat sosok Bang Hotli Simanjuntak dedikasinya terhadap profesi sangat luar biasa. Dia adalah seorang senior jurnalis. Terlebih saat tsunami di Aceh hasil dedikasi dia terhadap dunia jurnalis cukup luar biasa. Banyak pihak yang berharap jepretan dia untuk dokumentasi, lagi pula, banyak hasil karya dia yang membuat saya terkagum-kagum. Setelah memotret beberapa gambar dia langsung mencoba mengirimkan hasilnya ke tempat dia bekerja. Karena kata Bang Hotli, selain poto yang bagus, seberapa cepat mengirim poto juga adalah hal yang tak bisa dipisahkan. ”Kita ini membutuhkan kecepatan di samping foto yang bagus,” katanya. Setelah selesai liputan hingga malam kami mencari pengiapan di Subulusalam, sebelumnya teman-teman sibuk mengirim foto tetapi saya hanya melihat-lihat saja, Hitung-hitung belajar mempelajari style foto jurnalistik. .Lagak seperti fotografer liputan kembali terjadi hari ini. Kami menuju Polres setempat menunggu keputusan. Namun ternyata keputusan yang ditunggu-tunggu masih lama maka kami berdua memutuskan untuk memotret pengungsi. Akhirnya kami jalan menuju perbatasan Aceh Singkil menuju perbatasan Tapteng. Di sana dari informasi yang kami dapat ribuan pengungsi ditampung. Perjalanan menuju Maduamas Tapanuli Tengah kami tempuh 3 jam dengan kondisi jalan sempit serta tikungan dan jurang.
Sore kami tiba di pengungsian di salah satu gereja Katolik di Maduamas. Di sana ternyata banyak orang mengungsi, ada ribuan orang bertahan di situ karena takut terjadi perang. Saya hari itu memotret banyak sekali, tapi berhubung tidak ada yang mau menampung poto saya, jadi saya tidak terlalu bersemangat. Kabarnya ada wartawan dari Antara yang mau poto saya, jadi saya kirim, tapi tidak ada kabar berita. Hah, ini pelajaran saja bahwa kalau mau jadi fotografer jurnalis harus lebih banyak belajar mencari sudut poto yang bisa membuat orang lain tertarik. Saya banyak belajar dari hasil jepretan Bang Hotli. Saya jadi saksi bagaimana cara pengambilan beliau akan sebuah momen yang dia abadikan membuat saya merasa kerdil. Saya belum bisa menyaingi beliau! Saya harus lebih peka lagi hingga bisa menyaingi hasil poto Bang Hotli yang diterbitkan di media EPA. Singkat cerita dengan pengalaman dan pelajaran itu malanya kami pulng menuju tempat penginapan, berhubung sampai sudah larut malam maka kami langsung merebahkan diri dan berisitirahat sembari menunggu esok apa lagi yang akan kami kejar. Oiya, menginap di hotel di Subusalam cuma Rp 130 ribu.
Pagi itu kami kembali ke lokasi pengungsian dengan personil bertambah ada Adrian Kompas dan Nandar Net. TV. Kami menuju lokasi kembali dengan menempuh perjalanan 3 jam. Saya tidak terlalu bersemangat untuk memotret dikarenakan tidak ada yang menampung, paling saya memotret hanya untuk koleksi instagram dan facebook. Bang Hotli menunjukkan fotonya di headline di Jawa Pos dan saya benar-benar suka foto yang dia sodorkan. Itu jelas menambah pengalaman dan pelajaran bagi saya sendiri untuk lebih jeli lagi melihat sudut poto. Masih dalam ikut peliputan di Singkil dengan agenda menunggu keputusan tentang bentrok itu hingga sore hari menunggu dan keputusanya masih menggantung. Akhirnya kami memutuskan pulang ke Aceh dengan lewat medan yg ditempuh dalam waktu 24 jam. Start dimulai perjalan pukul 19.30 WIB dari Subulusalam Aceh, melewati Brastagi Kabanjahe. Suasananya berkabut dan posisi hari sudah pagi, akhirnya kesepakatan kita berempat menginap di desa Silalahi dengan memesan kamar yang harganya Rp 100 ribu, tinggallah kami berempat di situ. Pagi itu, matahari muncul malu-malu, saya dengan Bang Hotli bersama Adrian buru-buru mengejar momen objek foto. Saat itu bahkan Nandar yang sedang mandi pun kami tinggalkan begitu saja di hotel demi mendapat momen foto yang kata mereka, sangat rugi untuk dilewatkan gara-gara nunggu orang mandi. Hahahahaa… Pagi itu kami di desa Silalahi. Puji Tuhan, daerah itu memang sangat cantik!. Matahari muncul pelan-pelan seakan ikut memberi semangat kepada masyarakat di sana yang beraktifitas di Danau Toba. Siang hari ditandai dengan matahari yang mulai sombong dengan hangatnya, kami memutuskan kembali ke penginapan, dan sarapan dengan mie gomak serta kopi sebelum melakukan perjalanan panjang pulang ke Aceh. Menyusuri Danau Toba benar-benar asik. Tak jarang saya meminta waktu untuk berhenti demi mengambil beberapa poto yang saya anggap menarik, sehingga, saya sadar sebetulnya waktu kami banyak terbuang karena saya sering meminta izin berhenti. Tapi, mau tidak mau kami sangat menikmati hari itu, kami memotret di puncak Paropo hingga di air terjun Sipiso-Piso. Dan pulangnya kami sempatkan diri membeli jeruk kaban jahe. Perjalanan pun dilanjutkan hingga menuju Aceh. (**)
|
Recent Comments